Juga perlu diperhatikan bahwa umumnya terminologi barat mencampur adukkan antara Kebangsaan (Nationality) dan Warganegara (Citizenship), misalnya pertanyaan what is you Nationality jawabannya adalah mengenai Citizenship. Padahal  menurut saya Nationality (Kebangsaan) dan Citizenship (Warganegara) tidak mutlak serta merta berhubungan.Â
Contoh mudah nya suku suku di Sumatera Barat Utara dan Selatan sebenarnya adalah bangsa Melayu, secara budaya, bahasa dan agama lebih dekat dengan orang orang di  Malaysia daripada dengan suku suku di Indonesia timur. Tapi kita semua adalah Warganegara Indonesia yang sekarang dengan mengadop kerancuan asing itu  mengatakan diri kita sebagai Bangsa Indonesia.
Di dunia yang sudah semakin global, dimana manusia dapat berpindah dari kutub selatan ke kutub utara dalam hitungan jam saja, seyogyanya definisi  Bangsa, Warganegara dan hak kewajiban yang menyertai mesti dibikin masuk akal dan praktis saja. Tidak usah sentimental dengan sagala konotasi loyalitas bak era jaman medieval sampai PD2.Â
Terus terang saya suka kecut  mendengar lagu kebangsaan  juga Oath of Allegiance (sumpah setia) negara negara Eropa dan Amerika Utara. Sudah sangat ketinggalan jaman dan tidak perlu. Kenapa orang harus menyatakan dirinya loyal dan setia pada Ratu atau Raja, guna nya apa itu, lebih baik dia berjanji mematuhi hukum dan menjadi warganegara yang jujur serta rajin bekerja. Â
Balik ke kasus  teman saya yang akhirnya memutuskan untuk tidak nyoblos itu. Dia berasal dari suku Minang, sudah 20 thn hidup, bekerja dan beranak pinak  serta membayar pajak di Canada, logikanya dia hanya perlu satu paspor dan Warganegara Canada saja,  mestinya keisengan sekali dia ikut ikut pula nyoblos.
Tapi teman itu punya rumah di Jakarta yang ditempati oleh ibunya yang sudah tua, juga punya account di BCA dan punya kebun di kampungnya di kaki gunung Singgalang yang dikelola oleh saudara saudaranya. Arti kata dia menanam uang di Indonesia dan secara tidak langsung bayar pajak kepada NKRI, Â dengan sendirinya adalah wajar mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya dan adalah wajar hendak ikut memilih siapa yang akan memimpin pemerintahan.
'Ah mama aneh aneh aja definisinya' kata anak saya, 'Kalau investasi dan pembayaran pajak tidak langsung, bisa menentukan hak orang menjadi warganegara jangan jangan nanti Jack Ma bisa punya paspor Indonesia'. Â Â
'Nggak lah, Jack Ma tidak lahir di Bukittinggi, dan tidak bisa berbahasa Minang, tidak punya sedulur di wilayah ibu pertiwi yang dikunjungi dari waktu kewaktu, tidak kangen dengan rendang, gulai jariang, bika simariana'.
Jadi menurut saya NKRI mengadopsi peraturan berpaspor satu tidak masuk akal, tidak praktis dan baper. Bagaimana mungkin NKRI mencampakan temen saya itu yang  secara darah dan tanah kelahiran merupakan orang (Bangsa) Indonesia tulen, orang yang mestinya mendapat prioritas menjadi Warganegara Indonesia.
Migrasinya bangsa Indonesia ke luar negeri  mestinya tidak usah dihujat, bahkan bisa dianggap sebagai missi perwakilan Indonesia di luar negeri, yang membawa restoran dan kedai bercitra rasa nusantara, yang menampilkan batik di jalanan kota dunia, yang memainkan angklung, gending, kolintang didepan warga asing.
Semakin banyak migran Indonesia semakin baik, Indonesia  toh tidak kekurangan penduduk,  sehingga bisa terbentuk 'fan base' buat mengekspor produk/service  Indonesia, seperti yang terjadi pada komunitas Pinoy di Toronto.  Ada 3 restoran Jollibee selalu padat pengunjung di Toronto, yang akhirnya dikunjungi juga oleh non Pinoy.