Mohon tunggu...
Malaka Ramadhan
Malaka Ramadhan Mohon Tunggu... -

Pengamat politik Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PPP dan Kudeta Marwah

23 September 2014   00:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:54 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemberhentian Suryadharma Ali dari jabatan Ketua Umum PPP secara sepihak bukti tidak lagi dihargainya konstitusi partai berlambang Kabah itu. Bagaimana tidak, seorang Ketua Umum Partai dicopot hanya melalui mekanisme rapat harian pengurus DPP. Parahnya, mekanisme itu tak dikenal sama sekali dalam AD/ART Partai.

Kepemimpinan Suryadharma Ali dipilih lewat forum Muktamar yang diselenggarakan pada 2010 di Bandung. Muktamar adalah forum tertinggi partai karena melibatkan semua kepemimpinan partai di setiap tingkatan, mulai dari pengurus cabang (kabupaten) sampai wilayah (provinsi). Di partai lain kita mengenalnya sebagai kongres. Berdasarkan mekanisme partai, kepemimpinan tertinggi partai hasil muktamar hanya bisa diberhentikan lewat Muktamar atau Muktamar luar biasa.

Sementara rapat harian pengurus, hanya merupakan rapat internal biasa yang hanya berwenang membahas isu-isu organisasi yang rutin dilakukan. Tentu saja karena sifatnya yang internal DPP itulah maka rapat harian sangattidak diizinkan melakukan keputusan besar sekaliber pemberhentian Ketua Umum.

Aturan yang tertulis jelas dalam AD/ART ini sangat logis dan masuk akal. Mana mungkin keputusan pengurus yang tersebar di seluruh Indonesia dianulir oleh keputusan segelintir elit di Ibukota. Lalu apa gunanya muktamar jika pengambilan keputusan cukup bisa dilakukan lewat segelintir elit. Itu sama saja denngan menginjak-injak kedaulatan pengurus partai di seluruh Indonesia. Seakan pengurus partai di daerah tak tahu apapun soal dinamika politik internal.

Logika lain yang menginjak-injak akal sehat adalah alasan pemberhentian SDA yang dianggap merusak marwah partai. Status hukum SDA sebagai tersangka disebut oleh kubu Emron Pangkapi dan Romi Cs (Romahurmuzi) meruntuhkan harga diri dan martabat partai. Ini pelanggaran berat terhadap etika hukum dan politik di tanah air.

SDA apapun tuduhan yang dibebankan padanya tetap memiliki hak untuk dianggap tidak bersalah. Dalam kamus hukum hak itu dikenal sebagai asas praduga tak bersalah. Status hukumnya pun hingga hari ini masih tersangka. Artinya, belum terbukti secuil pun bahwa ia terlibat kasus sebagaimana yang disangkakan. Rapat harian yang memaksa SDA turun dari jabatannya jelas melanggar prinsip ini.

Yang lebih lucu, rapat harian mengangkat Emron Pangkapi sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum pengganti SDA. Padahal, Emron adalah narapidana kasus korupsi yang disudah divonis dan inchrat (berkekuatan hukum tetap). Emron terbukti korupsi dengan memakan uang Koperasi Usaha Tani (KUT) Jangkung Permai di Kabupaten Sungai Liat Bangka Belitung. Dari 1,2 miliar duit yang dikucurkan negara, sebanyak 714 juta terbukti diselewengkan.Penyalahgunaan wewenang dan korupsi ini ia lakukan saat masih menjabat Ketua DPRD Bangka Belitung.

Kasus Emron justru telah menginjak marwah dan kehormatan partai. Seorang narapidana yang terbukti secara inchrat melakukan korupsi ditunjuk memimpin partai Islam. Sementara itu, pihak lain yang baru ditetapkan sebagai tersangka malah dianggap merusak marwah. Kata orang tua dulu, itu sama saja MALING TERIAK MALING!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun