Mentawai. Selain ombak selancar dan pantai pasir putih, ternyata, bertemu dengan Sikerei (paramedis tradisional), menjadi magnet tersendiri bagi para traveler yang datang berkunjung.
Bercirikan badan penuh tato dan hiasan dedaunan, Sikerei memang sangat mudah dikenali. Sikerei merupakan tokoh yang sangat disegani oleh masyarakat. Selain berperan pada urusan kesehatan, pada upacara-upacara adat, sosok Sikerei juga sangat menentukan dalam pengambilan keputusan di tengah masyarakat.
Jalur Laut dan Hiburan Laut
Rizal Azhari (27), asal Bandung, Jawa Barat, tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran untuk bertatap muka dengan Sikerei. Maklum, selama ini ia hanya mendengar cerita, dan melihat Sikerei lewat foto saja. Keinginan Rizal, akhirnya bisa terwujud ketika lembaga tempat ia bekerja menugaskan untuk mengantar pulang regu penyuluh kebencanaan yang berasal dari Desa Pasakiat Taileleu, Mentawai pada (¼).
Perjalanan laut menjadi opsi utama jika ke Mentawai. Berangkat dari Kota Padang, setelah 3 jam perjalanan dengan kapal cepat, kita akan sampai di ibukota Tuapeijat. Gapura bertuliskan selamat datang di Bumi Sikerei, akan menyambut. Perjalanan laut kembali dilanjut dengan menyewa speed boat kayu menuju Desa Pasakiat Taileleu.
Ketika perjalanan laut, jika beruntung, kita akan bertemu dengan beberapa teman baru, ikan Lumba-lumba. Atraksi sekelompok mamalia laut ini, seolah-olah ingin menyapa, dan mengucapkan selamat datang kepada pengunjung yang berlayar di Laut Mentawai.
Bertemu Sikerei
Setelah tiga jam berlayar dari Tuapeijat, kita akan sampai di Desa Pasakiat Taileleu. Menyewa motor, dan mencari tempat penginapan adalah hal pertama yang harus dilakukan. Disini belum ada penginapan, atau guesthouse resmi. Ada beberapa referensi rumah penduduk yang bisa kita sewa. Rumah Bang Ben, di Dusun Makukuet salah satunya. untuk harga penginapan, silahkan saja pengunjung membuat kesepakatan dengan Bang Ben.
Hal yang ditunggu-tunggu Rizal akhirnya datang. Setelah mengelilingi dusun, kami akhirnya bertemu dengan Sikerei yang sedang duduk santai di bangku uma (sebutan untuk rumah tradisional Mentawai). Kami berhenti, dengan kemampuan bahasa Mentawai yang seadanya, saya memberanikan diri menyapa Sikerei, “anaileuita jak?” (apa kabar pak), ‘masehat’ (sehat), jawab Sikerei. Tak usah khawatir, ramah adalah bawaan asli orang Mentawai.
Seperti yang dijelaskan dalam tipologi orang Mentawai pada Buku Kebudayaan Asli Mentawai, Stefano Coronese, 1986: Berperawakan baik dan menarik. Umumnya orang Mentawai baik hati; peramah, suka menghormati orang, tidak ingin berperang, suka kepada hias-hiasan, sehingga tidak jarang tubuh mereka bertato.
Rizal pun termenung, dan kagum melihat tato dan hiasan yang digunakan Sikerei. Panjang lebar bercerita, Sikerei menyampaikan bahwa besok malam akan ada acara punen (pesta) kampung. Jika berkenan, datanglah besok, ajaknya. Pada punen, Sikerei biasanya akan tampil lengkap dengan atribut kebesaran dan Sikerei akan menari. Kurang mujur bagi Rizal, besok siang sudah harus kembali ke Tuapeijat. Rizal tidak bisa menyaksiakan tarian Sikerei yang terkenal itu. “Aih.. saya mah akan kembali lagi kesini, belum puas jika tidak melihat tarian Sikerei”, ucap Rizal, dengan aksen Sundanya.
Desa Pasakiat Taileleu yang berada di Wilayah administarsi Kecamatan Siberut Barat Daya, memang cukup recommended bagi sahabat traveler yang ingin mencoba sensasi petualangan baru. Selain pasir putih, dan ombak surfing, elaborasi budaya yang ada, akan menjadi pengalaman tersendiri bagi para pengunjung yang datang ke sini. Silahkan atur jadwal untuk ke Mentawai. Malainge Mentawai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H