Mohon tunggu...
Adi Prima
Adi Prima Mohon Tunggu... Administrasi - Photojournalist

Saya adalah seorang freelance photojournalist di Sumatera Barat, memotret satwa-satwa dilindungi, benda bersejarah, tokoh- tokoh besar dan keindahan bentangan alam, adalah kegemaran saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tabaigua, Suku Pendatang yang Memakan Mayat di Mentawai

15 April 2017   08:35 Diperbarui: 15 April 2017   18:00 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENTAWAI. Penasaran pastinya menjadi sikap normal saya ketika mendengar cerita suku pendatang yang memakan mayat manusia di Siberut Barat, Mentawai, atau yang lumrah kita sebut perilaku kanibal.

Jika sebelumnya hanya menyaksikan kisah-kisah kanibal di film, atau lewat buku, saat ini saya mendengar kisah kanibal ini secara langsung, dan pastinya ini menarik untuk diceritakan atau dituliskan. Menurut narasumber, cerita atau ‘kisah nyata’ ini memang belum pernah dipublikasikan secara langsung, cerita hanya beredar dari mulut-kemulut masyarakat, khususnya bagi warga asli saja.

Percakapan menarik ini sepertinya memang sudah menjadi salah satu takdir saya, beberapa tahun kebelakang, selain berkegiatan dengan lembaga kemanusiaan, saya juga sedang giat-giatnya mencari dan mengumpulkan cerita-cerita rakyat yang belum pernah di tampilkan, dan cerita ini nantinya akan saya coba tuangkan kedalam tulisan. Harapan saya sederhana dan tidak muluk-muluk, semoga cerita-cerita rakyat ini bisa menambah kekayaan literasi bangsa Indonesia. Pastinya, jika cerita bernilai negative, bersama kita berjuang supaya cerita ini tidak terjadi lagi dimasa sekarang dan untuk yang akan datang. Namun jika dirasa ada manfaatnya, hendaknya nilai-nilai postif dari cerita tetap dipertahankan sebagai kekayaan literasi dan budaya bangsa ini.

Perkenalan saya dengan Murdani (32) orang asli Simalegi, Siberut Barat, Mentawai, yang menjadi satu-satunya narasumber saya untuk cerita ini, terjadi tepatnya pada satu tahun yang lalu. Singkatnya, Lembaga tempat saya berkegiatan dalam melakukan pendampingan pengurangan risiko bencana di wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai, salah satu dari desa dampingan tersebut, adalah desa dimana Murdani berdomisili, yakni Desa Simalegi. Jarak tempuh menuju Desa Simalegi lumayan jauh, bahkan menguras tenaga dan dompet. Jarak tempuh ke Simalegi dari ibukota Tuapeijat, dibutuhkan waktu lebih kurang 5-6 jam perjalan laut. Saat ini, satu-satunya akses yang ada untuk menuju kesini, memang masih hanya jalur laut.

Di kisahkan oleh Murdani tentang kisah suku pendatang yang memakan mayat orang Simalegi. “Dahulu di Boklu, Simalegi, Siberut Barat, Mentawai, sebelum agama resmi mulai mendatangi di awal tahun 1900-an, prosesi penguburan dilakukan berdasarkan tradisi saja, tubuh yang sudah ditinggal roh, setelah dikemas, tubuh tersebut akan ditaruh di atas dahan kayu pohon. Jasad itu akan dibiarkan secara alami mengalami proses alami penghancuran sampai lenyap dan menyatu kembali dengan alam. Namun, tradisi ini mendadak harus dihentikan, karena tubuh-tubuh itu menghilang secara tidak wajar, dan lenyap jauh dari waktu normal seharusnya yang dibutuhkan jasad-jasad tanpa roh itu untuk benar-benar kembali bersatu dengan alam.

Melihat sejarah penguburan dan agama di Mentawai, jika kisah itu benar, prosesi penguburan secara agama baru mulai dilakukan setelah agama-agama mulai mendatangi Mentawai, yakni pada sekira awal tahun 1900-an. Tercatat, agama pertama masuk Mentawai pada tahun 1901, ketika Zending Protestan, Pendeta August Lett bersama rekannya A. Kramer, dari Jerman, dipanggil untuk membuka misi. Kendatipun Ia akhirnya mati terbunuh pada tanggal 20 Agustus 1909 di kala bertugas. Setelah itu datang pula Pendeta F. Borger yang menetap di Mentawai selama dua puluh tahun lebih. Zending Protestan aktif sekali berkarya dan merasul, terutama selama tahun tiga puluhan. Sesudah Perang Dunia Kedua, aktifitas Zending Protestan bahkan semakin ditingkatkan, sehingga Gereja Protestan Mentawai mampu berdiri sendiri. Suatu karya Zending Protestan yang tidak bisa dilupakan, adalah terjemahan Kitab Suci ke dalam Bahasa Mentawai asli. Pada tahun 1954, Pastor-pastor Katolik yang dipandu oleh Pastor Aurelio Cannizzaro, mulai mendatangi Mentawai, bahkan pastor ini berhasil mengarang sebuah buku tentang sejarah kebudayaan Mentawai, yang telah diterjemahkan kedalam pelbagai bahasa dan telah tersebar luas di beberapa Negara Eropa dan Brazilia. Kemudian disusul dua orang bersaudara, yakni Petrus dan Anggelo Calvi. Dua orang ini sangat berjasa pula dalam penulisan buku-buku dan pamflet, dengan menggunakan Bahasa Mentawai asli bagi sarana pelajaran Katekese bahan liturugi, (Stefano Coronese, Kebudayaan suku Mentawai, hal. 28-29, 1986). Itulah sejarah tentang agama yang mendatangi Mentawai.

Kembali ke cerita pemakan mayat, tentu masih membekas dalam ingatan Murdani cerita memilukan yang disampaikan oleh orangtuanya, bagaimana suku pendatang yang mereka namai Suku Tabaigua itu, memakan jasad orang Simalegi. “Dikisahkan oleh orangtua saya bagaimana Suku Tabaigua sempat membuat gaduh di Simalegi dengan menjadikan jasad yang sudah tidak bernyawa sebagai makanan. Tidak tau pasti sebab alasan perbuatan Suku Tabaigua ini, padahal disini, pisang, talas, dan kelapa tumbuh cukup subur untuk dijadikan sumber makanan! Apakah ketika itu masa yang sulit untuk bercocok tanam? Tidak ada juga yang bisa membuktikan. Atau memang Suku Tabaigua sendiri yang memang memiliki kebiasaan buruk, malas, sehingga mereka lebih memilih memakan jasad manusia yang sudah meninggal daripada mencari sumber makanan lainnya. Masyarakat Mentawai yang waktu itu masih menganut atheisme atau yang mereka sebut arat sabulu’ngan, sempat kebingungan dan bertanya-tanya, apakah ada tindak-tanduk mereka yang salah, sehingga alam marah, lalu tubuh-tubuh ini menjadi pelampiasan kemarahan alam. Syukurlah, kisah hilangnya mayat-mayat ini akhirnya bisa terbongkar ketika salah seorang perempuan asal Simalegi melangsungkan pernikahan dengan seorang pria yang berasal dari Suku Tabaigua, lanjut Murdani. Setelah beberapa bulan pernikahan, lazimnya ketika sepasang suami istri bercerita dikala malam hari, tanpa sadar si suami justru menceritakan bagaimana suku mereka mengambil jasad atau mayat orang Simalegi yang diletakkan di pepohonan. Hal ini tentu saja membuat kaget si istri, penuh was-was ia memberitahukan perihal ini kepada tokoh masyarakat Simalegi. Tidak terima dengan perbuatan ini, setelah berembuk bersama masyarakat, seluruh masyarakat akhirnya sepakat untuk mengusir Suku Tabaigua supaya angkat kaki dan tidak menginjakan bumi Sikerei Mentawai lagi. Menurut orangtua saya, lokasi yang dipilih oleh Suku Tabaigua untuk menikmati tubuh yang sudah tak bernyawa ini adalah, di pertigaan Sungai Kailaba, Simalegi, lokasi ini tidak jauh dari Boklu.

Dongen atau kisah nyatanya kisah kanibal atau pemakan mayat yang pernah mendatangi Mentawai ini, pastinya tidak bisa hanya dibuktikan atau diputuskan lewat tulisan ini saja. Untuk membuktikannya, tentu harus mendatangkan berbagai ahli ke Mentawai untuk mengumpulkan bukti, merangkum setiap setiap detail cerita dari narasumber, dan pasti ini sudah lain pasal, dan tidak semudah menulis cerita atau artikel ini.

Cerita-cerita rakyat yang ada ditengah masyarakat, menurut saya, pasti memang tidak terhitung jumlahnya. Salah satu contohnya, adalah kisah suku pemakan mayat ini. Kepada para seluruh kompasianer saya juga mengajak untuk meluangkan waktu untuk mendokumentasikan cerita-cerita rakyat yang memang belum terdokumentasikan. Cerita rakyat Indonesia, menurut saya, pasti sarat akan filosofi, terkadang jauh lebih logis dan sangat mendidik. Yang paling utama, pastikan generasi mendatang bangsa ini tidak hanya kenal Doraemon, Sponge Bob atau Superman saja!

Tentu saja kita juga berharap kepada Kompasiana yang berada satu payung manajeman dengan Gramedia, kedepannya bersedia memfasilitasi atau mensupport penulis-penulis untuk mengumpulkan semua cerita-cerita rakyat yang ada di wilayah Indonesia. Cerita-cerita ini lalu dibukukan sebagai kekayaan literasi. Buku-buku bisa disumbangkan ke sekolah-sekolah, atau di komersilkan untuk umum, dan yang paling utama ialah supaya cerita-cerita rakyat ini tidak hilang ditelan waktu, atau terjajah oleh kisah-kisah Impor! Pastinya, untuk mengumpulkan cerita-cerita rakyat di wilayah Sumatera Barat atau Mentawai, saya mendaftarkan diri sebagai relawan, contributor, atau apalah namanya nanti jika ini memang diwujudkan oleh kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun