Mohon tunggu...
MALAHAYATI ULIMAS
MALAHAYATI ULIMAS Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

Saya adalah mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kampung Tiongkok di Jantung Kota Pekalongan

27 Juli 2024   09:11 Diperbarui: 27 Juli 2024   09:14 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu jalan di Kampung Pecinan. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pintu ruko terbuka, hari masih pagi dan matahari masih malu-malu muncul, saatnya membuka toko. Mengambil sapu dan lap, membersihkan lemari kaca dan jendela dari debu halus, pagi yang santai dan damai, belum ada suara berisik knalpot dan dangdut dari speaker abang angkot, tiba-tiba pelanggan datang dengan tangan menyentuh leher, menanyakan obat batuk. 

Berdagang, merupakan keahlian dari orang Tiongkok, tak heran mereka menjadi produsen terbesar hingga saat ini, tak terkecuali zaman dahulu, saat awal mereka datang ke Pekalongan, dari Batavia, dari 5 orang menjadi 20 keluarga. Migrasi pertama di pesisir utara, orang Tionghoa datang di sekitar tahun 1679-1680. Mencari keberuntungan baru dengan berdagang di Pekalongan. Bupati Pekalongan oke, orang Belanda juga oke-oke saja, maka pedagang tersebut aman dan membaur di sini. 

Pegiat sejarah Pekalongan, Mochammad Dirhamsyah memaparkan bahwa tahun 1789, Pekalongan masihlah hutan yang gelap dan belantara, bahkan jumlah harimau dan badak lebih banyak daripada manusia di sini, pemukiman Tionghoa menghadap ke bukit dan berbatasan dengan laut, hidup berkelompok, juga ada yang bercocok tanam.

Terdapat sebuah tempat ibadah yang dipersembahkan untuk Dewa Laut di sisi utara Pecinan, orang memberikan sesaji dan kemenyan di tempat keramat tersebut. Jalan Blimbing yang merupakan Pintu Dalem, jalan salak dan jalan manggis adalah Krimunan serta Keplekan di jalan Hasanudin merupakan kawasan Pecinan.

Tidak hanya membawa badan, pengelana yang bernama Ong Tae Hae mengajarkan tradisi Tiongkok dan mampir ke Pekalongan sekitar tahun 1980-an

Salah satu jalan di Kampung Pecinan. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Salah satu jalan di Kampung Pecinan. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Menyusuri jalan pertigaan disambut oleh cahaya hijau yang berasal dari pepohonan di sebelah gedung yayasan Satya Wiguna, tampak patung dewi yang anggun ditemani tiga macan yang mengaum, tak hanya itu burung elang dan gajah juga mendampingi patung Dewi cantik tersebut. Patung gotong royong sebutannya, merupakan simbolis perjuangan sejarah. Bangunan dengan atap berwarna hijau keemasan, lekukan perahu di atap kian melapuk usai ditinggal empunya. Tidak hanya klenteng, gereja, vihara dan masjid juga turut meramaikan lingkungan.

Gek Tek Tjiang, sesepuh klenteng Po An Thian menuturkan bahwa klenteng pada mulanya dibangun sekitar pada tahun 1650-an, awalnya hanya sebagai tempat beribadah, namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya dana, tempo ibadah tersebut mendapatkan renovasi, hingga pada tahun 1882 M, Klenteng Po An Thian rampung. 

Makhluk kecil terbang memasuki rumah-rumah, ialah burung walet, yang dianggap sebagai burung pembawa keberuntungan, karena inilah mereka mencari keberuntungan dan menamai kampung tersebut dengan nama kampung Pecinan.

Beberapa patung naga terlihat di atap klenteng, menyala melalui warna merah dan kuning. Berbicara tentang arsitektur warga Tiongkok membangun rumah mereka dengan gaya campuran Belanda dan Cina, dengan kombinasi dinding, daun pintu dan jendela bergaya Eropa dan atap yang melengkung seperti perahu bergaya Cina. Tak lupa cerobong asap di puncak atap sebagai jalan keluar asap tungku api. 

Tri dharma, merupakan tiga ajaran agama yang paling berkaitan dan menjadi satu, yaitu Taoism, Buddha dan Konghucu, jadi jika dikatakan klenteng adalah tempat ibadah umat Konghucu sejatinya itu kurang tepat, karena itu merupakan gabungan 3 ajaran. Taoism mengajarkan manusia mengenal adanya Tuhan yang maha esa, Buddha mengajarkan apa itu sebab akibat dan Konghucu mengajarkan budi pekerti, serta menghormati leluhur. 

Banyak orang di luar sana yang masih menganggap bahwa Konghucu menyembah berhala, karena mendapat banyak patung di tempat ini namun hal itu tidak benar karena patung-patung tersebut dulunya adalah manusia, mereka adalah pahlawan yang sangat berjasa dan harus dihormati maka dari itu dibuatkan sebuah perwujudan, orang Tiongkok tetap menyembah kepada Tuhan yang maha esa kemudian menghormati jasa para leluhur mereka. 

Pandita Po An Thian menerangkan bahwa siapa saja boleh datang ke sini, terbuka untuk semua orang, tidak membeda-bedakan manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun