Saya warga negara biasa (bukan pakar ekonomi, ahli perencanaan keuangan, pelaku bisnis yang sukses atau direktur perusahaan ternama) yang cukup layak untuk berbicara mengenai isu resesi dan Covid-19 yang mempengaruhi kondisi global dan sistem keuangan Indonesia.Â
Saya hanya buruh pabrik yang tiba-tiba mendapat predikat "pengangguran" setelah wabah Korona menghentikan aktivitas produksi di tempat saya bekerja. Tetapi, saya merasa perlu berbagi meski hanya_sekedar berbagi kegiatan sehari-hari yang cenderung dipaksakan. Â Nyatanya, kondisi saat ini memang memaksa kita untuk lebih sabar, prihatin, ngirit dan berpikir sekreatif mungkin.
Kondisi yang saya alami tentunya tidak terjadi pada satu dua orang. Kita tahu, profesi karyawan atau buruh pabrik jumlahnya sangat besar, bisa dibilang rata-rata profesi kebanyakan orang Indonesia.Â
Maka dari itu saya akan berbicara dari sudut pandang karyawan biasa, yang memiliki siklus kehidupan satu bulan yaitu; menerima upah-bayar cicilan-bayar hutang-bayar kontrakan-belanja kebutuhan-lalu bertahan hidup sampai menerima upah di bulan berikutnya. Sangat sedikit diantara kami yang memiliki tabungan, investasi, usaha atau pekerjaan sampingan, seringnya malah tekor alias pinjam kesana-kemari dengan jaminan gaji di bulan depan.
Beberapa bulan yang lalu, hal yang saya pikirkan adalah bagaimana mencari pekerjaan lain jika perusahaan tidak memperpanjang kontrak kerja. Tentunya saya mesti aktif mencari informasi lowongan pekerjaan jauh-jauh hari sebelum kontrak kerja berakhir. Situasi tak terduga pun terjadi, saya benar-benar berhenti bekerja sebelum waktunya, tanpa bekal, tanpa persiapan.Â
Melamar pekerjaan ke pabrik lain sepertinya bukan pilihan karena mereka sama-sama terdampak. Mau tidak mau, pilihan saat ini adalah bagaimana menghasilkan uang sendiri alias berwirausaha. Tapi tunggu dulu, dalam kondisi normal saja, terbilang sulit untuk memulai usaha mengingat terbatasnya waktu, ilmu dan yang paling utama adalah modal karena sulitnya menyisihkan uang untuk menabung bagi orang serba pas-pasan seperti saya. Alhasil saya hanya bisa merenung, rebahan dan guling-guling di kasur.
Menyaksikan dan menerka-nerka, ditambah melakukan pengamatan alakadarnya, plus perenungan yang dalam, saya mulai berpikir bagaimana berperilaku cerdas di tengah ketidakpastian ini. Didapatlah tiga langkah yang bisa dilakukan khususnya oleh orang-orang biasa seperti saya.
Langkah jangka pendek : Sekuat mungkin usahakan uang dari gaji terakhir tidak habis
Misalnya gaji kita tiga juta rupiah, tentunya uang segitu akan habis untuk keperluan sehari-hari apabila tidak kita putar. Gunakanlah sebagian uang tersebut untuk modal berjualan. Saya sendiri buru-buru membeli beras untuk dijual kembali. Untuk situasi saat ini, berjualan bahan pokok adalah yang paling aman karena setiap orang pasti membutuhkan.Â
Mulai dari sayur mayur, beras, gula, minyak sayur, telur, ikan atau daging. Kita bisa menjualnya lewat online atau medsos dan kita langsung yang mengantarkannya. Sasarlah tetanggga-tetangga yang kondisi ekonominya lebih baik misal pejabat-pejabat atau PNS yang sementara ini sedang bekerja di rumah aja. Kuncinya yakin saja, Allah pasti memberi jalan bagi orang-orang yang mau berusaha.
Langkah jangka menengah : Semaksimal mungkin gunakan waktu untuk mengasah keterampilan
Berkaca dari kota Wuhan sebagai kota pertama yang terdampak Covid-19, harapannya wabah ini akan reda dalam dua tiga bulan ke depan. Waktu yang sangat banyak untuk melatih skill dan keterampilan kita sebagai bekal bekerja ketika perusahaan mulai aktif kembali. Manfaatkan gadget dan media sosial untuk mendapatkan informasi mengenai program-program pelatihan yang diberikan secara gratis oleh pemerintah.Â
Kemenparekraf misalnya, beberapa waktu lalu telah membuka pendaftaran pelatihan gratis bagi para pelaku Ekraf, yaitu kursus bahasa Inggris dan bisnis online. Kalau saya, memanfaatkan waktu untuk lebih banyak menulis sebagaimana hobi saya dan akan memanfaatkan program Kartu Prakerja dengan mengikuti pelatihan menulis.
Langkah jangka panjang : Satu rumah satu kebun (SARUSAKE) untuk bertahan di tengah ketidakpastian
Sebenarnya ini hanyalah kekhawatiran saya sendiri bilamana wabah belum juga mereda sementara situasi semakin sulit. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh orang seperti saya. Mau bikin konten tidaklah berbakat, mau jadi relawan Covid-19 juga belum siap, mau membuka usaha pun tidak cukup modal.Â
Tetapi saya terinspirasi dari salah satu peserta lomba menulis di Kompasiana juga, yaitu Muhammad Saudi yang mengusulkan wajib tani sebagai langkah menjaga ketahanan ekonomi nasional (Kompasiana, 15/4/2020). Saya setuju, bertani adalah cara yang paling tepat untuk bertahan di tengah ketidakpastian. Para orangtua kita di jaman dahulu sudah membuktikannya, mereka bertahan hidup meski pada masanya belum ada teknologi digital seperti saat ini yang sedang digaungkan oleh pemerintah.
Baiklah, mari kita bertani! Eits, tunggu dulu! Tidak semua orang bisa bertani. Saya tidak punya lahan untuk bercocok tanam, pun sebagian besar buruh pabrik seperti saya juga sepertinya tidak. Lalu bagaimana? Setelah berpikir beberapa saat, sepertinya langkah yang bisa saya lakukan adalah berkebun di rumah saja.Â
Kabar baiknya, banyak sekali orang yang mau berbagi cara berkebun di media soisial seperti YouTube. Kita bisa bercocok tanam di lahan sempit memanfaatkan halaman atau teras rumah. Apalagi sistem hidroponik sudah mulai familiar di masyarakat. Â Saya terpikir untuk berkebun aneka sayuran yang biasa dikonsumsi sehari-hari seperti bawang, cabai, tomat, kangkung, bayam, buncis dan lain-lain.Â
Dalam dua atau tiga bulan ke depan, kebun ini akan sangat bermanfaat menjaga stabilitas keuangan keluarga. Kita bisa mengikis pengeluaran untuk bahan-bahan makanan karena sudah terpenuhi dari kebun kita sendiri. Nantinya kita tinggal memikirkan bahan-bahan pokoknya seperti gas, minyak, beras, terigu dan lain-lain. Kesehatan keluarga pun lebih terjamin karena sering mengkonsumsi sayuran.
Bayangkan, jika setiap rumah atau setiap keluarga memiliki kebun ini. Tidak mustahil kedepannya satu kelurahan menjadi penghasil satu komoditi jika setiap warganya menanam satu jenis sayuran, dan kelurahan lain menanam jenis sayuran yang berbeda. Dengan begini Indonesia akan menjadi negara yang mandiri karena kebutuhan pangan sudah bisa terpenuhi tanpa impor impor lagi.Â
Ini adalah mimpi kita bersama tetapi untuk mewujudkannya tidaklah cukup dengan rebahan dan guling-guling di kasur. Saya pun mulai membeli polybag, membeli benih, mencangkul, menanam, menyiram dan memagarinya. Berikut adalah hasil kegiatan berkebun selama masa pandemik ini. Semoga bermanfaat ya...
Makro Prudensial Aman TerjagaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI