Mohon tunggu...
Amala Fathma F
Amala Fathma F Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo! Saya adalah seorang mahasiswi yang sedang melaksanakan tugas satu-satunya yakni "menuntut ilmu". Semoga kuat sampai tamat!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kenaikan PPN 12%: Antara Ambisi Fiskal dan Beban Rakyat Menelisik Dampak Perubahan Kebijakan dari Barang Mewah ke Hampir Semua Barang

17 Desember 2024   23:35 Diperbarui: 17 Desember 2024   23:46 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perdebatan mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terus bergulir di tengah masyarakat, menciptakan gelombang kekhawatiran dan pertanyaan yang belum terjawab. Awalnya, pemerintah meluncurkan narasi yang cukup meyakinkan "kenaikan PPN akan difokuskan pada barang dan jasa mewah". Sebuah retorika yang seolah-olah memberikan jaminan bahwa kebijakan ini hanya akan menyentuh segelintir kalangan berada, tanpa mengganggu stabilitas ekonomi masyarakat luas. Namun, kenyataan yang terungkap kemudian jauh berbeda. Cakupan kenaikan PPN meluas secara signifikan, merangkul hampir semua barang dan jasa, dengan pengecualian yang sangat terbatas pada sembilan bahan pokok (sembako). Perubahan arah kebijakan yang drastis ini memunculkan sebuah pertanyaan krusial: apakah ini semata-mata upaya pragmatis untuk mengamankan pundi-pundi negara, atau justru sebuah langkah yang berpotensi menggerus daya beli masyarakat, memperlebar jurang ketimpangan, dan pada akhirnya, menguji ketahanan ekonomi bangsa?

Di awal sosialisasi kebijakan ini, pemerintah berupaya membangun citra keadilan dan proporsionalitas. Narasi yang digaungkan adalah bahwa kenaikan tarif PPN, yang direncanakan menjadi 12% pada 1 Januari 2025, hanya akan menyasar barang dan jasa yang tergolong mewah. Dengan demikian, beban pajak tambahan diasumsikan hanya akan dipikul oleh kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih. Retorika ini sempat memberikan kesan bahwa kebijakan ini dirancang dengan cermat, mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat, dan tidak akan berdampak signifikan pada daya beli masyarakat luas, terutama kelompok menengah dan bawah yang rentan terhadap gejolak ekonomi.

Namun, seiring berjalannya waktu, informasi yang lebih detail dan menyeluruh mulai terkuak. Fakta yang sebenarnya adalah kenaikan PPN tidak hanya terbatas pada barang-barang mewah yang eksklusif, melainkan mencakup hampir semua barang dan jasa yang sebelumnya telah dikenakan PPN. Pengecualian yang diberikan sangat terbatas, hanya pada sembilan bahan pokok (sembako) yang memang merupakan kebutuhan mendasar bagi kelangsungan hidup masyarakat. Perubahan cakupan yang begitu signifikan ini membawa implikasi yang sangat besar dan multidimensional. Artinya, berbagai barang dan jasa yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat luas, mulai dari pakaian yang dikenakan, peralatan rumah tangga yang digunakan, hingga jasa transportasi dan telekomunikasi yang dimanfaatkan, semuanya berpotensi mengalami kenaikan harga akibat implementasi PPN yang lebih tinggi.

Dampak dari perluasan cakupan PPN ini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Efeknya akan terasa secara berantai, menciptakan domino efek yang merambat dari konsumen di ujung rantai hingga ke sektor riil yang menjadi tulang punggung perekonomian. Penurunan daya beli menjadi konsekuensi logis dari kenaikan harga secara umum. Hal ini akan secara langsung dirasakan oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tetap atau rendah, yang sebagian besar pendapatannya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Tekanan inflasi pun menjadi ancaman yang sangat nyata. Kenaikan PPN berpotensi memicu lonjakan harga barang dan jasa secara umum, yang pada akhirnya akan semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Inflasi yang tinggi akan menggerus nilai mata uang, membuat harga-harga semakin melambung, dan menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.

Tidak hanya konsumen yang merasakan dampaknya, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai penggerak utama ekonomi kerakyatan juga akan terkena imbas negatif. Kenaikan harga bahan baku dan biaya produksi akibat PPN yang lebih tinggi berpotensi menekan profitabilitas UMKM, bahkan memaksa beberapa di antaranya untuk gulung tikar. Daya saing UMKM juga akan tergerus, terutama di tengah persaingan pasar yang semakin ketat. Lebih jauh lagi, penurunan konsumsi masyarakat dan lesunya aktivitas UMKM dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Hal ini dapat berdampak negatif pada investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat secara luas.

Perubahan arah kebijakan ini juga memunculkan pertanyaan mendasar tentang etika dan keadilan sosial. Jika di awal pemerintah memberikan janji bahwa kenaikan PPN hanya akan menyasar barang mewah, mengapa kemudian cakupannya diperluas hingga mencakup hampir semua barang dan jasa? Apakah ini sebuah bentuk pengingkaran janji publik? Perubahan yang tiba-tiba ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah kurang peka terhadap dampak kebijakan bagi kelompok masyarakat menengah dan rentan, yang justru akan paling merasakan beban kenaikan harga.

Lebih dari sekadar perubahan kebijakan, isu ini juga menyoroti masalah transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Kurangnya komunikasi yang jelas dan konsisten mengenai perubahan cakupan PPN menciptakan kebingungan dan spekulasi di masyarakat. Pemerintah seharusnya memberikan penjelasan yang rinci dan transparan mengenai alasan di balik perubahan kebijakan ini, serta langkah-langkah mitigasi yang akan diambil untuk meminimalkan dampak negatifnya. Komunikasi publik yang efektif sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat dan menghindari terjadinya kegaduhan yang tidak perlu.

Kenaikan PPN merupakan sebuah dilema kebijakan yang kompleks. Di satu sisi, pemerintah membutuhkan penerimaan negara yang lebih besar untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik. Namun, di sisi lain, kebijakan ini berpotensi membebani masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. Perubahan arah kebijakan dari awalnya hanya menyasar barang mewah menjadi hampir semua barang dan jasa, dengan pengecualian yang sangat terbatas, menimbulkan kekhawatiran yang sangat serius.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang dan komprehensif dampak kebijakan ini, tidak hanya dari aspek fiskal, tetapi juga dari aspek sosial dan ekonomi secara luas. Pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meminimalkan dampak negatifnya dan memastikan komunikasi publik yang transparan dan efektif. Lebih dari itu, pemerintah perlu secara serius mempertimbangkan alternatif sumber pendapatan negara yang lebih adil dan tidak membebani rakyat secara merata, sehingga tercipta keseimbangan antara kebutuhan fiskal negara dan kesejahteraan masyarakat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun