Sebuah pengalaman luar biasa dialami oleh Kondradus Rupa Mangu. Seorang anak kampung  yang sukses di jalan literasi. Dengan menulis, ia mampu membiayai kuliah dan pendidikan anak-anaknya.
Putra asli Honihama, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT ini, tinggal di Tagerang Jawa Barat. Sebagai seorang penulis kawakan, namanya sudah tidak asing lagi.Â
Karena berasal dari satu kampung, sejak kecil, kami sudah mengenalnya.Ia disapa wartawan, jarang ia disapa dengan nama aslinya. Jika waktu kecil, kami sangat segan dengannya, Â saat ini tidak! Kami sudah sama sama memiliki minat yang sama yakni menulis.
Yang menarik dari sosoknya  adalah, ia sudah memiliki hobi membaca dan menulis sejak kecil. Dua dunia ini, sangat asing di kalangan anak anak kampung saat itu. Sangat asing, aneh dan bisa dianggap gila seorang anak SD,SMP, mengumpulkan koran, majalah dari gurunya dan dijadikan sebagai bahan bacaan di rumah dan di kebun. Baginya, itu adalah hobi.
"Saya mulai  termotivasi untuk memulis dari guru Bahasa Indonesia, Pa Andreas Eban Ola. Selain materi dan gaya mengajar, ia menyediakan ruang untuk kami menulis, yakni di Majalah Dinding sekolah. Kebiasaan menulis di Mading sekolah, terus mengasah kemampuan saya untuk belajar menulis,'tuturnya
Hingga melanjutkan pendidikan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Podor putra ke dua dari delapan bersaudara ini menjadi Pemimpin Redaksi untuk penerbitan Mading di Sekolah.
Akumulasi kebiasan menulis ini, mendorongnya untuk mengirim tulisan ke media. Dan tulisan pertamanya yang dimuat di Koran Dian saat itu adalah sebuah Cerita Pendek ( Cerpen) "Derita yang Tak Pernah Berakhir" sebuah karya imajinasi luar biasa, yang menggambarkan kebiasaan masyarakat (Kepala Keluarga) yang memilih merantau  tapi kemudian mengorbankan keluarganya.Â
"Tulisan saya tembus di koran, bagi saya adalah sebuah kebangaan dan saya catat dalam lembaran sejarah hidup saya. Kenapa..? Puluhan kali saya mengirim tulisan namun baru kali ini lolos dan dimuat. Kebanggaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata - kata. Pengalaman mendapat imbalan pertama kali dalam menulis dari redaksi Rp. 7500," katanya.
"Sejak itu saya sangat aktif menulis. Tidak hanya cerpen, berita seputar pristiwa dan kejadian di desa dan kecamatan selalu saya tulis, kirim dan muat. Dalam keterbatasan, menggunakan mesin ketik, mengirim via pos tidak men yurutkan semangat kami untuk menulis. Pernah satu kali saya menulis tentang angka kematian yang tinggi di Honihama Desa Tuwagoetobi sempat membuat geger satu kecamatan, karena isi tulisan mengkritisi pelayanan Puskesmas dan pihak gereja. Itu menjadi pengalaman untuk terus memberi kabar ke publik melalui tulisan", terangnya.
Alumni SMPN 2 Adonara Timur Witihama ini, mengaku orang yang membuatnya, tetap termotivasi dan terbantu menulis adalah figur Thomas Akaraya Sogen yang saat ini sebagai Ketua Asosiasi Guru Penulis (Agupena) Wilayah NTT.
"Thomas Sogen, bagi saya, adalah figur yang selalu memberi teladan. Dia selalu memotivasi dan mengajar saya tentang menulis, mulai dari menyusun kalimat, mencari ide hingga menyusun paragraf. Saat di SPG tidak hanya Koran Dian yang memuat tulisan kami namun beberapa majalah seperti Mingguan Hidup," ujarnya.
Kami kadang menghabiskan waktu berlama lama, hanya berdiskusi seputar dunia memulis. Dan memasang target untuk setiap minggu selalu ada tulisan kami yang terekspos di koran, katanya.
Tamat dari SPG Podor, Kondradus Mangu memilih mengajar di SMPS Katolik 1912, tahun 1989 sampai 1994. Pada sekolah kampung halamannya Gubernur NTT ini, Ia mengajar Mata Pelajaran Bahasa Indonesia.
Niat yang besar untuk mengasah kemampuan di dunia jurnalis mendorongnya harus "merantau" ke Kupang, Ibu Kota Provinsi NTT. Tujuannya, adalah mencari lembaga yang dapat meningkatkan kemampuannya dalam menulis. Tak butuh waktu lama, ia diterima bekerja di Koran Suara Timor.
Sambil bekerja di Koran Timor, ia juga menjadi koresponden. Majalah Travel Club. Tahun 1998-1999, lewat ajakan temannya Mans Balawala, berdua ke Dili dan mengolah Koran Novas, Pimpinan Freddy Wahon. Kurang lebih 11 bulan di Dili, putra dari Bapak Mateus Kopong Bura (almahrum) ini memutuskan kembali ke kampung halaman dan berniat mengadu nasib ke Ibu Kota Negara, Jakarta. Sama seperti di Kupang, niatnya ke Jakarta juga ingin meningkatkan kapasitasnya dalam dunia menulis.
2001, Ia ke Jakarta. Di Jakarta, tinggal di Depok. Dengan pengalamannya menulis yang ada dan namanya sudah dikenal, Ia langsung diajak bekerja oleh seorang teman namanya Ansel Deri. Pertama bekerja menjadi Wartawan Ozon. Sebuah Majalah Lingkunga Hidup.
"Saya bersyukur tiba di Jakarta langsung dapat kerja. Sebagai wartawan di lapangan, setiap hari kami mencari isu isu aktual di lapangan. Saya sering juga di Kantor DPR/MPR. Sempat ditugaskan ke Surabaya peliputan di Semen Gersik, peliputan di Yogyakarta, Jawa Barat dan beberapa wilayah lainnya. Setelah punya penghasilan, saya kemudian berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang strata satu (Sarjana). Memilih Jurusan Bahasa dan Sastra, saya mendaftarkan diri di Universitas Indra Prasya (Unindra) Jakarta Selatan. Semua biaya kuliah hingga sarjana saya dapat biayai dari hasil menulis," kisahnya.
Benar benar menjadi teladan. Kuliah sambil kerja. Dan kerja untuk membiayainya adalah dengan menulis. Sungguh ini langkah di zaman itu. Ketekunan yang ia lewati dan proses yang tak pernah letih, menghantarnya meraih gelar sarjana pendidikan pada tahun 2010.Â
Sejak itu ia mengabdikan dirinya sebagai guru di SD St. Fransiskus Tebet, kemudian mengajar di SMK Setya Bahkti dan SD Setya Bahkti hingga sekarang. Aktivitasnya dalam mengajar, tidak mematahkan semangatnya untuk terus menulis.Â
Hingga saat ini, ia menjadi penulis di beberapa media diantaranya; Sahabat Pena, Travel Club, Mingguan Hidup, Majalah Praba Yogyakarta, Majalah Utusan Yogyakarta, Majalah Internasional Ucean News, penakatolik, Depoedu.
Dalam menulis, hal yang paling disukai adalah menulis profil pengalaman iman seseorang. Baginya, dengan mewawancara profil orang seperti itu, secara tidak langsung, kita mendapatkan katekese gratis.
"Kita sepertinya turut merasakan, apa yang dirasakan oleh orang yang kita wawancarai. Seorang Imam dalam khotbahnya, bisa mempengaruhi orang pada ruang terbatas yang dibatasi oleh dinding gereja, sementara lewat tulisan mampu menjangkau khalayak," tuturnya.
Ayah dari Antonius. David Cristian Ama sani ini menyampaikan beberapa pesan seputar pengalamannya dalam dunia menulis. Menurutnya, seorang bisa menjadi penulis berangkat dari adanya niat, dan motivasi yang kuat untuk menulis.
Kemudian didukung oleh kegemaran membaca dan latihan. Membaca dan menulis seperti dua sisi mata uang yang tidak pisah dilepaspisahkan.Â
Keduanya saling mendukung antara satu dengan yang lain. Menjadi guru dewasa ini, mesti memiliki kemampuan plus, salah satunya adalah kemampuan menulis.
Bagaimana bisa kita menuntut anak untuk membaca dan menulis, sementara sebagai guru kita tidak menmmberi contoh atau teladan. Guru harus menjadi telandan, hingga jejak itu bisa diikuti oleh siswa. Rumus menulis adalah adanya kemauan dan latihan, katanya.
Putra yang lahir dari rahim Mama Sofia Tuto 49 tahun silam ini dalam bekerja sehari hari, dan sukses di dunia menulis didukung oleh seorang Ibu Rumah Tangga Tagguh, Ibu Stefania Mariete Irma. Jantung hatinya yang ia jumpai saat pertama kali bekerja di Majalah Ozon, dimana kala itu Ibu Stefania bekerja sebagai Sekretatis Redaksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H