Mohon tunggu...
Maksimus Masan Kian
Maksimus Masan Kian Mohon Tunggu... Guru - Guru Kampung

Pria

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gerakan Satu Guru Satu Taman Baca

12 Januari 2019   06:31 Diperbarui: 12 Januari 2019   06:49 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermimpi itu gratis, mari kita terus bermimpi. Soekarno pernah berkata, bermimpilah setinggi langit dan kalaupun jatuh, pasti berada diantara bintang-bintang. Sebuah optimisme yang mendorong siapa saja untuk berani bermimpi. Usaha keras, komitmen yang kuat, untuk menuntaskan mimpi-mimpi itu.

Optimisme akan melahirkan kreasi dan inovasi. Berani berbuat beda, menampilkan yang tidak biasanya walau harus mendapat tantangan. Bung Sila, Pejuang Pancasila Sakti pernah berkata, "Tidak Ada Perjuangan Tanpa Luka". Bermodalkan mimpi ini, Ia berhasil mengelilingi Indonesia, dalam misi Pancasila Sakti. Contoh dahsyatnya kekuatan mimpi. Mimpi yang mampu menciptakan sejarah.

Tentang "Gerakan Satu Guru Satu Taman Baca", adalah bagian dari mimpi. Imajinasi ini lahir dan mengalir begitu saja. Membayangkan minimnya kepedulian menghidupkan Gerakan Literasi, sebuah gerakan yang penting dan bermanfaat untuk anak bangsa. Disisi lain, beban kerja guru dalam ruang ilmiah bisa dikatakan masih minim.

Guru berada di sekolah maksimal 6 (enam) jam. Selebihnya, di lingkungan masyarakat. Nah, bagaimana peran guru di lingkungan masyarakat, khusus dalam penciptaan iklim ilmiah..? Penulis, tidak   bermaksud  memaksa atau mewajibkan tetapi sekedar memantik, bagaimana peran yang bisa dijalankan, terkait penciptaan lingkungan yang mampu memberikan ruang kepada anak untuk bermain, berkreasi, dan berinovasi pada ruang dan tempat yang tepat.

Mimpi akan gerakan di atas, tidak berharap semua guru membangun satu Taman Baca. Yang terimplisit adalah bagaimana kontribusi guru-guru terhadap kampung halaman, tempat kelahirannya dengan mendirikan minimal 1 (satu) Taman Baca. 

Gerakan satu kampung, atau desa berdiri satu Taman Baca, tempat anak-anak bertemu, bermain, bercerita, membaca, menulis, mewarnai, bernyanyi, menari, dan kreasi lainnya.Tempat yang selalu membuat anak rindu dan betah!

Fisik Taman Baca dimaksud tentu tidaklah mewah. Paling sederhana, teras rumah. Isi ruang rumah memang lebih identik dipenuhi sofa, televisi berukuran besar, lemari pakian terbaru, kulkas, dan lain- lain, baiklah kita memberi sedikit warna ilmiah. 

Ruang untuk anak berliterasi.Misalnya, di teras rumah tidak membutuhkan fasilitas yang mahal. Cukup ada lemari untuk menyimpan buku, ada beberapa kursi, sebuah Majalah Dinding (Mading) kecil dan ada jadwal kegiatan dengan anak.

Mengolah Taman Baca, sesungguhnya tidak sulit. Pertama, tidak harus setiap hari kita berproses(mendampingi) anak. Waktunya dijadwalkan dengan agenda kegiatannya. Sementara tanpa pendampingan, mereka bisa melewatiny sendiri, misalnya membaca buku, mengerjakan tugas sekolah, dan lain-lain. 

Hal berikut, tentang tugas pendampingan, bisa dibagi-bagi. Pengelolah utama, bisa menjalin kerja sama dengan rekan-rekan guru di kampung atau desa, baik guru TK, SD,SMP, atau SMA/K. Lakukan penjajakan kemampuan atau kelebihan masing-masing guru dan potensi itu, bisa dibagikan kepada anak-anak.

Guru yang hebat mendongeng akan mendongeng kepada anak. Guru yang terampil melukis dan mewarnai akan membagi kemampuan melukis dan mewarnai. Seterusnya, guru yang pandai menyanyi, menari, memainkan alat musik, menulis puisi, dijadwalkan untuk membagikan potensinya kepada anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun