Kehidupan setiap manusia, baik yang dijalani dengan penuh kebahagiaan dan kegembiraan atau dilalui dengan segala penderitaan, kemalangan, dan kezaliman (ketidakadilan) harus berujung dan berakhir dengan realitas kematian. Kematian merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri dan mustahil ditolak oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk.Â
Seluruh manusia jujur berkata bahwa satu-satunya kenyataan dalam catatan kehidupan manusia adalah kematian. Inilah masalah yang sangat esensial yang digeluti oleh filsafat manusia.Â
Bahwa pada dasarnya kematian itu adalah sebuah misteri. Dikatakan bahwa tidak ada seorang pun manusia yang telah mati lalu hidup kembali ke bumi dan mengatakan kepada kita bagaimana mereka di seberang kematian itu. Refleksi semacam ini hanya berasal dari manusia yang masih hidup.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ada apa di balik kematian itu? Apakah ada kehidupan di balik kematian itu? Apakah seperti yang ditandaskan oleh sekelompok materialisme dan nihilisme yang mengatakan bahwa kematian adalah batas segala-galanya dan di balik itu tidak ada apa-apanya?Â
Pertanyaan perihal kematian itu tentu saja memiliki banyak perspektif. Sebagiannya mengatakan bahwa semua makhluk hidup itu mati. Akhirnya bahwa tumbuh-tumbuhan mati, binatang mati, dan manusia juga mati.Â
Pertanyaan yang harus direfleksikan adalah apakah kematian manusia sama dengan kematian makhluk hidup yang lain. Sampai di sini saya mengafirmasi bahwa memang pada dasarnya manusia itu akan mati. Tetapi apakah kematian subyek aku itu berbeda dengan kematian subyek aku yang lain?Â
Atau apakah kematian itu bersifat pribadi? Artinya kematian antara subyek yang satu berbeda dengan kematian yang lain? Inilah yang digeluti dalam filsafat manusia.
Pada dasarnya dinamika perkembangan hidup manusia itu mutlak dan memuncak. Secara distingtif subyek itu terdiri dari aku empiris dalam arti ada sosok fisik yang kelihatan. Contohnya adalah perasaan, pikiran, dan semua yang melekat pada kedirian aku yang kelihatan.Â
Kedua, aku sejati. Dua aspek ini pada dasarnya berjalan bersamaan dan karenanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam bukunya Anton Bakker ia mengemukakan dua istilah, yakni disposable dan throw-away.Â
Disposable itu diartikannya sebagai pengalaman-pengalaman hidup manusia yang mudah ditanggalkan dan mudah dimusnahkan atau dengan kata lain pengalaman yang tidak berarti. Misalkan dalam pembicaraan kita mengenai satu persoalan pada hari ini. Persoalan yang kita bicarakan ini tentu saja tidak akan sama persis dengan apa yang akan kita bicarakan besok apabila diulang kembali.
Kedua, throw-away yang diartikannya sebagai sebuah benda yang sekali dipakai lalu kemudian dapat dibuang. Contoh saja pakayan atau sepatu dan lain sebagainya. Akan tetapi yang perlu disadari oleh manusia bahwa pengalaman yang tidak berarti ini sama sekali tidak hilang begitu saja, melainkan melekat kuat dengan aku sejati dalam perkembangan dan dalam dinamika hidup itu.Â