Mohon tunggu...
Mochamad Makruf
Mochamad Makruf Mohon Tunggu... Editor - Freelance writer. Writing is my life since 1997 and published 5 books. One of them, Ekspedisi Buku Barisan 2011 cooperation with Komando Pasukan Khusus (Indonesia Special Forces of ARMY). Contact me: makrufmochamad2@gmail.com. Online news www.penaprestasi.com.

Freelance writer. Writing is my life since 1997 and published 5 books. One of them, Ekspedisi Buku Barisan 2011 cooperation with Komando Pasukan Khusus (Indonesia Special Forces of ARMY). Contact me: makrufmochamad2@gmail.com. Online news www.penaprestasi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Tahun Ajaran Baru 2017-2018, Apakah Buku K13 Terlambat Lagi?

14 Maret 2017   07:21 Diperbarui: 4 April 2017   18:11 10345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uniknya, kejadian seperti ini hanya ada di Indonesia. Keberadaan buku teks pelajaran sangat sulit diperoleh di pasaran.  Itu karena penjualnya pun dibatasi; hanya pemenang tender. Untuk membelinya pun harus melalui daring atau onlinealih alih untuk reduksi pungli.

Bila ada pedagang buku (tentu bukan pemenang tender) yang menjual buku teks di pasaran dipastikan dirazia polisi. Padahal yang dijual mereka buku teks pelajaran yang bertujuan  mencerdaskan anak bangsa bukan  buku Jokowi Undercover.  Ini semua fakta dan sudah terjadi di lapangan.

Para pedagang dianggap menjual buku teks tanpa hak karena melanggar UU Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Di cover belakang buku tertulis “Barang Milik Negara, Tidak Diperdagangkan Bebas.” 

 Padahal uang untuk membeli HAKI buku  teks tersebut oleh Puskurbuk dari para penulis buku  berasal dari uang pajak. Uang pajak tentunya uang dari masyarakat termasuk dari pedagang kecil buku.  Sekilas sepertinya sungguh sulit dan kejam memperoleh pelayanan pendidikan di negeri ini.

Apakah ini semua sesuai konstitusi UUD 1945; negara menjamin kebebasan penduduknya memperoleh pendidikan layak? Memperoleh buku teks saja sulit karena penjualnya dirazia polisi. Apakah ada kebebasan dan kelayakan? Silakan ditelaah sendiri. 

Kemendikbud melalui Puskurbuk, Badan Standar Nasional Pendidikan(BSNP),  dan LKPP (para stake holder ketersediaan buku teks)  harus mengakhiri drama menggelikan penyediaan dan distribusi buku teks di Indonesia ini. Kembalikan sistem atau mekanisme distribusi buku teks pelajaran ke pasar bebas seperti distribusi  BSE (Buku Sekolah Elektronik)  KTSP era Mendiknas Bambang Sudibyo. Tidak ada pembatasan bagi penjual buku teks. Karena kata pembatasan  hanya berlaku di era Orde Baru.

Tidak ada pedagang buku teks dirazia polisi karena naskah buku BSE KTSP  bebas di-download di website Kemendiknas dan dijual.  Harga buku juga murah karena sesuai harga eceran tertinggi (HET) sesuai SK Mendiknas. Masyarakat pun bisa memperoleh buku teks di toko buku baik besar maupun kecil dengan mudah.

Bagaimana alur kemunculan  buku teks BSE  KTSP saat itu? Puskurbuk membeli naskah buku dari pemenang lomba penulisan buku teks. Lomba ini sendiri biasanya digelar setahun sekali. Naskah buku teks  yang menang sebelumnya sudah diteliti standarisasinya oleh  BSNP.

Satu naskah  BSE  KTSP saat itu dibeli hak ciptanya nilainya sekitar Rp. 100 juta oleh Puskurbuk. Selanjutnya buku diedit dan di-lay out. Soft file buku dalam bentuk pdf selanjutnya di-upload di website Kemendiknas. Buku bisa dijual sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) ditentukan melalui SK Mendiknas.

Maka buku teks tersebut bisa di-download masyarakat termasuk guru, wali murid, para penerbit besar maupun kecil,  dan pedagang lapak buku  untuk digandakan. Penerbit bisa menjual buku tersebut  sesuai HET Kemendiknas tanpa lelang dan tender. Pembelanjaan buku oleh sekolah  juga dengan dana BOS. Saat itu dominasi buku teks sekolah mahal tumbang.

DULU BEBAS, KINI TERBATAS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun