INDONESIA memiliki kekayaan alam dan objek wisata melimpah. Namun dari ribuan objek wisata di negeri ini hanya satu dua yang dikenal di dunia international. Sebut saja Borobudur yang pernah masuk tujuh keajaiban dunia, selain itu ada Pulau Komodo, Bali, Lombok, Bunaken, Manado, dan Raja Ampat, Papua.
Tentunya sangat disayangkan bila ribuan objek wisata di negeri belum dikenal wisatawan mancanegara hanya karena manajemen promosi dan pengelolaannya tidak profesional. Padahal bila objek wisata tersebut dikelola secara profesional tentu akan mendatangkan devisa negara.
Padahal pemerintah pusat maupun daerah sudah menganggarkan dana promosi objek wisata. Tapi mengapa promosi objek wisata negeri ini sampai saat ini belum sampai membuka mata dunia international ‘Indonesia lebih kaya objek wisatanya dibanding Malaysia’.
Mengapa penulis membandingkan dengan Malaysia? Karena promosi wisata ke dunia international, Indonesia masih kalah jauh dibanding Malaysia. Malaysia sangat gencar sekali mempromosikan keindahan negerinya di dunia international.
Kebetulan penulis penikmat TV chanel asing. Penulis kerap melihat promosi objek-objek wisata Malaysia muncul di channel-channel antara lain National Geographic, BBC Knowledge, HBO, dan Discovery. Penulis pun sampai jengkel, Malaysia hanya sekelumit pulau di pojok Kalimantan kok bisa mengalahkan Indonesia dalam promosi wisata.
Sampai saat ini penulis sudah berlangganan TV channel asing tersebut selama dua tahun namun tayangan promosi objek wisata Indonesia belum ada. Jadi promosi wisata Indonesia masih kalah dengan Malaysia. Bahkan, Malaysia bisa meng-create acara sendiri dengan masa tayang satu jam di salah satu channel TV asing tersebut.
Mengapa promosi Indonesia kalah? Apakah tidak ada anggaran untuk mempromosikan objek wisata ini? Bagaimana hasil studi banding eksekutif atau legislatif selama ini ke luar negeri apakah tidak pernah mencatat detail perkembangan wisata setempat untuk meng-upgade pengelolaan wisata dalam negeri?
Malaysia juga piawai untumempromosikan objek wisatanya secara off air. Seperti diketahui penerbangan Air Asia memiliki pangkalan khusus di Kuala Lumpur. Penerbangan Air Asia dari bandara ini terkoneksi dengan tiga kota besar di Jawa, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Ternyata koneksi penerbangan ini dimanfaatkan betul oleh Malaysia untuk mempromosikan negerinya di tiga kota besar tersebut. Penulis sempat melihat papan reklame besar promosi wisata Malaysia terpampang di Jalan Sumatra, dekat Hotel Sahid, Surabaya.
Apakah Surabaya atau Bandung juga memanfaatkan koneksi penerbangan ini untuk promosi wisatanya? Tidak ada. Penulis tidak pernah melihat papan baliho promosi wisata Bromo atau Tangkuban Perahu di Kuala Lumpur.
Penulis saat itu menyempatkan ke Genting, Malaysia. Genting adalah kota sejuk seperti di Batu, Jawa Timur. Malah, Batu lebih bagus pemandangannya. Genting juga tidak setara bila dibandingkan ‘Negeri Atas Awan’ Bromo yang jauh lebih indah scenery-nya .
Namun, sekali lagi kita kalah dalam pengelolaannya. Para wisatawan asing untuk menuju ke Genting sangat mudah sekali. Mereka hanya menuju ke terminal utama di Kuala Lumpur dekat menara Petronas. Di terminal itu ada loket-loket penjualan one way atau two way ticket bus wisata Genting-Kuala Lumpur. Tiket berangkat misalkan jam 10.00, untuk pulangnya kita bisa memilih jam 20.00.
Jadi setelah puas berwisata di Genting dengan naik kereta gantung atau pun menjajal roll coaster, ketika pulang, sudah ada bus penjemput yang sudah stand by di terminal Genting tepat pukul 20.00. Hebat bukan.
Penulis membayangkan pengelolaan terminal terpadu dengan objek wisata tersebut di Jawa Timur. Jadi stand penjualan one way atau two way ticket ke Bromo dan bus wisata mewah dan representatif sudah stand by di Terminal utama Joyoboyo, Surabaya. Bila dikelola demikian, wisatawan asing akan mudah mencapai objek wisata unggulan Jawa Timur dengan nyaman.
Bagaimana dengan Paris. Penulis sempat ke Paris usai mengunjungi Frankfurt Book Fair beberapa waktu lalu. Jadi penulis berangkat dari kota Frankfurt menuju Paris menggunakan kereta api super cepat. Yang menarik, pembelian tiket kereta api tersebut tiga hari sebelum hari keberangkatan ternyata diskonnya 40 %. Bandingkan beli tiket di negeri ini, 30 sebelum hari keberangkatan harganya tetap 100 %. Tidak menarik. Bila naik kereta, perjalanan ke Paris waktu tempuhnya sekitar empat jam. Sedangkan, bila naik bus, waktu tempuhnya 12 jam.
Tiba di Paris, penulis segera mengunjungi Eifel Tower. Untuk naik ke pucuk Eifel Tower, penulis sudah memesan tiketnya online dan print sekalian saat di Frankfurt. Waktu naik pukul 16.00. Untuk diketahui, batas waktu naik ke Eifel Tower hanya sampai pukul 20.00. Jadi tiket objek wisata selain bisa dibeli off line juga bisa on line.
Apa yang menarik pengelolaan objek wisata di Paris? Bus wisata kotanya. Bus double deck atau bus tingkat yang siap melayani wisatawan asing untuk menikmati wisata kota Paris yang lebih dari 10 objek wisata. Tarifnya cuma 3 euro untuk masa berlaku dua hari. Wisatawan bila belum selesai mengunjungi 10 objek wisata tersebut bisa dilanjutkan hari berikutnya. Kota-kota besar di Indonesia tentu bisa implementasi transportasi ini. Wake Up Indonesia !!!.
*Jurnalis, Penulis dan Editor Buku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H