[caption id="attachment_358921" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
SEKITAR dua bulan lalu, saya menulis surat pembaca di Harian Kompas. Isinya, saya memprotes kebijakan Dikti yang menghambat pengajuan beasiswa Dikti LN 2014 hanya gara-gara saya belum memiliki NIDN ((Nomor Induk Dosen Nasional). Namun saya hanya memiliki NUPN (Nomor Urut Pengajar Nasional).
Dosen yang memiliki NIDN umumnya sudah merupakan dosen tetap dari lembaga tempatnya mengajar, sebaliknya NUPN adalah dosen tidak tetap. Padahal status saya sebenarnya dosen tetap di sebuah PTS di kawasan jalan Semolowaru.
Saya sebenarnya sudah mengajukan dosen tetap via universitas untuk memperoleh NIDN. Namun, ternyata pengajuan saya tidak disetujui untuk memperoleh NIDN dan hanya memperoleh NUPN. Itu karena saya belum mengantongi ijazah S2. Jadi untuk memperoleh NIDN harus S2. Masalahnya saya masih S1 dan mau lanjutkan S2 via program beasiswa LN.
Saya memprotes Dikti karena jelas menghambat proses pengajuan beasiswa LN. Dikti mengkebiri hak saya sebagai warga Indonesia untuk memperoleh pendidikan layak. Itu semua gara-gara saya tak memiliki NIDN. Dikti sepertinya hanya mementingkan birokrasi tapi tidak hasil.
Saya pantas marah dan kecewa dengan Dikti. Mengapa? Karena saat mengajukan paermohonan beasiswa Dikti LN, saya sudah mengantongi Letter of Acceptance (LoA) dari Flinders University, Adelaide untuk Master of International Relation. LoA itu berlaku sampai Juli 2014.
Saya sendiri mengajukan beasiswa Dikti LN pada bulan November 2013. Sebelum berkas permohonan dikirim ke Dikti, saya mengajukan surat rekomendasi ke Kopertis VII. Karena tidak memilikik NIDN, permohonan saya dikembalikan. Padahal saat mengajukan surat rekomendasi ke Kopertis VII itu saya melampirkan copy LoA Flinders. Saya pun kecewa dengan tak dikeluarkan surat rekomendasi tersebut. Saya pun menulis surat pembaca di harian Kompas dan dimuat.
Imbasnya, Dikti menegur Rektor PTS tempat saya mengajar. Saya pun dipanggil rektor dan diwanti-wanti jangan mencari beasiswa via Dikti dan silakan cari beasiswa LN yang sponsornya LN. Saya memaklumi apa yang dilakukan rektor kepada saya karena untuk kemajuan PTS saya sendiri. Karena bila PTS melawan, bisa jadi Dikti tidak akan mensetujui bila ada pengajuan Prodi-Prodi baru dari PTS saya.
Tapi gara-gara penolakan tersebut, LoA Flinders saya nganggur. Karena pada Juli 2014, saya tidak bisa menggunakannya karena terbentur biaya. Biaya dari mana? Harapan dari beasiswa Dikti LN terbentur NIDN. Saya memiliki kesempatan besar bisa diterima di Dikti LN. Karena persyaratan IBT TOEFL hanya 70. Sedangkan, IBT TOEFL saya, 78. Selain itu saya sudah memiliki LoA Flinders.
Apa yang saya alami ternyata tidak sesuai dengan perkataan Mendiknas M. Nuh sendiri. Serapan beasiswa LN bagi dosen sebenarnya belum maksimal. Karena itu saya sangat mengajukan beasiswa LN via Dikti. Hasilnya ternyata sangat mengecewakan.
Dan setelah surat pembaca saya itu dimuat Kompas, bukannya Dikti ada koreksi diri misalkan mengutamakan pemegang LoA untuk memperoleh beasiswa Dikti LN meski tidak memiliki NIDN. Tapi malahan, saya yang terkena peringatan. Ternyata di era reformasi saat ini masih ada gaya orde baru--yang masih mementingkan birokrasi yang mbulet yang jelas-jelas menghambat kemajuan bangsa.