Mohon tunggu...
Makruf Mukti Ali
Makruf Mukti Ali Mohon Tunggu... Freelancer - Data Enthusiast, HR Development Analyst

Seorang Sarjana Sistem Komputer dan Magister Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kepemimpinan dan Budaya Organisasi, Inovatif atau Disruptif?

17 Januari 2024   15:11 Diperbarui: 17 Januari 2024   16:02 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inisiatif digitalisasi yang sukses membutuhkan perpaduan antara pengembangan strategi dan aplikasi teknologi (Hoe, 2020), hal tersebut tercermin dari Jeff bersama Amazon dalam slogannya "Get it fast" telah mengubah bisnis dari skala kecil menjadi bisnis skala besar, kecepatan proses adopsi dan adaptasi teknologi menjawab tantangan perubahan pola konsumsi masyarakat. Yang menarik dari budaya organisasi Amazon adanya gagasan "Two Pizza Theory" yang dikemukakan Jeff, secara ekplisit teori tersebut menggambarkan jika sebuah tim besar tidak bisa diberi makan dengan dua pizza, itu terlalu besar. Jeff beranggapan ketika masalah muncul keterlibatan kinerja individu tidak terlihat dalam tim besar, sedangkan dalam tim kecil yang berkualitas cenderung lebih produktif secara pribadi (Choi, 2013). Model  kekuatan  bisnis  Amazon  sama  dengan  Alibaba,  skema  kebijakannya bersifat bottom-up dengan berfokus pada kebutuhan dan keinginan pelanggan yang ditampung oleh karyawan sebagai sumber informasi yang penting bagi perusahaan.

Budaya Inovasi

Budaya inovasi organisasi menjadi penting di era VUCA (Volatility, Uncertainity, Complexity, Ambiguity), inovasi menjadi benteng utama dalam menghadapi gempuran revolusi digital yang makin cepat dan masif. Beberapa kasus tahun terakhir tiga perusahaan besar seperti Nokia, Kodak, Yahoo dan masih banyak lagi  gulung tikar akibat  terdisrupsi oleh teknologi dan tidak dapat bertansformasi mengikuti mekanisme pasar, faktor penyebabnya diuraikan sebagai berikut; Nokia tidak mengantisipasi hadirnya sistem operasi android, kodak sepi penjualan akibat maraknya kamera digital,  yahoo  terpaksa  menjual  sahamnya  karena  pengguna  layanan  e-mail  nya banyak berpindah ke google yang kaya akan inovasi. Kasus tersebut menggambarkan bahwa minimnya praktik inovasi memberi dampak negatif terhadap penyelenggaran manajemen  organisasi, sebaliknya  budaya  inovasi  yang  kental  dalam  perusahaan dapat memicu perubahan strategi manajemen dan memperluas peluang diversifikasi usaha baru. Praktik bisnis di dunia industri Cina dan Jepang, budaya organisasi yang melekat pada masyarakat di sana dikenal dengan istilah shanzai culture dan kaizen culture.

Shanzai Culture

Cina identik sebagai negara penghasil barang KW alias asli tetapi palsu, pernyataan tersebut dapat terlihat dari hasil produksi barang dari Cina yang masuk dan tersebar di beberapa negara termasuk indonesia, barang tersebut merupakan barang tiruan dari konsep maupun model induk merek-merek ternama dengan harga jual relatif lebih murah dari merek aslinya. Budaya tiru yang di terapkan di Cina berangkat dari sebuah perusahaan ponsel shanzai di mana kala itu strategi bisnis yang dijalankan perusahaan dengan jalan meniru konsep (mengimitasi) ponsel kenamaan nokia dan motorola, seperti disampaikan oleh Liu et al (2015) bahwa perusahaan yang mempraktikkan imitasi di industri ponsel disebut perusahaan Shanzhai, dan produk mereka disebut ponsel shanzhai. Shanzhai sebagai produsen ponsel meniru fungsi dan gaya produsen ponsel kenamaan seperti Motorola dan Nokia kemudian dilanjutkan Samsung dan Apple (Liu et al, 2015).  ukuran kecil perusahaan mereka menyulitkan dan memiliki keterbatasan pada penelitian dan pengembangan (Liu et al, 2015) dan sebagian besar dari mereka cenderung meminjam ide atau meniru desain produk  dari  pemain  utama.  Hal  tersebut  didasari  pada  tujuan  perusahaan shanzai yang ingin menciptakan ponsel murah dengan segmentasi pasar pada masyarakat ekonomi kelas bawah (Liu et al, 2015) Seiring perkembangan  waktu,  budaya  tiru  (shanzai)  telah  menjelma  menjadi  budaya organisasi yang dipraktekkan hingga sekarang pada industri di Cina, tentu shanzai tidak sepenuhnya mempunyai efek negatif namun juga memiliki beberapa dampak positif, sejalan dengan pemikiran Mokhber et al (2018) bahwa pengetahuan  inovatif  yang  sama  dapat  berguna  untuk  mempromosikan kewirausahaan mandiri melalui pertukaran teknologi di industri lain dan sangat mempromosikan inovasi. Peruntukan budaya shanzai sebagai budaya inovasi lebih tepatnya diletakkan pada konsep istilah ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).

Kaizen Culture

Jepang termasuk negara yang inovatif dengan segudang inovasi teknologi canggih, dibalik budaya masyarakat jepang yang memiliki produktivitas tinggi sudah tentu ada budaya yang mengkar kuat dalam ruang lingkup sosial kemasyarakatannya. Kai (Berubah) Zen (Menjadi baik), sebuah konsep strategi manajemen kualitas pada masyarakat Jepang pertama kali di populerkan oleh seorang bernama Masaaki imai melalui  bukunya  yang  berjudul  "The  Keys  of  Japan's  Competitive  Succes"  telah menarik perhatian dunia luas khususnya dalam perbaikan strategi bisnis secara berkelanjutan, keberlanjutan kaizen  menurut Mendez & Vila-Alonso (2018) dijelaskan sebagai sesuatu kapasitas model manajemen yang tidak lekang oleh waktu dan efektif serta implementatif. Sementara menurut Macpherson et al, (2015) menunjukkan keterlibatan manajemen organisasi dalam mengejar bisnis keunggulan melalui interplay dari perusahaan-sisi mengejar keuntungan dan persaingan, dan keterampilan, kreativitas, kepercayaan diri, dan  kebanggaan dari pihak karyawan, selain itu kaizen juga   membutuhkan   sarana   untuk   mengoperasikan   alat   dan   metode   untuk menghasilkan dan mengimplementasikan peningkatan. Puncak dari kedua   elemen - sisi perusahaan / sisi karyawan dan alat dan metode - menghasilkan energi yang meresap ke organisasi dan menciptakan keadaan pikiran bersama di antara karyawan untuk   mencapai perubahan dan inovasi proaktif (Macpherson et al, 2015).  Selain itu masyarakat di Jepang memiliki keunikan dan kekhasan yang tak dimiliki negara lain, mereka menyebutnya chindogu culture yaitu budaya menciptakan barang  aneh, unik dan cenderung merepotkan penggunanya, tujuan penciptaan barang-barang  chindogu untuk membantu aktivitas manusia. Beberapa produk yang telah dihasilkan seperti,  payung  yang  bisa  membantu  melihat  jalan  di depan, stik mentega, kipas sumpit, kacamata tetes mata, dan masih banyak lagi. namun  secara  positif setiap individu masyarakat Jepang terangsang kreatif dan inovatif untuk membuat prototipe, pada kenyataannya chindogu menjadi daya tarik dan telah menginspirasi lima puluh laman di internet (Hall, 1999).

Simpulan dan Saran

Berkaca pada kasus kepemimpinan di era digital, kepemimpinan inovatif mutlak diperlukan  dalam  penciptaan  iklim  perubahan organisasi,  daya  imajinasi  yang  kuat menjadi  konduktor untuk menghasilkan produk-produk  baru  yang belum  pernah  ada sebelumnya. Budaya inovasi berimplikasi pada perilaku defensif organisasi dari arus disrupsi teknologi digital yang makin masif. praktik budaya inovasi di industri digital dalam mengikuti pasar yang terus berubah dan tak tentu mampu melahirkan pemimpin yang inovatif. Beberapa poin saran penerapan inovasi pada organisasi agar berkembang antara lain:

  • Ketersediaan Research and Development (R&D) dalam struktur organisasi besar maupun kecil;
  • Kebijakan organisasi bisnis bersifat bottom-up dan berorientasi pada pelanggan atau pengguna;
  • Kualitas follower menentukan arah dan tujuan dalam mencapai visi misi organisasi;
  • Holoarchy System dapat menghasilkan ide-ide yang unik dan brilian melalui tim kecil yang dibentuk;
  • Mandatory kepemimpinan yang dipercayakan oleh pemimpin kepada bawahan dalam bentuk pola vertikal transfer kepemimpanan memberikan pengaruh yang kuat terhadap motivasi dan produktivitas kinerja.

Referensi:

Choi, J. (2013). The Science Behind Why Small Teams Work More Productively: Jeff Bezos' 2 Pizza Rule. https://buffer.com/resources/small-teams-why-startups-often-win-against-google-and-facebook-the-science-behind-why-smaller-teams-get-more-done/

Hall, M. (1999). Virtual Colonization. Journal of Material Culture, 4(1), 39--55. https://doi.org/10.1177/135918359900400103

Liu, X., Xie, Y., & Wu, M. (2015). How latecomers innovate through technology modularization: Evidence from Cina's Shanzhai industry. Innovation: Management, Policy and Practice, 17(2), 266--280. https://doi.org/10.1080/14479338.2015.1039636

Macpherson, W. G., Lockhart, J. C., Kavan, H., & Iaquinto, A. L. (2015). Kaizen: a Japanese philosophy and system for business excellence. Journal of Business Strategy, 36(5), 3--9. https://doi.org/10.1108/JBS-07-2014-0083

Mendez, J., & Vila-Alonso, M. (2018). Three-dimensional sustainability of Kaizen. TQM Journal, 30(4), 391--408. https://doi.org/10.1108/TQM-12-2017-0179

Mokhber, M., Khairuzzaman, W., & Vakilbashi, A. (2018). Leadership and innovation: The moderator role of organization support for innovative behaviors. Journal of Management and Organization, 24(1), 108--128. https://doi.org/10.1017/jmo.2017.26

WIPO. (2020). Global Innovation Index 2020 Uruguay. In Economy Reports & Analysis. https://www.globalinnovationindex.org/analysis-economy%0Ahttps://www.globalinnovationindex.org/gii-2020-report#

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun