demokrasi Indonesia. TikTok, platform media sosial dengan 100 juta pengguna di Indonesia, telah berevolusi dari sekadar aplikasi hiburan menjadi mesin propaganda yang efektif dalam membentuk opini publik.
Di tengah hiruk-pikuk Pemilu 2024, sebuah fenomena mengkhawatirkan tengah mengancam kualitasData dari riset Drone Emprit Academic mencatat lonjakan signifikan konten politik manipulatif di platform ini selama masa kampanye Pemilu 2024, dengan lebih dari 500.000 konten bernuansa propaganda politik teridentifikasi dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.
Algoritma TikTok yang dirancang untuk memaksimalkan engagement justru menciptakan ruang gema (echo chamber) yang berbahaya. Echo chamber diartikan sebagai keadaan dimana seseoang hanya menemukan pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri
Konten-konten provokatif dan manipulatif mendapat amplifikasi lebih besar dibandingkan informasi faktual yang berimbang. Sebagai contoh, video-video yang memuat ujaran kebencian dan disinformasi politik memiliki tingkat engagement 3 kali lebih tinggi dibandingkan konten edukatif politik.
Nuurruanti Jalli, Asisten Professor dalam bidang Studi Komunikasi Northern State University, mengungkapkan bahwa TikTok telah menciptakan "gelembung informasi" yang membuat penggunanya terkurung dalam narasi tunggal.
"Artinya, siapa pun yang dapat membuat konten yang  'cukup menarik' dapat membuka 'for your page', yang akan membuka pintu peluang bagi oportunis politik untuk mendorong narasi politik dengan membuat konten audio-visual yang menarik. Model ini dapat menciptakan gelembung informasi yang akan diterima pengguna dan mempengaruhi pandangan cara pandang mereka." jelasnya.
Fenomena ini diperparah dengan rendahnya literasi digital masyarakat Indonesia. Survei Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2023 menunjukkan bahwa 65% pengguna media sosial Indonesia masih kesulitan membedakan fakta dan hoaks. Di platform TikTok, Â konten dikemas dalam format singkat dan menghibur, sehingga kemampuan berpikir kritis pengguna semakin tereduksi.
Pengalaman negara-negara lain bisa menjadi cermin. Contohnya, Pemerintah Taiwan telah membatasi penggunaan TikTok dalam kampanye politik setelah ditemukan bukti manipulasi algoritma untuk kepentingan politik tertentu.
Sementara di Indonesia, regulasi yang ada belum mampu mengimbangi cepatnya perkembangan teknologi manipulasi opini di platform ini. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Pertama, Komisi Pemilihan Umum perlu memperkuat regulasi kampanye digital dengan memperketat pengawasan konten politik di TikTok. Kedua, platform TikTok sendiri harus lebih transparan dalam pengelolaan algoritma dan meningkatkan sistem deteksi konten manipulatif. Ketiga, masyarakat sipil perlu memperkuat gerakan literasi digital, khususnya bagi pemilih muda.
Tanpa langkah-langkah konkret ini, TikTok berisiko menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi Indonesia. Fenomena ini bukan sekadar masalah teknologi, melainkan ancaman nyata terhadap kemampuan masyarakat dalam membuat keputusan politik yang rasional dan berdasarkan informasi yang akurat.
***Makmur Indah Silaban adalah mahasiswa PDB Universitas AirlanggaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H