"Bulshit! Perjalanan bukanlah proses menemukan. Ia adalah perjuangan melupakan. Sebuah upaya menyempurnakan kehilangan."
Begitulah sepenggal percakapan yang kudengar dari orang-orang di halte. Di tengah perjalanan menelusuri ketiadaan yg ingin sekali kuciptakan.
Bus tak kunjung datang. Orang-orang yang mulai kehilangan kesabaran menunggu kepulangan itu terus saja larut dalam perdebatan.
Bagiku, perjalanan bukan apa-apa. Ia hanya kenangan-kenangan yang tak berhak disisihkan. Sebab, pertemuan dan perpisahan tetap saja akan menjadi rumah bagi kesunyian.
Seperti yang telah kuputuskan, meninggalkanmu tak pernah kucita-citakan. Maka, kala itu, pernah kusampaikan, bahwa hidup deras mengalir kepada ketidakpastian. Dan kamu mengaminkan.
"Tunduk saja kita kepada waktu," katamu. Seolah duka dan bahagia tak berarti apa-apa. Jatuh cinta dan melepaskan sama nikmatnya.
Bus telah tiba. Orang-orang berebut menunaikan rindu. Aku terjebak dalam waktu. Merenungi masa lalu. Tenggelam dalam tubuhmu.
Ingatkah? Ketika aku menari-nari sambil baca puisi tetang kemolekanmu, kamu terpingkal-pingkal melihat nyawaku tinggal sejengkal. Sebelum kita menangisi setiap awal yang tak pernah kekal.
Bus kedua memanggil. Tubuhku menggigil. Aku mulai percaya pesan terakhirmu, bahwa waktu dan kenangan benar-benar usil.
"Aku sudah muak jadi petualang, sayang. Temui aku saat kembali pulang. Akan kulunasi hutang pelukan yang kauberikan saat mengantarku menuju kepergian."
Pekanbaru, 3 Maret 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H