Tahukah kau, sayang? Aku selalu kelimpungan
setiap kali kau memintaku menulis puisi.
Padahal, doa-doa yang kupanjatkan atas namamu,
tak pernah sekalipun kalah indahnya
atas kenikmatan rindu.
Percayalah! Aku tak kan bisa menjadi penyair
di hadapanmu. Kata-kataku luruh. Melebur
dalam tatapmu. Buku-buku, laptop dan smartphone
tempatku menulis, secara ajaib menyatu dalam
wajahmu. Bahkan, jari jemariku berayun
jadi rambutmu.
Tak perlu lah kau tanya lagi nafasku. Ia sudah
menjelma ombak dan melipat waktu. Denyut nadi
mematahkan hari. Sedangkan dendam kepada
bulan dan tahun, lunas dalam sekali degup jantung.
Pekanbaru, 29 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H