Aku membuka buku.
Kau masuk ke dalamnya.
Di halaman pertama, kau genggam tanganku. Kau ajak aku menari. Aku seperti Rumi. Berputar mengikuti gerak pena dalam kepalamu. Irama jantung kita jadi pengiringnya.
Halaman kedua, kau berulangtahun. Kunyanyikan selamat hari lahir. Tiba-tiba kau kembali menjadi bayi. Merengek minta ditangisi. Aku tak mau menangis. Lidahku sedang menulis.
Halaman ketiga, kau kembali dewasa. Aku mengajakmu kencan. Tangan kita bersetubuh. Mata kita teduh. Kaki kita tinggal di halaman kedua. Kita jatuh tapi tertawa.
Halaman keempat, kau melihatku belajar dusta. Matamu memerah. Dadamu patah. Langit berdarah. Kelinci berlarian dari celana dalamku menuju halaman entah berantah.
Halaman kelima, kau mengajakku duduk di taman. Kau baca halaman keenam dan ketujuh. Halaman kedelapan kau terdiam. Aku melanjutkan. Ibumu jadi bulan. Kau menatap langit siang. Matahari menamparmu. Aku memelukmu.
Halaman kesembilan, kita sepakat mengelilingi kota. Di depan kantor walikota mahasiswa demo. Meneriaki nama kita. Mengajak kita bercinta dengan apa yang mereka yakini. Mengajak makan kotoran sendiri. Disuapi tuhan yang maha sunyi. Kita hanya mengamini sepi.
Halaman kesepuluh, kita bertemu anak-anak. Satu orang mengaku sebagai anakmu. Satu yang lain mengaku anakku. Kita sepakat menutup buku.
Pekanbaru,16 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H