Mohon tunggu...
yosafat pigai
yosafat pigai Mohon Tunggu... -

sarat dengan pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Money

PERTAMBANGAN RAKYAT (Tinjauan Historis dan Legal dalam Persepsi Akademisi)

21 Oktober 2014   17:41 Diperbarui: 4 April 2017   17:19 4869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perizinan juga ditekankan pada pasal 138, bahwa hak atas IPR, salah satunya,  bukan merupakan hak atas tanah yang digunakan untuk menambang. Izin tersebut hanyalah sebatas izin berusaha dalam bentuk pertambangan rakyat. Kembali pada pengertian IPR tersebut telah terjadi pergeseran batasannya yang ada dalam RUU dan UU Minerba pasal 1, yang awalnya “adalah izin yang diberikan kepada perseorangan setempat yang melaksanakan Usaha Pertambangan dengan menggunakan alat sederhana” menjadi “adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas”. Dua kata kunci yang dipakai dalam pasal tersebut adalah WPR dengan luas wilayah dan investasi terbatas dalam kenyataannya tidak mudah untuk menentukannya.Pertama, dalam pasal 68 disebutkan luas wilayah 1 IPR sebanyak 1 hektare.Apabila membentuk kelompok hanya boleh 5 pemegang IPR sehingga jumlahnya maksimal 5 ha, tetapi bila dalam suatu badan koperasi luas wilayah dapat mencapai 10 ha. Terbatasnya luas wilayah tersebut akan sulit untuk memastikan Kedua, penggunaan investasi terbatas, menjadi tidak akan mampu mendapatkan keuntungan seperti yang diharapkan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 20 dan 24, bahwa kegiatan pertambangan rakyat dilakukan dalam wilayah pertambangan rakyat (WPR), wilayah tersebut mempunyai kriteria-kriteria tertentu. Bupati/Walikota mempunyai kewenangan menetapkan  suatu WPR, setelah dikonsultasikan dengan DPRD (pasal 21). Sedangkan kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu WPR (pasal 22 dan 23) adalah:

  1. Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau diantara tepi dan tepi sungai;
  2. Mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (duapuluh lima) meter;
  3. Merupakan endapan teras, dataran banjir dan endapan sungai purba;
  4. Luas maksimal WPR adalah 25 (duapuluh lima) hektar;
  5. Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang dan/atau
  6. Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (limabelas) tahun;
    1. Bupati/Walikota wajib melakukan pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka (pasal 23).

Pasal-pasal yang memuat tentang kegiatan pertambangan rakyat memang tidak diuraikan secara detail, hal itu terkait dengan pasal 25, 26, 71 dan 72, dimana ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman, prosedur penetapan WPR dan perizinan IPR diharapkan diatur secara operasional dalam peraturan pemerintah dan peraturan pemerintah daerah.  Meskipun peraturan pemerintah sampai saat ini baru ada rancangannya, tetapi peraturan-peraturan daerah sudah mulai banyak yang membuatnya, seperti di kabupaten Bombana. Namun, persoalannya adalah selama masih belum ada Peraturan Pemerintah yang mengoperasionalkan  UU Minerba tersebut, maka cenderung akan dimaknai secara interpertatif di masing-masing daerah.

  1. Peraturan Daerah dan Penertiban

Terbatasnya kebijakan di tingkat pusat seperti tersebut di atas, dapat dipahami bila membuat timbulnya keragaman interpertasi pada daerah yang memiliki potensi pertambangan rakyat.Potensi sumber daya tambang di suatu wilayah diketahui tidak hanya dimanfaatkan oleh perusahaan, tetapi juga seringkali oleh masyarakat. Di satu sisi, kekayaan mineral yang tersebar di hampir seluruh Indonesia, telah menjadikan  mineral sebagai salah satu sumber mata pencaharian rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mulai dengan cara melimbang atau mendulang (artisanal) maupun dengan bantuan peralatan mesin. Pilihan hidup sebagai penambang, selain karena lebih menjanjikan, juga karena tidak memiliki mata pencaharian yang jelas. Di sisi lain, pemerintah seringkali tidak mengetahui secara persis bagaimana mengembangkan pertambangan rakyat. Di samping juga, pemerintah tidak memiliki alternatif pekerjaan yang lebih menjanjikan dan penegakkan hukum di daerahnya. Untuk itu, secara cepat pemerintah kabupaten mengambil sikap, dengan mengeluarkan beberapa kebijakan secara bertahap, yaitu: pertama, adanya larangan bagi masyarakat untuk melakukan  penambangan, karena akan diatur dan ditertibkan. Penertiban yang melibatkan aparat keamanan dilaksanakan sejalan dengan upaya mengosongkan lokasi aktivitas penambangan.Kedua, dilakukan proses perizinan bagi penambang dengan diterbitkannya Kartu Ijin Masuk Penambangan (KIMP).

  1. Penutup

Persoalan praktek kebijakan dan peraturan tentang pertambangan rakyat tidak dapat dilepaskan dari ketidakjelasan kebijakan dan peraturan di tingkat nasional. Lambatnya kesadaran akan pentingnya pengaturan lebih lanjut sepertinya tidak menjadi hal yang prioritas bagi pemerintah pusat, mengingat timbal balik secara ekonomi bagi negara tidak sebesar bila pertambangan dilakukan oleh perusahaan besar. Selain itu, juga isu masyarakat yang menambang lebih diidentikkan dengan persoalan legal dan ilegal dibandingkan secara positif dilihat sebagai masa transisi untuk membangun masyarakat untuk lebih sejahtera dan mandiri. Keadaan semakin buruk, ketika daerah secara sadar menginterpertasikan dan melihat celah-celah atau titik lemah yang bisa dimanfaatkan untuk dapat dimanfaatkan demi kepentingan daerah.Bahkan dari praktik-praktik yang terjadi di lapangan, dimana oknum ikut memainkan peranannya, membuat praktek diskresi (pencapai kepentingan dan tujuan individu) menjadi hal yang penting dan tidak tergugatkan. Untuk itu, kebijakan yang perlu diambil adalah dimulai dengan pilihan apakah pemerintah kabupaten akan tetap melaksanakan pertambangan rakyat atau akan menutup sama sekali seluruh akses masyarakat atas penambangan atau merupakan kombinasi dari keduanya. Kombinasi yang dimaksud adalah sebagian wilayah akan dijadikan wilayah pertambangan rakyat, sebagian lainnya dilakukan kemitraan antara masyarakat dan perusahaan. Bial pilihan ketiga, yang saat ini agaknya menjadi pilihan sementara pemda, maka ada dua hal yang mendasar yang harus diperhatian dalam membuat kebijakan, yaitu:

  1. Melakukan strategi pengaturan kebijakan, kelembagaan dan pengembangan SDM serta teknik penambangan dan dampak lingkungan atas aktivitas pertambangan masyarakat.
  2. Membuat kebijakan dan peraturan kemitraan antara perusahaan dan masyarakat yang melakukan penambangan di dalam wilayah KP perusahaan

Selain juga, menyiapkan alternatif bidang usaha untuk masyarakat lokal, agar pertambangan rakyat harus dipahai hanya sebagai kegiatan sementara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun