Mohon tunggu...
Makhsun Bustomy
Makhsun Bustomy Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Social Worker yang bekerja di Setting Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kambing dan Orang Miskin

25 November 2013   23:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kambing dan Orang Miskin

Menyoal Indikator Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Strategi Pemberdayaan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)

Oleh : Makhsun Bustomy, SST*

Suatu waktu, Karjan seorang yang miskin dan hidup di bantaran rel bertemu dengan Parman, teman lamanya yang pernah satu nasib, sekian tahun terpisah dan kini telah sukses dalam usaha ternak kambing. Sebagai tanda persahabatan, Parman menghibahkan seekor kambing bandot kepada Karjan, untuk pesta kambing guling. Singkat kisah, karena kecurigaan otoritas keamanan melihat seorang gembel membawa kambing bandot sehingga patut diduga sebagai pencuri, Karjan ditangkap dan kambingnya disita. Terjadilah dialog:

“ Orang miskin seperti kamu temannya adalah orang miskin. Orang miskin tidak mungkin memberi kambing kepada orang miskin ”

“ Pada suatu saat orang miskin itu ada yang menjadi kaya, itulah yang terjadi, Pak”

“.....Orang kaya, temannya adalah orang-orang kaya. Orang miskin tidak mungkin memberi seekor kambing kepada orang miskin. Berdasarkan pertimbangan itu Saudara, kami tangkap!”

Kisah di atas adalah penggalan sebuah fiksi dari Hamsad Rangkuti, berjudul Karjan dan Kambingnya dalam kumpulan cerita Sampah Bulan Desember, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2000. Menurut kacamata penulis, setidaknya ada empat hal menarik terkandung dalam cerpen di atas, terkait dengan konteks pemberdayaan orang miskin.

Pertama, maksud dan tujuan baik seseorang memberi bantuan dan hadiah ternyata tidak selalu berujung pada kebaikan dan kesejahteraan. Kedua, logika bahwa orang miskin berkelompok dengan orang miskin adalah sebuah pikiran pesmistis yang menanggap interaksi antar orang miskin tidak bisa memproduksi perubahan untuk keluar dari kemiskinan atau menuju kesejahteraan. Dalam kasus diatas, tokoh Karjan terjebak oleh stigma sosial tersebut. Ketiga, melihat kambing sebagai barang untuk pesta (baca konsumtif) adalah sebuah sikap mental yang melihat bantuan sebagai barang konsumtif bukan modal produktif. Keempat, orang miskin tetap mempunyai potensi kesetiakawanan dengan orang miskin lainnya. Kisah di atas mengantarkan kita pada pemahaman bahwa kepedulian dan amal (charity) kepada orang miskin tidaklah cukup. Membantu warga miskin membutuhkan cara dan strategi.

Strategi Kelompok

Pendekatan Pekerjaan Sosial melihat penyandang masalah kemiskinan sebagai orang yang mengalami disfungsi sosial (sosial disfunction). Artinya, ia harus dirubah menjadi berfungsi sosial yakni mampu menampilkan peran dan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Dalam sudut pandang kesejahteraan sosial, penanganan kemiskinan dapat dilakukan dengan strategi kelompok. Program Pemberdayaan sosial melalui pendekatan berbasis komunitas (community based development approach) berdasar pada kesamaan tujuan, kesamaan kegiatan, kesamaan domisili, yang pada dasarnya mengarah pada efisiensi, efektivitas serta mendorong tumbuh dan berkembangnya capital social.

Pemberdayaan dengan strategi kelompok ini menargetkan 2 (dua) keuntungan, yaitu keuntungan ekonomis dan sosial. Ekonomis berarti menekankan pada perguliran hasil usaha sedangkan keuntungan sosial menekankan terjadinya interaksi sosial, kesetiakawanan sosial, kohesi sosial dan adhesi sosial antar anggota KUBE maupun dalam lingkungan sosialnya. Sudah tentu keuntungan ekonomis dapat dikalkulasi dengan mudah sedangkan keuntungan sosial memerlukan proses waktu melihat keberhasilannya.

Perubahan Perilaku

Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi parameter untuk melihat kebermanfaatan kelompok usaha bersama. Pertama, indikator kelembagaan terkait dengan kepengurusan dan pembagian tugas, adimistrasi dan pengambian keputusan. Kedua, indikator ekonomi yang menyangkut intensitas usaha, jumlah dan jenis usaha serta kemampuan mengakses sumber dan potensi ekonomi dan menjalin kemitraan. Sedangkan indikator ketiga, kesetiakawananan: motivasi berkelompok, sikap kesetiakawanan sosial, perilaku positif untuk memperoleh aksesibilitas dalam kebutuhan dasar antara lain pendidikan dan kesehatan.

Sadiman Al Kundarto, seorang tokoh Pekerja Sosial di Jawa Tengah secara ekstrem berpendapat bahwa jika dalam melakukan monitoring dan audit kegiatan pemberian bantuan kambing kepada keluarga miskin, jika yang ditanyakan dan diaudit adalah kambing bantuan tetapi luput untuk mempertanyakan dan melihat perkembangan dan perubahan perilaku orang selaku penerima bantuan maka dapat dikatakan bahwa petugas tersebut belum memahami hakikat dan tujuan pemberdayaan orang miskin.

Perubahan apa yang terjadi setelah mendapatkan bantuan? Bagaimana relasinya dengan tetangga? Dengan bantuan kambing apakah terjadi relasi tolong menolong yang apik diantara anggota kelompok? Apakah mereka belajar tentang pembagian kerja dan tanggungjawab?

Apakah anak-anaknya mendapatkan pendidikan atau justru anak-anaknya disibukkan dengan mencari pakan ternak sehingga melupakan sekolah? Apakah karena ternak kambingnya berkembang dengan pesat, orang tersebut membangun kandang jauh lebih besar dan layak dibanding rumah yang ditinggalinya. Hal diatas adalah pertanyaan kritis yang perlu diajukan, sekedar contoh dan pengingat, bahwa bantuan tidak diukur keberhasilannya semata-mata dari sisi ekonomis melainkan diukur pula dengan perubahan sikap dan perilaku.

Banyak orang miskin bernasib seperti si Karjan. Terjebak oleh hadiah atau bantuan. Bantuan yang diberikan semata-mata atas dasarr kasihan dan amal, justru akan mematikan kemandirian, inisiatif dan menimbulkan ketergantungan. Bantuan yang yang berhasil adalah yang mampu menstimulasi potensi orang miskin untuk berfungsi sosial. Bantuan materi, apapun bentuknya, hanyalah instrumen untuk melakukan treatment (berupa bimbingan, pendampingan) agar ada perubahan perilaku menuju pro sosial yang normatif. Dari apatis menuju inisiatif, dari konsumtif menuju produktif. Bantuan adalah lem perekat antara helper dan client. Relasi antar pihak tersebut adalah proses untuk melakukan perubahan. Selaras dengan agadium Pekerjaan Sosial, helping the people to help themselves. Membantu agar mereka dapat membantu dirinya sendiri. Itulah tagline para pemberdaya yang secara teknis harus diimplementasikan. Wallahu a’lam bishuduur.

*Penulis adalah Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Tegal (tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mewakili instansi dimana penulis bekerja)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun