Mohon tunggu...
Makhsun Bustomy
Makhsun Bustomy Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Social Worker yang bekerja di Setting Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Transeksual dalam Lipatan Stigma

18 September 2011   08:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:51 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seandainya lelaki menstruasi. Barangkali, pengandaian yang berasal dari sebuah iklan di TV tersebut membuat kita tersenyum geli. Membayangkan susahnya menjadi perempuan saat mengalami siklus bulanan tersebut. Lain soal, jika membayangkan konsekuensi psikologis sosial menjadi seseorang yang fisik hardware-nya berwujud lelaki tetapi sofwarenya kejiwaanannya merasa sebagai perempuan atau yang kerap kita labeli sebagai waria ?

Waria atau transeksual dianggap sebagai devian sebab masyarakat “terlanjur” hanya mengenal oposisi secara biner : lelaki dan perempuan. Lazimnya, seseorang memilki identitas jender sesuai dengan jenis kelaminnya. Masyarakat hanya memahami alat kelamin fisik sebagai penentu perilaku jenis sesorang, sedangkan identitas jender atau perasaan mendalam seseorang yang membuatnya merasa sebagai laki-laki atau perempuan bukanlah indikator yang lazim. Gilbert Herdt menyebut kelompok jenis ini sebagai Gender Ketiga atau “Third Gender”.

Dorce adalah ikon (kesuksesan) waria. Sebagai entertainer, citrapositif seperti smart, lucu dan serba bisa ditambah keterlibatan dalam aktivitas sosial serta gelar hajjah yang disandang, ia seperti merdeka dari pasungan stigmatisasi sosial. Publik menjadi “terlupa” kewariaannya. Sayangnya, nasib Dorce bukanlah representasi nasib waria kebanyakan. Sebagian besar profil hidup waria adalah gelap, seperti kisah Dewi (40) yang dalam berita di media massa Radar (Radar, WTS, Waria dan Pria Teler diciduk, 11/6/2004) menjadi waria jalanan yang tertangkap di Lapangan PJKA Tegal.

Bicara waria bukanlah bicara tentang kesuksesan melainkan tentangminoritas dalam lipatan stigmatisasi sosial. Citra tentang jorok, menjijikkan, kotor, identitik dengan kriminalitas, perilaku yang mencolok dan setempel hitam lain terutama praktek seksual yang menyimpang adalah stigma yang melekat kuat bagaikan tato pada sebuah tubuh. Tak jarang mereka sering dihakimi sebagai agen penyebar HIV dan AIDS.

Memang masyarakat kita adalah homofobik yang antipati dan sinis terhadap homoseksual. Dalam Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial, ditegaskan alasan abnormalisasi hubungan seksual berbasis same sex relation : yakni immoral, tidak religius oleh karenanya melawan takdir Tuhan dan anak-anak yang dipeliharanya tidak akan berbahagia (Moh. Yasir Alimi, 2004). Penilaian lain yang tragis adalah yang meng-gebyahuyah-kan perilaku waria sama dengan dengan pelacuran. Kalaupun ada tersisa toleransi, paling banter publik memandangnya sebagai model makhluk yang lucu dan nyleneh , layaknya gaya yang dijual oleh pelawak Tessy.

Minoritas di Persimpangan Jalan

Being Waria i’ts the worst option we can take, begitu kata Merlyn Sopjan, Ketua Ikatan Waria Malang, tanpa bermaksud menyesali hidupnya. Merupakan penunjuk bahwa waria seperti disuratkan senantiasa dalam sebuah pilihan yang pelik. Menjadi waria berarti dilema. Seperti sepanjang jalan menemui persimpangan, memilih “ kiri atau kanan “ memilih opsi antara men atau women. Sebagian besar mereka terkendala dalam segala akses sumber kehidupan. Secara hukum, pandangan agama, sosial dan budaya menjadi kelompok yang gagap dan dalam bargaining position rendah. Nihilnya pengakuan terhadap identitas hukum, kegagapan dalam mengakses fasilitas semisal masuk kamar laki-laki atau perempuan atau kegamangan mengikuti jamaah shalat untuk berdiri pada shaf muslim atau barisan muslimah.

Mereka bukan saja teralienasi dari masyarakat tetapi mengalami penolakan dari keluarganya dimana ia berasal yang akibatnya tidak mempunyai kekuatan untuk menjalankan tugas pergaulan dan pendidikan. Berkorelasi dengan rendahnya pendidikan dan tergusur dari keluarga, umumnya mereka mencoba mandiri. Sementara opsi pekerjaan bukan hanya dipagari skill minimal melainkan ruang sosial mereka sangat terbatas. Beberapa alternatif pekerjaan yang dapat mereka tembus : hiburan, keterampilan salon, penjahit, rias, dan yang paling tragis sebagian besar adalah pelacur waria. Untuk berkecimpung dalam “pekerjaaanperempuan” tidak semua pekerjaan tersebut memberi peluang yang sama kepada mereka. Sedangkan untuk “pekerjaan laki-laki” perasaan mereka tidak cocok dengan realitas fisiknya.

Tidaklah heran bila demi struggle for survival, minoritas ini mempunyai mobilitas sosial tinggi dan berkumpul dalam ruang sosial antarwaria sendiri, yakni kelompok yang bersifat eksklusif dan membentuk sub kultur tersendiri.

Membebaskan dari Stigma

Jika berdialog dengan waria, sapaan apakah yang patut kita gunakan, “ Mas atau Mbak, Bapak atau Ibu “ ? Ini sekedar gambaran simpel, bahwa untuk sekedar memasuki dunia transeksual saja bukanlah mudah. Jadi, membebaskan waria dari stigma meskipun dapat dikatakan seabgai misi mulia tetapi apakah bukan sebuah “impossible mission”? Merindukan status legal formal waria di Tegal diakui seperti Pemda Papua yang menerapkan KTP dengan status waria, apakah sekedar impian semusim?

Merujuk pada Poldas Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Depsos RI, pemerintah memposisikan waria sebagai target group yang “kehilangan peranan sosial” artinya kehilangan kemampuan untuk aktif turut serta dalam penghidupan bersama. Disfungsi sosial waria dipandang karena aspek biologisnya, permasalahan dalam pergaulan sosial dan terkait dengan perilaku seksual beresiko dan rawan dari berbagai jenis PMS (Penyakit Menular Seksual)serta kerawananan sosial lain.

Saat ini berapa waria di Kota Tegal belum terjumlah dengan akurat. Ekslusivitas dan mobilitas komunitas waria tentu menghambat deteksi dan penjangkauan. Waria di Kota Tegal tidak saja orisinal lokal, tetapi keluar masuk dari berbagai daerah. Terdapat jaringan komunitas waria di berbagai daerah Kota Tegal, Brebes, Cirebon dan Semarang. Sumber data Kantor Kesejahteraan Sosial Kota Tegal menyebutkan waria yang telah menjadi anggota PWT Paguyuban Waria Tegal (PWT) sebanyak 25 orang.

Embrio organisasi PWT bermula tahun 2002 yang dimaksudkan sebagai media meminimalisir waria agar tidak turun ke jalan dan mencegah waria dalam praktek pelacuran. Lewat wadah ini, disampaikan pesan sosial kewaspadaan HIV/AIDS, mempunyai reorientasi hidupyang lebih baik dikuti upaya pengubahan orientasi kerja yakni pelatihan keterampilan disertai bantuan sarana usaha. Monitoring kesehatan anggota PWT pada bulan Oktober 2004 sejenak membuat kita bernapas lega karena hasilnya belum ada yang terdeteksi terjangkit penyakit PMS dan HIV/AIDS.

Yang perlu kita tanyakan adalah seberapa besar kesadaran kolektif di antara waria tentang kelanggengan organisasi sebagai wadah yang dapat meningkatkan posisi tawar dan solidaritas waria. Mekanisme organisasi PWT selama ini sangat bergantung pada figur pemimpinnya, yaitu Venty Ramona. Pengalaman di beberapa daerah lain, jika mekanisme organisasi waria mengalami stagnasi, maka dunia waria menjadi tak tersentuh atensi dari pemerintah ataupun LSM. Padahal organisasi waria adalah alat yang paling efektif untuk memindahkan dari ruang sosial antarwariake ruang sosial masyarakat. Kampanye sosial dari komunitas waria itu sendiri diperlukan untuk melepas identitas dunia waria sebagai dunia pelacuran seraya memasarkan bukti potensi dan sisi kemampuan yang dimiliki.

Bagaimana waria dapat pindah dari ruang ekslusif mereka, tepatnya kembali ke pangkuan masyarakat? Oleh karena “ kesejahteraan“ bukanlah monopoli negara dan itu bukan tugas eksklusif negara, maka peran besar stakeholder dari unsur non pemerintah adalah sebuah keniscayaan. Organisasi sosial dan lembaga swadaya bidang Kesejahteraan Sosialhingga kini baru menggarap sasaran kelompok anak jalanan, terlantar (yatim piatu) dan lansia. Belum ada yang secara khusus memberikan layanan sosial alternatifkepada kaum transeksual. Sudah waktunya, Lembaga Swadaya Masyarakat maupun aktivis yang bergerak dalam isu perempuan dan jender di Kota Tegal, beraksi menutup kelemahan-kelemahan yang tak dilakukan Pemkot dan dan mengisi lubang kekosongan intervensi pelayanan terhadap komunitas ini. Melampaui hal itu, bukankah pemahaman terhadap kaum transeksual akan bermanfaat besar untuk memahami konsep jender secara lebih komprehensif, hal yang sangat diperlukan guna membangun masyarakat yang lebih manusiawi ? (Prof Vern Bullough dalam International Journal of Transgenderism, 2000)

Harapan juga kita alamatkan kepada media massa dan elektronik, termasuk Radar Tegal di tingkat lokal agar intensif berperan dalam penyadaran bahwa eksistensi waria adalah minoritas yang perlu kita akui hak-haknya sebagai manusia. Sebab mengikuti pendapat Althusser (1978), media adalah aparat ideologis paling efektif yang memproduksi “kebenaran” dan kenyataan.

Dalam berbagai kesempatan, tokoh waria Tegal, Venty Ramona, kerap menunjuk referensi tokoh Mother Theresa asal Albania yang menebarkan cinta kasih hingga Calcutta, melewati batas dan sekat kelompok dan bangsa. Barangkali jika ditafsirkan, ia seperti tengah mengingatkan kita bahwa dalam relasi dengan komunitas waria kita berpijak pada pendekatan kemanusiaan. Ini senada dengan ungkapan seorang waria bernama Nurlela dalam buku Hidup Sebagai Waria, karya Koeswinarno (2004) : “...kami dipanggil apa saja mau. Entah mas atau mbak. Tetapi yang paling penting panggilan itu tidak bersifat menghina. Saya bisa merasakan apakah seseorang sedang menghina atau sekedar humor ”.

Dengan dasar tersebut, kita dapat menggali terowongan dari dua lubang sekaligus. Yakni melakukan sosialisasi agar masyarakat mampu memahami kaum transeksual secara wajar dari sudut hak -hak kemanusiaannya dan siap menerima perbedaan sesuai jati diri mereka, Berbarengan dengan itu, dilakukan upaya membantu waria agar mampu mereduksi kalau tidak mengeliminasi perilaku yang bercitra negatif, mengurangi perilaku beresiko seraya memanfaatkan potensi yang dimiliki seperti halnya prestasi Dorce yang membuat masyarakat menanggalkan stigma negatif terhadap status transeksualnya. Bila hal itu telah bertemu maka gembok pintu pengakuan legal formal bagi waria akan mulai terbuka.§

* Penulis adalah Social Worker

Tulisan ini tidak mewakili institusi di mana penulis bekerja


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun