“Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah Maha Segalanya.
Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil.” (Gus Dur)
Oleh: Makhfud Syawaludin*
Adanya Agama dan Negara, harusnya menegakkan Kebajikan dan Keadilan
“Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Kalimat dari Gus Dur tersebut, selayaknya sudah diarusutamakan. Berbuat kebajikan harus diutamakan, bukan hanya beragamanya. “Beragama saja tidak dipaksakan, lantas apa yang membuat penting kita beragama? Tujuan agama itu apa? Tujuan agama pada hakikatnya adalah bagaimana kita bisa berbuat baik dan adil. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104)’.” Ujar Dr. Sakban Rosidi, M.Si., dalam kegiatan yang diselenggarakan kelompok Diskusi Ngaji Bareng di SMP Bhineka Tunggal Ika Sengonagung Purwosari Pasuruan (14/02/2016).
Kegiatan bertemakan “Bela Negara dalam Wacana Kontemporer” tersebut, Rosidi kemudian mempertanyakan, “Mengapa butuh Negara? Kalau tidak ada Negara, siapa yang menjamin hak-hak kita sebagai manusia?.” keberadaan Negara dipertanyakan eksistensinya dalam melakukan kebajikan dan keadilan itu sendiri. Bukan soal Negara tersebut harus Islam atau tidak, yang penting menegakkan keadilan dan kebajikan. “Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fi al-Islam (1967) berani mengatakan bahwa negara yang adil –meskipun kafir- lebih disukai Allah daripada negara yang tidak adil –meskipun beriman. Dunia akan bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam.” Tegas Sakban Rosidi selaku Sekretaris Eksekutif Universitas Islam Majapahit tersebut.
Berbicara soal kesunnahan Nabi Muhammad yang dijadikan kunci keberhasilan sebuah ruh beragama, Rosidi menganggapnya sebagai sebuah kesempitan pemahaman saja. “Soal sunnah Nabi, substansinya ada tiga, yaitu: a). Menghargai tradisi, bukan semata memakai atribut tradisi (sunnah arabi), b). Berperilaku yang baik, sebab Nabi Muhammad sebagai seorang penerima risalah. Misalnya al-Amin, jujur, dan lain-lain (sunnah muhammadi), dan c). Sunnah Nabi, yakni perilaku Muhammad setelah menerima wahyu dari Allah.” Terang Sakban Rosidi, selaku mantan aktifis PMII tersebut.
Islam Nusantara; Benteng NKRI dan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin
Kekerasan atas nama agama setidaknya jangan terlalu serius dianggap sebagai sebuah akar permasalahan. Berkemungkinan, radikalisme agama hanya merupakan cabang dari lingkaran konflik yang dikonstruk untuk kepentingan kejahatan yang lebih besar. “Isu perdebatan antar dan inter umat beragama, menjadi peluang suburnya kapitalisme.” Papar KH. Agus Sunyoto selaku penulis buku Atlas Walisongo dalam diskusi tersebut. Meski demikian, radikalisme agama tidak bisa dipandang sebelah mata begitu saja. Memperkuat pemahaman agama yang inklusif sekaligus bercengkrama dengan kebudayaan menjadi penting dan merupakan kebutuhan dalam beragama dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan saat ini. “Salah satu solusinya adalah kita harus menguatkan pemahaman agama dengan benar dan menjadikan kebudayaan atau kearifan lokal sebagai benteng persatuan.” Tegas Agus Sunyoto selaku ketua Lesbumi PBNU 2015-2020 tersebut.
Semenjak digulirkannya istilah “Islam Nusantara”, sebenarnya merupakan sebuah keberhasilan dalam mengawal Islam Ramah dalam arus internasional. Mengapa demikian, sebab “Islam Timur Tengah” bukan lagi menjadi kiblat satu-satunya dalam memandang dan memahami bagaimana agama Islam itu hidup dan berkembang. Selain itu, “Islam Nusantara” dapat memperkuat hubungan Islam dengan negara (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan tradisi keislaman yang ramah serta mengakomodasi tradisi lokal yang dianggap baik. “Islam Nusantara sama dengan NU/Nahdlatul Ulama setingkat dunia sebagai sebuah proses memperkuat tradisi kesilaman yang dijalankan umat Islam di Indonesia.” Ujar Agus Sunyoto, aktifis kelahiran Surabaya, 21 Agustus 1959 tersebut.
Bukannya mengedepankan NU, itulah faktanya. NU bukan lagi organisasi nasional, namun organisasi setingkat internasional. Dengan bergaungnya “Islam Nusantara”, telah “memperkuat tradisi NU dan memperkuat lokalitas” lanjut Agus Sunyoto. Ketika lokalitas mendapatkan kekuatan, Islam akan hidup dan berkembang seperti pada masa-masa para walisongo. Sebuah kehidupan Islam yang santun, ramah, toleran, dan sarat dengan nilai-nilai kebajikan. “Kalau Islam ingin dijadikan mencusuar nusantara dan dunia, tergantung bagaimana kita (Islam) melihat keberagaman.” Tegas Prof. H. Hariyono dalam Seminar dan Bahtsul Masail dengan tema “Islam Nusantara: Meneguhkan Moderatisme dan Mengikis Ekstrimisme dalam Kehidupan Beragama” yang diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur di Universitas Negeri Malang (13/02/2016).
Bela Negara dalam Paradigma Kritis Transformatif
Bela negara saat ini, dapat menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan kita bersama sebagaimana kita harus lebih kritis dalam memahaminya. Bisa saja dimungkinkan, bela negara hanya akan menjadi alat oleh negara atau militer untuk melakukan dominasi terhadap kehidupan warga negara atau masyarakat sipil. “Kita menghadapi banyak lawan dan kontestasi wacana, seperti globalisasi dan gerakan ultra kanan. Kemudian Isu (Bela Negara) adalah isu sensitif atau halus, bila sampai robek bisa kemana-mana.” Ujar Fadillah Putra, M.Si., M. PAff., selaku Ketua DRD (Dewan Riset Daerah) Kabupaten Pasuruan dalam kegiatan Ngaji Bareng yang didukung pula oleh Pondok Pesantren Ngalah Purwosari tersebut (14/02/2016).
Lebih lanjut, Fadillah Putra mengutarakan pertanyaan “Negera seperti apa yang harus dibela?” Inilah yang harus kita kritisi bersama. Sebab menurut Putra, perilaku negara dapat berbeda-beda selama ini, setidaknya terdapat empat kategorinya. “Perilaku negara ‘Pluralis’, negara hanya mengakomodasi semua kepentingan. Kemudian negara ‘Maxis’, negara didominasi kelompok mayoritas. Selanjutnya negara ‘Leviathan’, negara mempunyai kepentingan untuk mendominasi masyarakatnya. Terakhir, negara ‘Patriarkal’, negara didominasi oleh jenis kelamin tertentu.” Jelas Alumnus Universitas Texas USA tersebut.
Sebelumnya Ahmad Hidayatullah dalam diskusi rutinan “Ngabar” (Ngaji Bareng) di MI Darut Taqwa (08/02/2016), masih terselip sebuah keraguan. “Ada apa dan mengapa “Bela Negara” digaungkan saat ini? Akankah ini hanya bagian dari politik kekuasaan saja?” Tanya aktifis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Pasuruan tersebut. Hingga pada akhir diskusi, keraguan akan adanya hidden agenda Bela Negara tidaklah menjadikan kita terbebas dari membela negara agar negara tetap memperjuangkan persatuan dan keadilan sosial. “Pemenangan wacana yang tepat bagaimana Bela Negara menjadi penting untuk digalakkan, agar implementasi Bela Negara benar-benar substansial.” Ujar Abdurrahman Amin selaku ketua MATAN (Mahasiswa Ahlut Thariqah) Pasuruan tersebut.
Pada kesempatan yang sama, Makhfud Syawaludin dalam diskusi rutinan “Ngabar” (08/02/2016), beranggapan bahwa gagasan Bela Negara merupakan sebuah Manhaj al-Fikr atau sebuah Paradigma Berpikir. Argumentasi tersebut diilhami dari buku “Jawaban dari Pondok Pesantren Ngalah Sengonagung Purwosari Pasuruan” untuk kegiatan Konferensi Ulama Thariqah dalam rangka Bela Negara, NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 Harga Mati di Pekalongan (15-17/01/2016). “Bela Negara merupakan sebuah Manhaj al-Fikr, yakni dengan empat prinsipnya memupuk semangat religius (Ruh al-Tadayyun), memupuk dan menumbuhkan semangat nasionalisme (Ruh al-Wathaniyah), memupuk semangat pluralitas (Ruh al-Ta’addudiyah), dan memupuk semangat humanitas (Ruh al-Insaniyah).” Ujar Makhfud Syawaludin selaku Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Yudharta Pasuruan tersebut. Secara lebih sederhana menurut Fadillah Putra, dengan kita berparadigma kritis juga termasuk bela negara. “Melawan Negara yang tidak adil, termasuk Bela Negara.” Tegas anggota Averroes Community tersebut (14/02/2016).
Tektualitas pasal 27 ayat 3 dalam UUD 1945 adalah setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Dalam konteksnya, entah apa yang harus kita dahulukan, melawan radikalisme agama kah? Atau kita hanya terjebak dalam memperdebatkan kebenaran atas agama tertentu? Mungkin kah melawan kapitalisme dan kemiskinan didahulukan? Atau mungkin saja melawan korupsi dan narkoba yang lebih didahulukan? Bisa jadi ada permasalahan lain yang lebih penting untuk diselesaikan. Singkatnya, Negara harus hadir sebagai sebuah kekuatan dalam membela ketidakadilan dan menegakkan kebajikan. Bila tidak demikian, melawan dan mengajak Negara membela ketidakadilan dan menegakkan kebajikan adalah bagian dari “Bela Negara”. Setidaknya itu lah yang mereka dan penulis sebut sebagai sebuah “Bela Negara”. (MakhfudSy).
*Penulis adalah aktifis PMII Pasuruan dan Jamaah Ngabar (Ngaji Bareng) di Republik Ngalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H