Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sejarah-Ketidak Puasan-Dendam Rakyat Ryukyu Terhadap AS dan Jepang

6 Mei 2023   20:53 Diperbarui: 6 Mei 2023   20:54 1728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, kata "Ryukyu" memiliki dua arti, dari segi sejarah mengacu pada Kerajaan Ryukyu dalam sejarah kuno. Secara geografis, mengacu pada Kepulauan Ryukyu yang sekarang terletak di antara kepulauan Jepang dan Taiwan, Tiongkok.

Kata "Okinawa" juga memiliki dua arti, dalam hal pembagian administratif mengacu pada Prefektur Okinawa, salah satu dari empat puluh tiga kabupaten di Jepang. Secara geografis, mengacu pada kepulauan di bawah yurisdiksi Prefektur Okinawa hari ini - Kepulauan Okinawa dan pulau terbesar - Pulau Utama Okinawa.

Nama "Ryukyu" adalah nama yang diberikan Tiongkok kepada Kepulauan Ryukyu dan Kerajaan Ryukyu sejak Dinasti Sui dan Tang. Kepulauan Ryukyu telah tercatat secara rinci dalam sejarah resmi Tiongkok "Biografi Kerajaan Suishu*Ryukyu" sejak awal abad keenam dan ketujuh Masehi. Namun, "Kerajaan Ryukyu" dalam "Sui Shu" harus menjadi istilah umum untuk Kepulauan Ryukyu dan Pulau Taiwan.

Penggunaan "Ryukyu" untuk menyebut Kepulauan Ryukyu saat ini dimulai pada awal Dinasti Ming. Sejak itu, ruang lingkup geografis "Ryukyu" telah dipahami dengan jelas. "Liuqiu Besar" mengacu pada Kepulauan Ryukyu saat ini, dan "Liuqiu Kecil" mengacu pada Taiwan saat ini. (Liuqiu/dalam lafal Mandarin= Ryukyu).

Dari abad ke-12 hingga ke-15 M, tiga dinasti Shuntian, Yingzu, dan Chadu muncul berturut-turut di Kepulauan Ryukyu, sebuah kerajaan yang lebih kecil.

Setelah berdirinya Dinasti Ming pada tahun 1368, Ming Taizu Zhu Yuanzhang mengirim utusannya Yang Zai untuk mengunjungi Kerajaan Zhongshan Raja Zhongshan Chadu menerima "dekrit" Dinasti Ming dan mengirim adik laki-lakinya ke istana Ming untuk mengajukan petisi. Pada tahun 1404, Kaisar Chengzu dari Dinasti Ming mengirim utusan ke Kerajaan Zhongshan untuk mengabadikan rajanya Wuning. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah Ryukyu menerima kanonisasi Tiongkok.

Pada tahun 1429, Ba Zhi menyatukan tiga kerajaan Ryukyu. Dinasti Ming secara resmi menganugerahkan gelar "Raja Ryukyu" dan memberinya marga Shang. Sejak saat itu, hubungan suzerain-vassal antara Tiongkok dan Ryukyu telah dipertahankan selama hampir 500 tahun bertahun-tahun lamanya.

Namun, sejak akhir abad keenam belas, Ryukyu mulai terus-menerus diserang oleh klan Satsuma dari wilayah Kyushu Jepang. Pada tahun 1609, penguasa klan Satsuma Shimadzu, dengan dukungan dari Ke-Shogunan Tokugawa, mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Ryukyu dan menangkap rajanya, Shang Ning dan ditahan hampirtiga setegnah tahun di Pulau Kagoshima. Kojima memaksa Ryukyu setuju untuk membayar upeti ke Jepang, dan secara paksa menyerahkan lima pulau utara Ryukyu. Sejak saat itu Ryukyu terpaksa menjadi negara bawahan Jepang.

Setelah Restorasi Meiji, Jepang berangsur-angsur menyingkirkan keterbelakangannya dan dengan cepat memulai menmpuh jalan militerisme. Militer Jepang mulai merumuskan kebijakan agresi dan ekspansi asing di daratan, menganjurkan argumen seperti "menaklukkan Korea", "menaklukkan Taiwan", dan "menelan Ryukyu" di Jepang.

Jepang pertama mengunci target agresi pada Kerajaan Ryukyu, yang terdekat dan terlemah.

Menurut beberapa orang di pemerintahan Jepang saat itu, karena Kerajaan Ryukyu terletak di Laut China Timur, berbatasan dengan Sanhan di utara, Tiongkok daratan di barat, dan Taiwan di selatan. Jika Jepang bisa menguasai Kepulauan Ryukyu, itu tidak hanya memiliki batu loncatan untuk menyerang Taiwan, tetapi juga membuka Rute ke Laut Selatan.

Sama seperti Jepang ketika berencana untuk mencaplok Ryukyu, pada tahun 1871, dikarenakan sekelompok manusia perahu dari Pulau Miyako di bawah Kerajaan Ryukyu hanyut ke Taiwan, Tiongkok, di mana mereka dibunuh oleh penduduk asli Takayama setempat. Itu disebut " Insiden Klub Peony ( Peony Club Incident) ".

Sumber: k.sina.com.cn
Sumber: k.sina.com.cn

Setelah Jepang mengetahui kejadian ini, itu seperti harta karun. Insiden "Orang-orang perahu Ryukyu terbunuh di Taiwan" memberi kesempatan kepada pemerintah Meiji, yang berencana untuk mencaplok Ryukyu dengan campur tangan dalam urusan Taiwan, dengan alasan yang bagus ini untuk menyerang Taiwan.

Setelah serangkaian perencanaan dan pertimbangan di dalam pemerintah Jepang, pada bulan April 1874 pemerintah Meiji mulai merencanakan pengiriman pasukan ke Taiwan untuk melakukan apa yang disebut "penuntutan oleh tentara (prosecution by the army)".

Pada bulan Mei dan Juni 1874, armada Jepang tiba di Taiwan dan mendarat, setelah memenangkan penyerangan di Mudanshe, tentara Jepang tidak mundur. Setelah itu, kedua belah pihak bernegosiasi di bawah mediasi duta besar Inggris untuk Tiongkok, Sir Thomas Francis Wade, dan setelah tawar-menawar berulang kali, kedua belah pihak menandatangani "Artikel Khusus Urusan Taiwan (Taiwan Affairs Special Articles)", menimbulkan kesan bahwa Ryukyu adalah negara bawahan Jepang, dan meletakkan bahaya tersembunyi untuk aneksasi Ryukyu di masa depan.

Tak lama setelah penandatanganan "Artikel Khusus Urusan Taiwan" Tiongkok-Jepang, pemerintah Jepang meminta raja Ryukyu untuk datang ke Tokyo untuk "berterima kasih". Sejak Maret 1875, pemerintah Jepang telah meminta pihak Ryukyu untuk memutuskan suzerain-vassal dengan Tiongkok, namun rangkaian aktivitas ini ditentang keras oleh pihak Ryukyu. Raja Ryukyu berharap untuk terus mempertahankan sistem suzerain-vassal (negara bawahan) dan tidak mau mengubah status sebagai pengikut untuk kedua negara Tiongkok dan Jepang.

Namun saat itu, pemerintah Meiji Jepang telah memutuskan untuk mencaplok Ryukyu, dan terus mengirimkan petugas polisi dan inspektur ke Ryukyu untuk memperkuat pengawasan dan kendali atas Ryukyu.

Pada tahun 1877, dengan dukungan kekuatan kekerasan militer, pemerintah Meiji secara paksa membawa kekuasaan kehakiman Kerajaan Ryukyu ke dalam yurisdiksi Pengadilan Tinggi Osaka. Di bawah perambahan Jepang yang terus menerus, kedaulatan Kerajaan Ryukyu mulai hilang secara bertahap.

Pada November 1878, Michiyuki Matsuda dan lainnya dalam pemerintahan Meiji merumuskan "Kasus Hukuman Domain Ryukyu", di mana Matsuda Michiyuki menyarankan agar Ryukyu ditangani dengan cepat dengan kekerasan, dan raja Ryukyu harus dipindahkan ke Tokyo untuk dikontrol ketat.

Pada bulan Februari 1878, pemerintah Jepang secara resmi memutuskan untuk menerapkan "Hukuman Ryukyu", dan kemudian Michiyuki Matsuda memimpin sejumlah besar polisi Jepang dan personel bersenjata ke Ryukyu.

Pada tanggal 27 Maret, dia mengumumkan secara terbuka di Kastil Shuri bahwa pemerintah Jepang akan menghapuskan Kerajaan Ryukyu dan memerintahkan Raja Ryukyu Shang Tai segera meninggalkan Kastil Shuri, dan pada saat yang sama mengirim personel bersenjata untuk mengontrol berbagai departemen utama Kerajaan Ryukyu. Pemberitahuan dipasang di berbagai pulau milik Kerajaan Ryukyu, mengumumkan kebijakan pemerintah Jepang tentang "menghukum Ryukyu" dan "menghapus domain feodal dan mendirikan kabupaten". Karena ukuran negara yang kecil dan kelemahan rakyatnya, Ryukyu gagal melakukan perlawanan yang efektif, sehingga Kerajaan Ryukyu yang telah ada selama ribuan tahun secara resmi dianeksasi oleh Jepang.

Pada 4 April 1879, pemerintah Meiji secara resmi mengumumkan bahwa Kerajaan Ryukyu akan diubah menjadi Prefektur Okinawa, dan Nabeshima Naoyoshi diangkat sebagai hakim pertama di Okinawa.

Sumber: zh.m.wikipedia.org
Sumber: zh.m.wikipedia.org

Setelah Jepang secara langsung memasukkan Ryukyu ke wilayahnya sendiri, "orang Okinawa" tidak menerima perlakuan yang sama dengan "orang Jepang". Penduduk asli Jepang selalu mengadopsi sikap diskriminatif dan menghina orang Okinawa.

Karena faktor iklim, Okinawa kaya akan tebu. Untuk memastikan pasokan gula dalam negeri, Jepang berusaha sebaik mungkin untuk memperluas area penanaman tebu di Okinawa. Dengan cara ini, Okinawa sepenuhnya direduksi menjadi sumbernya bahan baku di Jepang. Sementara Jepang mempercepat industrialisasi, keterbelakangan Okinawa tetap tidak berubah.

Pengeluaran fiskal Jepang di Prefektur Okinawa sangat rendah, jauh lebih rendah daripada kabupaten setempat. Akibatnya, Kabupaten Okinawa sudah lama tidak memiliki rel kereta api milik negara satu meter pun, dan tidak ada satu pun perguruan tinggi. Okinawa lambat laun menjadi daerah paling terbelakang di Jepang.

Seiring dengan diskriminasi psikologis dan penjarahan ekonomi, ada juga kebijakan asimilasi budaya Jepang untuk penduduk Okinawa.

Segera setelah aneksasi Okinawa, pemerintah Meiji memulai kampanye untuk mempromosikan bahasa Jepang sebagai standar di Okinawa. Namun kebijakan ini ditentang oleh warga Okinawa. Untuk memaksa orang Okinawa belajar bahasa Jepang, pemerintah Jepang mengadopsi dua cara penghargaan dan hukuman, dan mengeluarkan subsidi bagi mereka yang belajar bahasa Jepang untuk membujuk mereka. Selain itu, penggunaan dialek Ryukyu dilarang keras di sekolah, jika siswa melanggar peraturan, siswa akan diminta untuk memakai kartu "dialek" yang menghina, dan akan dikenakan berbagai hukuman seperti hukuman fisik.

Dari sudut pandang saat ini, asimilasi bahasa Okinawa di Jepang memang cukup berhasil. Sebuah survei tahun 2014 tentang penggunaan bahasa di berbagai bagian Kepulauan Ryukyu menunjukkan bahwa hanya sejumlah kecil orang tua yang masih menggunakan bahasa lokal. bahasa, dan sisanya pada dasarnya berkomunikasi dalam bahasa Jepang.

Sumber:  k.sina.com.cn
Sumber:  k.sina.com.cn

Selain itu, untuk menumbuhkan kesadaran/pemikiran "Jepang" orang Okinawa, pemerintah Jepang melakukan "imperialisasi" orang Okinawa untuk menumbuhkan rasa kesetiaan kepada kaisar, dan memutarbalikkan sejarah, menanamkan gagasan bahwa orang Okinawa telah menjadi orang Jepang sejak zaman kuno, dan memperlakukan orang Okinawa dengan berbagai macam PUA (Potentially Unwanted Application yang berarti aplikasi yang mungkin tidak diinginkan yang diklasifikasikan sebagai perangkat abu-abu, mengacu pada aplikasi yang dipasang di perangkat seluler atau komputer yang dapat menimbulkan risiko tinggi atau dampak yang tidak diinginkan pada keamanan dan/atau privasi pengguna).

Sebuah artikel yang diterbitkan dalam "Pendidikan Ryukyu" pada tahun 1898 dengan terang-terangan menulis: "Okinawa, yang sebelumnya dianggap tidak berharga, terletak di posisi penting di gerbang selatan Kekaisaran Jepang. Kurangnya produk tidak dapat menjadi sumber kekayaan bagi kekaisaran, tetapi Okinawa penting bagi Kekaisaran Jepang. Nilai geostrategis kekaisaran jauh melebihi nilai material Okinawa, dan orang-orang Okinawa harus menjadi garda depan pertahanan laut luar, "orang pertama" dari orang Jepang, dan mendedikasikan hidup mereka untuk Yang Mulia Kaisar."

Dan ini juga menjadi dasar bagi pemerintah Jepang untuk membuang atau menjadikan Okinawa sebagai umpan meriam untuk mempertahankan daratan Jepang di masa perang mendatang.

Perang Pasifik/P.D. II

Setelah pecahnya Perang Pasifik, AS dan Jepang berperang sengit untuk pulau-pulau di Samudra Pasifik. Militer AS percaya bahwa perebutan Kepulauan Ryukyu dapat membangun pangkalan untuk menyerang daratan Jepang dan daratan Tiongkok, dan dapat memblokir jalur transportasi laut ke barat daya Jepang, memblokir saluran bagi Jepang untuk mendapatkan sumber daya strategis dari tempat lain. Arti penting strategis untuk merebut Kepulauan Ryukyu sangatlah penting.

Untuk membubarkan perlawanan tentara Jepang di Okinawa dan bekerja sama dengan operasi pendaratan, formasi kapal induk AS melakukan beberapa putaran pengeboman merata/karpet di Okinawa sejak 23 Maret 1945. Militer AS, yang memiliki keunggulan signifikan dalam jumlah pasukan dan senjata dan peralatan, berada di awal perang,  kemudian mengendalikan kekuatan udara dan laut Okinawa.

Setelah 60.000 pasukan AS berhasil mendarat di wilayah tengah dan barat pulau utama Okinawa, mereka kemudian dibagi menjadi dua kelompok, maju terus ke utara Okinawa dan terus ke selatan. Pasukan AS maju ke utara dengan relatif lancar, dan segera memusnahkan para tentara pembela Jepang, mengakhiri pertempuran.

Tapi, pasukan AS yang menuju ke selatan menemui perlawanan keras kepala dari tentara Jepang. Setelah hampir sebulan tarik-menarik, tentara Jepang menderita kerugian besar dan akhirnya meninggalkan Shuri (bekas ibu kota Ryukyu) dan melarikan diri ke selatan. Baru pada 7 September 1945, setelah Jepang menyerah, para tentara pembela Jepang yang masih hidup di Okinawa secara resmi menyerah kepada militer AS di pangkalan Kadena. Sejauh ini, Pertempuran Okinawa, yang berlangsung hampir setengah tahun, resmi berakhir.

Sumber: en.wikipedia.org
Sumber: en.wikipedia.org

Disertai dengan kebrutalan Pertempuran Okinawa adalah jumlah korban yang sangat besar. Korban dan kesengsaraan warga sipil Okinawa berada di luar imajinasi. Menurut statistik, 12.520 orang tewas dari tentara AS, dan tentara dan pasukan pertahan Jepang 65.908 orang tewas. 28.228 orang tewas dalam pertempuran termasuk tenara pelajar remaja, dan 94.000 warga sipil lokal di Okinawa tewas.

Dan korban orang Okinawa yang tewas sebagian besar disebabkan oleh tentara Jepang setempat, yang melakukan pembantaian besar-besaran di Ryukyu.

Sebelum perang dimulai, ada sekitar 400.000 penduduk di Kepulauan Ryukyu, tetapi pada akhir perang, sekitar 120.000 orang tewas hampir sepertiga dari total penduduk setempat.

Ini termasuk 11.483 anak-anak, sebagian besar meninggal di tangan tentara Jepang setempat, 10.101 anak-anak dibunuh oleh tentara Jepang dari tempat penampungan dan 866 tewas saat melakukan pekerjaan serabutan untuk tentara Jepang, banyak lainnya mati kelaparan setelah dirampok makanannya oleh tentara Jepang atau dibunuh langsung oleh tentara Jepang.

Sebagian besar perempuan dan anak-anak dibunuh bukan karena tentara Jepang tidak melindungi mereka, tetapi lebih langsung oleh tentara Jepang. Dan ketika militer AS hendak mendarat, tentara Jepang memaksa warga sipil setempat untuk bunuh diri secara kolektif.

Sumber: k.sina.com.cn
Sumber: k.sina.com.cn

Ada juga banyak tentara Jepang yang membunuh sejumlah besar warga sipil setempat untuk mendapatkan makanan atau tempat persembunyian yang lebih baik, dan tentara Jepang tidak mempercayai penduduk Okinawa setempat. Banyak penduduk setempat yang dibunuh karena dianggap sebagai "mata-mata" oleh tentara Jepang.

Bagi orang Okinawa, tragedi pertempuran itu tidak terletak pada intensitasnya, tetapi kesedihan bahwa meskipun mereka dimasukkan secara paksa ke bagian dari negara Jepang, tetapi mereka tidak dipercaya dan diperlakukan sama oleh penduduk asli.

Ketika perang berakhir dan orang Okinawa belum sembuhkan dari luka perang, karena pentingnya lokasi geografisnya, Okinawa menjadi tumbal dari pemenang baru perang (AS) sebagai koloni militer AS di Pasifik Barat.

Setelah Jepang secara resmi mengumumkan penyerahan tanpa syarat, aturan militer AS di Okinawa secara bertahap ditetapkan.

Pada 26 Juli 1945, menjelang penyerahan Jepang. Tiongkok, Amerika Serikat, dan Inggris mengeluarkan "Proklamasi/Deklarasi Potsdam", di antara ketentuan yang kedelapan membatasi ruang lingkup wilayah Jepang: "Kedaulatan Jepang terbatas pada Honshu, Kyushu , dan Shikoku , Hokkaido, dan pulau-pulau kecil lainnya yang ditentukan oleh sekutu terdekat."

Menurut ketentuan ini, Jepang kehilangan haknya untuk menguasai Kepulauan Ryukyu. Jepang menerima "Proklamasi/Deklarasi Potsdam" ketika menyerah tanpa syarat, yang berarti bahwa Jepang menerima pembatasan ruang lingkup kedaulatan.

Pada 2 April 1947, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengumumkan "Agreement on the Mandatory Administration of the Islands by the Former Japan (Perjanjian Mengenai Administrasi Mandat Kepulauan oleh Bekas/Mantan Negara Jepang)", menempatkan Kepulauan Ryukyu di selatan 30 derajat lintang utara di bawah sistem perwalian PBB dan dikelola oleh militer AS. Pada  1 April 1952, "Ryukyu American National Government (Pemerintah Nasional Amerika Ryukyu)" secara resmi didirikan.

Kemenangan Revolusi Tiongkok pada tahun 1949 membuat AS semakin mendesak untuk mengakui nilai strategis Okinawa. Maka, pembangunan pangkalan militer permanen di Okinawa dimulai.

Dengan perkembangan waktu, konfrontasi antara AS dan Uni Soviet mulai menjadi semakin serius, dan situasi internasional di Asia Timur menjadi semakin tegang. Rencana yang awalnya dirumuskan oleh AS untuk melucuti senjata Jepang dan mempercayakan Okinawa kepada PBB tidak lagi cocok untuk kepentingan globalnya AS sendiri.

Untuk menghadapi Uni Soviet, AS secara bertahap mengubah kebijakannya untuk menghukum Jepang merubah menjadi mendukung Jepang dalam menghadapi Uni Soviet di Asia Timur, dan membangun rangkaian pulau pertama yang berpusat di Okinawa sebagai jembatan untuk "menahan perluasan komunisme."

Setelah penandatanganan "Perjanjian Perdamaian San Francisco" pada bulan September 1951, pendudukan militer di daratan Jepang berakhir, tetapi Okinawa masih berada di bawah kekuasaan militer langsung militer AS. Baru setelah kedua belah pihak menandatangani apa yang disebut "Okinawa Return Agreement (Perjanjian Pengembalian Okinawa)" pada tahun 1971 bahwa Okinawa pada tahun 1972. "dikembalikan" ke Jepang pada bulan Mei.

Pada 15 Mei 1972, menurut "Perjanjian Pengembalian Okinawa", AS secara resmi "mengembalikan" administrasi Okinawa ke Jepang, dan rakyat Okinawa memasuki era penindasan bersama oleh AS dan Jepang.

Ketika Okinawa "dikembalikan" ke Jepang, luas pangkalan militernya tidak hanya tidak berkurang, tetapi terus melonjak. Pemerintah Jepang bernegosiasi dengan AS untuk mengurangi dan mengatur kembali pangkalan militer AS di Jepang, dan mengalihkan sebagian fasilitas militernya ke Okinawa, akibatnya Okinawa yang hanya mencakup 0,6% dari total wilayah Jepang, memiliki luas total sebesar 70,6% dari total luas pangkalan militer AS di Jepang. Kepadatan dasar Okinawa telah mencapai lebih dari 100 kali lipat dari daratan utama, menjadikannya "pulau pangkalan" yang sebenarnya.

Militer AS telah secara paksa mengambil alih sebagian besar tanah warga di Okinawa. Pembangunan pangkalan skala besar tidak hanya menghancurkan lingkungan alam setempat, insiden jaminan sosial, polusi suara, dll. penduduk.

Perekonomian Okinawa, yang tersebar di seluruh basis, berkembang dengan lambat, dan "ekonomi dasar" tunggal sangat menghambat perkembangan industri lain, sehingga Okinawa masih menjadi daerah yang paling terbelakang secara ekonomi di Jepang.

Beban berat itu juga menimbulkan perlawanan rakyat Okinawa, Sejak militer AS menguasai Okinawa, perlawanan Okinawa tidak pernah berhenti.

Selain itu, karena militer AS yang ditempatkan di Jepang memiliki "ekstrateritorial" untuk mendapat perlindungan, tingkat kejahatan di Okinawa sangat tinggi. Selama beberapa dekade ketika militer AS menduduki Okinawa, mereka dengan kasar merebut tanah, menembak dan membunuh penduduk setempat, dan memperkosa wanita.

Menurut statistik dari Departemen Kepolisian Prefektur Okinawa, ada 4.790 kejahatan yang dilakukan oleh tentara Amerika dalam 23 tahun setelah "dikembalikan" dari jumlah kasus yang diajukan dan diselidiki. Insiden keji itu termasuk 12 pembunuhan, 355 perampokan dan pencurian, dan 31 pemerkosaan perempuan.

Insiden yang paling representatif adalah pada tanggal 4 September 1995, ketika tiga tentara AS memperkosa seorang gadis Okinawa berusia 12 tahun, dan kemudian melarikan diri kembali ke pangkalan militer AS, menyebabkan kemarahan besar di antara orang-orang Okinawa.

Selama hampir 20 tahun dari "dikembalikan" pada tahun 1972 hingga akhir Perang Dingin, meskipun pihak Okinawa terus memprotes pangkalan militer AS, itu tidak membentuk gerakan perlawanan skala besar di Okinawa. Tapi keseimbangan yang rapuh ini benar-benar rusak oleh kejadian ini.

Setelah kejadian ini, berbagai protes pecah seperti gelombang pasang yang memecahkantanggul, dan pemerintah Kabupaten Okinawa juga secara terbuka memihak rakyatnya .

Setelah kejadian ini, Gubernur Prefektur Okinawa, Masahide Ota, secara terbuka menolak untuk bertindak sebagai agen untuk  kontrak akuisisi tanah militer AS.

Sumber: timenote.info
Sumber: timenote.info

Ledakan protes di seluruh Okinawa tentu saja membuat marah karena parahnya insiden tersebut di atas. Lebih penting lagi, toleransi orang Okinawa terhadap kejahatan berulang yang dilakukan oleh tentara Amerika setelah "dikembalikan" mencapai batasnya, yang bisa disebut sebagai pukulan terakhir yang  yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi.

Setelah pecahnya pemerkosaan berkelompok terhadap seorang gadis Okinawa oleh militer AS, semakin banyak orang di Okinawa yang mulai sadar. Gerakan kemerdekaan Okinawa, atau lebih tepatnya, gerakan kemerdekaan Ryukyu, mulai tumbuh dan berkembang.

Ryukyu Menuntut Kemerdekaan (Gerakan Kemerdekaan Ryukyu)

Pada 13 Februari 1997, perwakilan Ryukyu melakukan konfrontasi pertama mereka dengan pemerintah Jepang tentang masalah kemerdekaan. Di Komite Anggaran DPR Jepang, Yasuke Uehara, anggota Partai Sosial Demokrat yang dipilih di Okinawa, mengemukakan gagasan "kemerdekaan Okinawa" ketika menanggapi jawaban Perdana Menteri Ryutaro Hashimoto bahwa dia "harus bekerja sama dengan militer AS untuk mengurangi pangkalan".

Uehara menunjukkan bahwa Okinawa telah "muak diintimidasi" dan berniat untuk mendirikan "Kerajaan Ryukyu". Terlepas dari apakah pangkalan Jepang dikurangi atau tidak, "kita harus memahami perasaan penduduk kabupaten."

Pada 15 Mei 1997, saat peringatan 25 tahun Jepang menguasai kembali Okinawa, itu menjadi pertemuan/demo rasa sakit dan tangis rakyat Okinawa. Reli berlangsung sepanjang malam dan berlangsung selama dua hari satu malam.

Orang-orang juga menerjang panasnya pertengahan musim panas untuk mengadakan demonstrasi. Menderu "menentang pemerintahan kolonial Jepang", "menarik pangkalan militer AS", "kemerdekaan Okinawa"! Ini tidak diragukan lagi merupakan tamparan keras di wajah kebanggaan daratan Jepang yang merayakan ulang tahun ke-25 pemerintahan kembali Okinawa.

Sumber: k.sina.com.cn
Sumber: k.sina.com.cn

Pada saat ini, suara kemerdekaan Ryukyu mulai semakin keras. Penulis Ryukyu Kaoru Moriguchi menggambarkan adegan konferensi "Kemerdekaan Ryukyu" di majalah bulanan "Komunikasi Okinawa" pada tahun 2006.

Dia menulis: "Pada 5 Maret 2006 (Minggu), majelis penduduk kabupaten menentang pembangunan pangkalan militer AS yang baru di sepanjang pantai Henoko ke Teluk Oura diadakan di Taman Tepi Laut Kota Ginowan pada sore hari. Karena saya telah mendengar tentang pertemuan ini untuk waktu yang lama. Ini adalah pertemuan "Kemerdekaan Ryukyu" dari Jepang. Kami berangkat dari rumah jam 5:30 pagi dan pergi ke Bandara Haneda untuk mengejar pesawat ke Okinawa di pagi hari. Sekitar jam 2 siang, saya melihat sekelompok orang melambai-lambaikan "Federasi Republik Ryukyu" dan "Bendera Kemerdekaan Ryukyu" masuk ke tempat acara."

Moriguchi juga mengatakan bahwa bendera nasional biru besar dengan tulisan "Federasi Republik Ryukyu" berwarna putih dan bendera "Kemerdekaan Ryukyu" dengan huruf biru dengan latar belakang putih berkibar di depan spanduk "Deklarasi Kemerdekaan Ryukyu" "Majelis Rakyat Kabupaten"; dan slogan-slogan tersebar di seluruh tempat, dan lagu Internationale dimainkan berulang kali; lebih dari 10.000 selebaran juga disiapkan untuk konferensi tersebut. Salah satunya adalah deklarasi kemerdekaan enam kelompok Ryukyu dengan tajuk utama "Mari kita berpisah dengan Jepang! Kita berhak menentukan masa depan kita sendiri!"

Ada juga dari "Issue News" dari "Ryukyu Times", yang diterbitkan pada 5 Maret 2006 (Tahun Baru Ryukyu).

Sumber: k.sina.com.cn
Sumber: k.sina.com.cn

Gerakan kemerdekaan Ryukyu pernah menjadi berita besar, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, Jepang semakin berasimilasi secara budaya. Asimilasi budaya yang semakin intens juga menyebabkan semakin banyak orang Ryukyu kehilangan jati diri dan lambat laun berintegrasi dengan Jepang. Meskipun gerakan kemerdekaan Ryukyu masih aktif, pesert aktifnya semakin sempit.

Sungguh menggembirakan bahwa banyak orang Ryukyu yang masih mendukung kemerdekaan, dan gerakan kemerdekaan Ryukyu masih aktif, bahkan berniat mencari dukungan dari Tiongkok. Baca:

Mengapa Tiongkok Mendukung Kemerdekaan Kepulauan Ryukyu (Okinawa)?

https://www.kompasiana.com/makenyok/6454ba9aa7e0fa7c242c13d2/mengapa-tiongkok-mendukung-kemerdekaan-kep-ryukyu-okinawa

Menurut "Asosiasi Kamerad Revolusioner Ryukyu (Ryukyu Revolutionary Comrades Association)", "Tiongkok dan Ryukyu telah berhubungan satu sama lain ribuan tahun yang lalu. Terlepas dari politik, ekonomi, budaya, ideologi, dan adat istiadat, semuanya berasal dari Tiongkok, yaitu dalam hal darah, kebanyakan dari mereka berasal dari Tiongkok. Sebagian besar dari Fujian (Hokkian) yang pindah ke Ryukyu, sebaian dari Korea dan Nanyang (Asia Tengara), dan keturunan dari apa yang disebut tiga puluh enam nama keluarga (marga) sebenarnya merupakan lebih dari setengah populasi Ryukyu.

Sumber: kwongwah.com.my
Sumber: kwongwah.com.my

Padahal, Tiongkok tidak pernah mengakui Okinawa sebagai bagian dari wilayah Jepang. Deklarasi Kairo dan Proklamasi Potsdam, yang menandai berakhirnya Perang Dunia II, menetapkan bahwa Jepang harus kehilangan semua pulau di Pasifik yang diakui dan dikuasai sejak 1914; setelah Jepang menyerah, kedaulatannya hanya terbatas pada Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku dan pulau-pulau yang ditunjuk oleh Sekutu.

"Perjanjian Perdamaian San Francisco" yang ditandatangani oleh AS dan Jepang pada tahun 1951 tidak mengundang Tiongkok, Uni Soviet, dan negara-negara yang bertikai lainnya dalam Perang Dunia II untuk berpartisipasi dalam negosiasi, sehingga Tiongkok dan Uni Soviet tidak mengakuinya.

Bahkan "Perjanjian Damai San Francisco" tidak secara jelas menyatakan bahwa kedaulatan Okinawa adalah milik Jepang. Pengalihan "kekuasaan pemerintahan" Okinawa kepada pemerintah Jepang oleh AS pada tahun 1972 benar-benar ilegal dan tidak sah. Terutama menurut pandangan Tiongkok dan Uni Soviet (Rusia).

Menurut pandangan Tiongkok: Bukankah AS selalu suka berbicara tentang "tatanan internasional berbasis aturan"? Apakah itu "pertukaran pribadi" antara AS dan Jepang tentang Ryukyu dan tempat lain, Jepang tidak memiliki refleksi tentang kejahatan perang tetapi berbicara omong kosong tentang Selat Taiwan.

Jepang bahkan hingga saat ini, tanpa malu-malu ingin meminta para pemimpin G7 untuk meletakkan bunga di monumen peringatan bom nuklir Hiroshima ... Yang mana dari ini bukan tamparan dari apa yang disebut "aturan" dan "ketertiban" "dari Amerika Serikat? Akankah langkah selanjutnya Biden berlutut di depan monumen untuk bertobat?

Oleh karena itu, bahkan jika Tiongkok selama ini mundur selangkah, inilah saatnya untuk meninjau kembali masalah Ryukyu untuk "tatanan internasional berbasis aturan" yang disebut Amerika Serikat. Demikian pernyataan dan opini rakyat Tiongkok akhir-akhir ini...

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri

https://k.sina.com.cn/article_1887344341_707e96d502001d8g8.html

https://zh.m.wikipedia.org/zh-my/%E9%8D%8B%E5%B3%B6%E7%9B%B4%E5%BD%AC

https://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Okinawa

https://www.britannica.com/topic/Battle-of-Okinawa

https://timenote.info/en/Ota-Masahide

https://www.bbc.com/news/world-asia-42192571

https://www.washingtonpost.com/archive/politics/1995/11/08/3-servicemen-admit-roles-in-rape-of-okinawan-girl/66326040-1107-4b68-92dd-09dea388cfac/

https://www.theguardian.com/world/2008/feb/11/japan.usa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun