Pasca pembantaian tersebut, hubungan antara Jepang dan penduduk pulau Ryukyu turun ke titik beku. "Deklarasi Potsdam" tidak secara jelas menyebutkan masalah kepemilikan negara/kerajaan Ryukyu.
Oleh karena itu, dalam beberapa dekade pascas perang, Kepulauan Ryukyu berada di bawah pendudukan militer AS dan menjadi pangkalan militer penting AS di kawasan Asia-Pasifik.
Baru pada tahun 1972 Amerika Serikat "mengembalikan" Kepulauan Ryukyu ke Jepang dan mengakui kedaulatan Jepang atas Kepulauan Ryukyu.
Namun, kali ini keputusan tersebut tidak mendapat persetujuan dan dukungan dari masyarakat Ryukyu.
Kenyataan, masyarakat Ryukyu selalu merasa tidak puas dan menentang pemerintahan Jepang, karena pemerintah Jepang telah menindas dan mendiskriminasi budaya, bahasa, pendidikan, ekonomi Ryukyu dan aspek lainnya.
Masyarakat Ryukyu juga resah dan marah dengan banyaknya pangkalan dan fasilitas militer yang didirikan AS di enam wilayah kepulauan tersebut, sehingga pangkalan dan fasilitas tersebut tidak hanya menempati lahan dan sumber daya dengan laju dua kali lipat, tetapi juga membawa banyak efek negatif bagi lingkungan dan masyarakat setempat.
Seperti kebisingan, polusi, kecelakaan, kriminalitas, dll. Selama beberapa dekade pendudukan ilegal Jepang atas Ryukyu, rakyat Ryukyu tidak diperlakukan sama oleh pemerintah Jepang, dan banyak kebijakan yang jelas mendiskriminasi Ryukyu.
Oleh karena itu, masyarakat Ryukyu banyak melancarkan protes dan demonstrasi untuk menuntut agar pemerintah Jepang dan pemerintah AS menghormati hak asasi dan kepentingan mereka.
Pengurangan atau penarikan pangkalan dan fasilitas militer, menuntut pemulihan status independen Ryukyu, aksi ini disebut "Gerakan Kemerdekaan Ryukyu".