Tetapi segera, Barat mendapati bahwa dewi demokrasi yang diciptakannya sebenarnya telah berbalik? Alasannya juga sangat sederhana, pada tahun-tahun ketika dia sebagai oposisi, Aung San Suu Kyi bisa berbicara tentang kekuatan sipil, makna kebebasan, hakikat demokrasi, dan manfaat voting. Â Tapi dia sekarang adalah unsur kekuatan dan pimpinan di istana presiden, dan dia tidak bisa terus berbicara tentang perasaan yang jauh dari kenyataan.
Barat Menjadi Gusar Atas Negarawanan Aung San Suu Kyi
Setelah Aung San Suu Kyi menjadi manajer senior, dia tidak memimpin Myanmar untuk mengikuti jalur strategis yang ditetapkan oleh AS, tetapi melakasanakan untuk menindak-lanjuti untuk kepentingan Myanmar.
Secara internal, perkembangan dialog ekonomi dengan negara-negara yang mengatur ibukota utara, untuk mencapai perdamaian dan stabilitas nasional.
Dalam hal kebijakan luar negeri, mereka menganjurkan untuk memelihara persahabatan dengan negara-negara tetangga di utara, dan secara aktif ikut serta dalam Belt and Road Initiative, dan membentuk Belt and Road Steering Committee.
Aung San Suu Kyi secara pribadi mengetuai komite. Yang membuat kesal Barat adalah pada Mei 2017, Aung San Suu Kyi menolak undangan Trump untuk mengunjungi AS dan malah pergi ke negara tetangga di utara untuk berpartisipasi dalam KTT "Belt and Road".
Antara Tiongkok dan AS, pihak mana yang dipilih Aung San Suu Kyi untuk berdiri, tindakannya dianggap sudah jelas bagi AS dan Barat. Dan ini dianggap suatu penghinaan telanjang bagi Barat.
Barat benar-benar kecewa, dan mulai menuangkan air kotor ke satu sisi dan menyerang dengan kejam, seperti mereka mengayunkan tongkat di satu sisi. Alasannya sangat mudah ditemukan.
Pada Agustus 2017, Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar pertama kali menyerang militer dan polisi, kemudian pasukan pemerintah Myanmar melancarkan serangan balik. Banyak warga sipil yang tewas.
Barat tidak peduli apakah angkatan bersenjata militer Rohingya yang menyerang lebih dulu atau harus bagaimana menyelesaikannya. Namun secara langsung serangan ditujukan kepada Aung San Suu Kyi: "Dia, sebagai pemimpin de facto Myanmar, harus bertanggung jawab atas terjadinya dan meluasnya konflik dan pembantaian. Dia seharusnya tidak tinggal diam atas insiden Rohingya. Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi harus dicabut ..."
Di mata negara-negara Barat, Aung San Suu Kyi, yang merupakan "pejuang demokrasi", harus berdiri di sisi "hak asasi manusia" dan mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh militer dan polisi Burma terhadap Rohingya.