Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Benarkah Demokrasi AS Menuju Keruntuhan dan Kematian?

10 September 2020   15:35 Diperbarui: 10 September 2020   15:44 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin kita masih bisa ingat pada kampanye pemilu AS 2016 lalu, semua jajak pendapat pada saat itu menilai Hillary Clinton akan menang, jadi reporter bertanya kepada Trump, bagaimana jika Anda kalah? Trump menjawab: "Lihat saja nanti." Dia bahkan dapat mengatakan secara terbuka bahwa jika saya menembak dan membunuh seseorang di Fifth Avenue di New York, saya masih akan mendapat dukungan dari para pemilih. (Trump's speech in Iowa on January 24, 2016).


Full Speech: Donald Trump Campaign Event in Muscatine, IOWA Jan. 24th 2016

"Saya tidak akan kehilangan pemilih saat saya berdiri di Fifth Avenue dan menembak." Kata-kata ini telah menyebabkan situasi di mana pemilih menjadi radikal dan irasional, dan hanya mengenal satu orang.

Data yang bisa kita lihat pada pemilu AS sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih di AS umumnya paling banyak 55%, itu artinya, Anda hanya perlu mendapatkan 51% suara dari 55% yang ikut memilih dan akan menang. Jadi untuk menang hanya perlu mendapatkan 27% - 28% suara dari 55% rakyat AS yang ikut memilih.

Tidak ada keraguan bahwa ini adalah demokrasi minoritas yang khas. Jika kita memperhatikan diskusi baru-baru ini di Kongres AS tentang pemilihan November yang akan datang ini, banyak orang yang fokus pada masalah, yaitu jika Trump kalah, dan tidak mau mengaku kalah, apa yang akan terjadi? Beberapa orang bahkan secara terbuka mendiskusikan apakah AS akan jatuh ke dalam keadaan terpecah pada saat itu.

Masalah keempat adalah penyalahgunaan sistem demokrasi itu sendiri. Fenomena ini mulai muncul di AS dan beberapa negara lain.

Fenomena di AS ini disebut Gerrymandering, artinya setelah suatu daerah pemilihan kembali dibagi, suaranya akan selalu menjadi milik partai tertentu, Partai Demokrat, atau atau partai lain, yaitu Partai Republik

Sumber: Ilustrasi dari youtube.com
Sumber: Ilustrasi dari youtube.com
Dalam pemilu terakhir, sebenarnya ada beberapa yang disebut swing state yang saling bersaing di setiap pemilu. Padahal, pemekaran kembali dapil ini juga menggunakan beberapa celah dalam sistem demokrasi untuk mencapai cita-cita para politisinya.

Masalah kelima bahwa sistem partai politik AS dulu kurang lebih dapat menahan para ekstremis. Sekarang menjadi semakin sulit. Sulit bagi sistem partai politik AS untuk mencapai hal ini, dan seringkali lebih mudah untuk mendorong orang yang lebih ekstrem ke panggung politik.

Hubungan antara Partai Republik dan Trump adalah contoh yang baik. Faktanya, tidak banyak orang yang benar-benar menyukai Trump, namun demi menjaga kemenangan pemilu dari Partai Republik, mayoritas tetap memilih untuk mendukung orang-orang ekstrim seperti Trump. Kesimpulan dari dua profesor ilmu politik dari Universitas Harvard -- Stven Levitsky dan Daniel Ziblatt ini sangat sederhana, jika tren yang baru saja dijelaskan tidak dapat dibalik, sistem demokrasi AS akan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun