Dari sini kita mengilustrasikan, bahwa Trump tidak tertarik pada kebebasan. Dia adalah seorang pengusaha, dan begitu menekankan kepentingan praktis, dan nilai-nilai universal dalam kebijakan luar negeri AS, yang berarti bahwa ideologi masih menduduki proporsi yang cukup tinggi, tetapi bahwa orang ini, tokoh politik kunci ini tidak terlalu tertarik pada nilai semacam ini, jadi dalam kebijakannya, nilai-nilai universal dan ideologi menempati proporsi yang lebih rendah. Demikian menurut pandangan analis.
Tanpa sentimen diplomatik ideal, konsep altruisme (tidak perduli kepentingan pihak lain), upaya pemerintah Trump untuk meraih keuntungan dalam menangani urusan internasional lebih nyata, dan ia memiliki realisme yang lebih menonjol. Hal ini menyebabkan dia menarik diri dari berbagai perjanjian dan organisasi internasional dengan tanpa merasa tidak nyaman sedikit pun.
Kebijakan luar negeri AS telah secara cerdas menggabungkan nilai dengan kepentingan. Dalam hal ini lebih mempertimbangkan banyak nilai-nilainya, Â dengan mempromosikan nilai-nilai untuk dapat mencapai kepentingannya, tetapi pemerintahan Trump jelas menjauh dari tradisi ini. Dan hal ini benar-benar terjadi.
Pemerintahan Trump hanya berbicara tentang minat dan kekuasaan. Misalnya, ketika mereka berbicara tentang negara lain, jika Trump percaya bahwa mereka tidak ingin mempelajari nilai-nilai mereka, dan ingin bertahan dalam nilai-nilai mereka sendiri, maka dia akan membiarkan mereka bertahan, dan AS mungkin tidak akan menghabiskan sumber daya keuangan, sumber daya manusia, dan materi untuk mengganggu dan mengubah negara itu, tetapi jika mereka mau mempelajari nilai-nilai AS, tentu itu bagus. Ini telah menunjukkan kecenderungan yang cukup jelas terhadap realisme.
Jadi harus dikatakan bahwa diplomasi berbasis nilai AS tidak terlalu jelas pada pemerintahan Trump.
Mimpi AS mungkin dengan cepat akan menjadi ilusi AS.
Pada 22 Juni lalu, dari laporan lapangan tentang hak asasi manusia AS dari Pelaporan Khusus untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia Philip Alston menunjukkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 1% orang terkaya di AS terus meningkat, dan kekayaan dan tingkat penghasilan 99% dari populasi secara umum telah menurun selama 25 tahun terakhir --- ketidaksetaraan sosial di AS meningkat, yang telah menyebabkan meningkatnya populisme di AS.
Jadi, setelah lebih dari 30 tahun neo-liberalisme, para elit telah berhasil memperoleh tumpukan berjibun-jibun uang, dan kelas menengah tidak menghasilkan uang. Â Tapi ketika negara berada dalam kondisi baik, konflik tidak terlalu nyata, tetapi setelah krisis keuangan pada tahun 2008, hal itu mengakibatkan kemarahan di kalangan masyarakat umum, terutama kelas menengah dan kelas menengah bawah, dan kemarahan ini menjadi yang sekarang dikenal sebagai populisme.
Beberapa analis percaya bahwa mengapa Trump mampu mengalahkan Kandidat Demokrat Hillary Clinton, karena Trump meraih "mayoritas diam (silent majority)" di masyarakat AS.
Baru-baru ini, jajak pendapat publik yang dirilis oleh perusahaan jajak pendapat publik AS Gallup menunjukkan bahwa peringkat persetujuan Trump telah meningkat kembali menjadi 45%, yang merupakan peringkat persetujuan tertinggi sejak ia menjabat presiden.