Hans Muller lahir di Jerman dan mendapatkan gelar PhD di bidang ilmu kedokteran di Swiss. Pada tahun 1939, Muller, saat berusia 24 datang ke Tiongkok untuk mendukung perang Tiongkok melawan penjajah Jepang sebagai seorang dokter dan disambut dengan sambutan hangat oleh Mao Zedong.
Kyoko Muller Nakamura adalah seorang wanita Jepang, istri dari Dr. Muller yang telah tinggal di Tiongkok selama lebih dari setengah abad.
Selama 14 tahun (1931-45) ketika terjadi invasi tentara Jepang menduduki provinsi Heilongjiang (Manchuria), Jilin, dan Liaoning di Timut Laut Tiongko, Jepang mendirikan pabrik dan sekolah di daerah ini. Dan menerima pekerja dan murid asli Jepang untuk bekerja dan belajar di Tiongkok.
Ketika inilah Kyoko Nakamura datang ke Tiongkok secara sukarela dan pada tahun 1945 belajar di sekolah juru rawat rumah sakit. Setelah Jepang menyerah, Kyoko tinggal dan bergabung dengan Tentara Rute Kedelapan (PLA) yang bekerja di sebuah tim medis. Ketika itu dia berumur 15 tahun.
Kisah Hans Muller Ke Tiongkok
Pada suatu hari bulan Juli 1939, malam yang penuh badai, sebuah kapal ditarik keluar dari pelabuhan Marseilles, Prancis, dan mulai berlayar menuju ke Timur. Kapal ini telah bergoyang di tengah badai yang mengamuk dan arus bawahnya yang bergejolak. Kapal ini tampak begitu terlihat kecill dan tak berdaya di lautan yang luas tanpa batas.
Di antara penumpang di kapal, ada seorang Yahudi dari Jerman, Hans Muller. Siapa sebenarnya Hans Muller? Kenapa dia muncul di kapal ini? Ke mana dia akan pergi?
Hans Muller lahir di Dusseldorf, Jerman pada tahun 1915. Ketika Hitler mulai berkuasa, yang secara brutal menganiaya orang-orang Yahudi dan menganut kebijakan diskriminasi rasial.
Karena garis keturunan Yahudi, Hans Muller harus menjauh dari pusat politik dan kemudian belajar di University Hospital of Basel yang terletak di perbatasan antara Swiss dan Jerman.
Jerman yang saat itu berada di bawah rezim Hitler berada dalam nasionalisme gila. Orang-orang Jerman hidup dalam bayang-bayang besar bendera Nazi.
Karena tidak dapat tinggal di Swiss lebih lama atau kembali ke Jerman di bawah rezim Nazi. Muller menjadi bingung saat hendak lulus. Bagaimana untuk masa depannya kelak?
Suatu hari, ketika Muller kembali ke asrama, teman sekelasnya Jiang Zhaoxian mendatanginya. Ternyata dia datang untuk membujuk Muller untuk pergi ke Tiongkok bersamanya. Karena penuh ambisi, teman sekelasnya, Jiang dengan memegang bahu Muller dan berkata "Jika Anda ingin bergabung dalam Perang Anti-Fasis, pergilah ke Tiongkok, karena disitu sedang ada medan perang anti-Fasis terbesar disana."
Muller pernah mendengar tentang perjuangan anti-Fasis orang-orang Tiongkok yang diceritakan oleh Jiang Zhaoxian sebelumnya, jadi dia memutuskan untuk pergi ke Tiongkok yang sepuluh ribu mil jauhnya!
Untuk mengumpulkan biaya perjalanan yang cukup, Hans Muller menjual kamera kesayangannya dan berlayar melintasi samudera sendirian untuk berangkat ke tanah oriental dengan banyak penderitaan yang sulit diceritakan. Dia tidak menyadari bahwa kepergiannya kali ini akan berlangsung seumur hidup.
Kapal tersebut melewati Laut Mediterania, melintasi Terusan Suez, memasuki Laut Merah, menyeberangi Samudera Hindia dan menuju ke Hong Kong. Di kapal yang bergerak melaju dalam gelombang, Muller mulai merasa kangen akan kapmpung halaman dan rumanya, dan segudang pemikiran terus mengiang dan terbayang dalam benaknya.
Dia bertanya-tanya, tanpa memahami satu kata pun dari Bahasa Mandarin, apakah dia benar-benar bisa berhasil untuk bergabung dalam perang keras di negara yang jauh. Angin sepoi-sepoi bertiup, Muller mendongak ke langit bertabur bintang dan mulai membacakan puisi dari Goethe "To Coachman Coronus." Dia sangat tergerak oleh puisi itu dan diam-diam mengambil keputusan; Dia berdiri bersama dengan kebenaran dan keadilan sehingga dia pasti bisa mengatasi kesulitan.
Di No.18 Queen's Road Central, Hong Kong, ada papan nama yang bertuliskan "Yue Hwa Company," ini adalah lokasi Kantor Tentara Rute Kedelapan, Hong Kong.
Banyak barang-barang dan material hasil sumbangan dari simpatisan luar negeri dan komunitas internasional dipindahkan dari sini ke garis depan medan tempur kontra-Jepang. Di sinilah Hans Muller bertemu dengan Liao Chengzi, Epstein dan Bertrand, wartawan dari Selandia Baru, dan dia bergabung dengan tim transportasi dari persediaan medis yang diselenggarakan oleh Tentara Route Kedelapan Hong Kong dan "Liga Pertahanan Tiongkok".
Teman seperjalanan Epstein sekilas melihat Dr. Muller, merasa pemuda ini sangat baik dan berdedikasi, khusus membuat laporan kepada Soong Ching Ling tentang kedatangan mereka dan Muller bersama dengan 600 karton dan peralatan bedah mobil itu ke Yan'an.
Ketika itu KMT sedang menginkari Perpanjian Konter-Jepang Bersama yang dicapai oleh CPC dan KMT, dan mulai memblokade ekonomi di daerah basis Tentara Rute Kedelapan. Muller, sebagai seorang dokter muda mengikuti tim medis untuk mengawal 600 kotak persediaan medis sumbangan simpatisan luar negeri untuk perang Tiongkok dalam kontra-Jepang, serta sebuah mobil ambulans besar, dan meluncur menuju Yan'an. Â Pada bulan September 1939, akhirnya mereka sampai di Yan'an.
Tahun 1939 sebenarnya merupakan masa kritis, karena dengan tiba-tiba KMT berbalik dari hubungan KMT-CPC yang baik pada tahap awal perang melawan Jepang, menjadi buruk dan saling bermusuhan. Â Sehingga sejak tahun 1939, kemungkinan untuk mengakses wilayah perbatasan Shaanxi-Ganshu ketika Muller pergi ke sana hanya karena kebetulan pada saat jalur itu masih terbuka.
Tapi setelah Kampanye Seratus Resimen, Jepang mengubah kekuatan utama mereka di Tiongkok untuk melawan basis Kontra-Jepang CPC. Ternyata kehidupan di basis berada dalam posisi yang sangat sulit. Oleh karena itu selama periode tersebut, daerah perbatasan ini benar-benar kekurangan dokter dan obat-obatan.
Kisah Perjalanan Dr. Muller ke Yan'an
Pada bulan Oktober 1939, Hans Muller mengikuti tim medis India, termasuk dokter Dwarkanath Kotnis*, untuk menyeberangi Sungai Kuning dan sampai di Markas Besar Tentara Rute Kedelapan di daerah pedalaman Pegunungan Taihang.
Begitu tiba di markas besar, dia bertemu dengan komandan umum, Zhu De. Ketika dia mendengar komandan umum, Zhu De, berbicara bahasa Jerman untuk "Menyambut" dia, dia merasa sangat tercengang dan gembira juga.
Tiga hari kemudian, Muller menghadiri pertemuan peringatan Dokter Bethune. Muller berkomitmen di atas panggung bahwa dia akan mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk Perang Sino-Jepang seperti yang dilakukan Dr. Bethune.*
*(Dwarkanath Shantaram Kotnis (10 Oktober 1910 di India - 9 Desember 1942 di China), juga dikenal dengan nama Mandarin-nya Ke Dihua, adalah satu dari lima dokter India yang dikirim ke Tiongkok untuk memberikan bantuan medis selama 'Perang Sino-Jepang Kedua' pada tahun 1938. Dikenal karena dedikasinya dan ketekunannya, dia telah dianggap sebagai teladan untuk persahabatan dan kolaborasi Sino-India.
Bersama dengan Dr Norman Bethune Kanada, dia terus dipuja oleh orang-orang Tiongkok. Pada bulan April 2005, kedua makam mereka penuh ditutupi bunga yang disumbangkan oleh orang-orang Tiongkok selama Festival Qingming {Ceng Beng setiap 5 April}, sehari yang digunakan orang Tionghoa untuk memperingati nenek moyang mereka.)*
Ketika di Yan'an Ketua Mao bertemu dengannya, mereka membicarakan beberapa situasi saat itu, setelah itu Dr. Muller dirujuk ke Rumah Sakit Perdamaian Internasional (International Peace Hospital) sebagai ahli bedah. Tidak lama bekerja disitu, dia merasa seharusnya tidak berada di Yan'an International Peace Hospital, setahun kemudian dia memilih untuk pergi ke garis depan.
Segera, Muller ditunjuk sebagai pemimpin tim bedah mobile di klinik Tentara Rute Kedelapan, serta konsultan medis dari Divisi No.129. Sejak itu, Muller telah menjadi ahli bedah tentara dan bertempur dengan tentara Tiongkok dan warga sipil di Pegunungan Taihang.
Segera setelah itu, Muller merasakan kekerasan dan kesengsaraan perang. Suatu hari ketika Muller sedang melakukan sebuah operasi, tiba-tiba datang berita bahwa Jepang akan melakukan operasi sweeping militer, sudah berada dalam jarak 4 km dari mereka. Saat itu ada 200 pasien di rumah sakit dan 40 diantaranya luka parah, lebih dari 200 tentara diambang kematian, 40 pasien sangat serius. Ini bukanlah jumlah yang sedikit.
Nakamura menuturkan kemudian: Dokter Muller juga berada di sana, jadi dia terus bergerak naik turun dan akhirnya memindahkan empat puluh pasien serius ke pegunungan. Ketika pasien terakhir dipindahkan ke gunung, mereka melihat ke bawah dan mendapati asap mulai naik di desa tempat mereka tinggal. Yang berarti bahwa sweeping militer sudah dimulai.
Kebrutalan perang tidak memudarkan kemauan Hans Muller. Melihat tentara yang menumpahkan darah dan kehilangan nyawa mereka, dia merasa sedih dan sedih karena dia tidak dapat menyelamatkan lebih banyak pasien dan dia sangat mengagumi semangat pengorbanan prajurit tersebut.
Pasien yang disembuhkan itu berserakan/dititipkan ke rumah warga sipil untuk pemulihan, Â sementara jenazah para martir dikuburkan secara kolektif di dua blok tanah di desa tersebut yang bernama "Waluxia" dan "Mazhaunggou". Â Penduduk desa disana masih bisa mengingat dimana makam kolektif para matir pejuang di bukurkan.
"Biarkan saya bisa menyelematan satu orang lagi" menjadi pedoman Dr. Muller dan lebih membuatnya lebih bersikeras. Meskipun kekurangan dokter dan obat-obatan serta kondisi primitif, dia tidak pernah meletakkan pisau bedah di tangannya. Di bawah keadaan yang rumit, lebih banyak tentara kontra-Jepang bisa kembali lagi ke garis depan.
Zhang Zhongru, seorang jenderal tua kini berusia 98, telah berperang melawan penjajah Jepang di medan perang lebih dari 100 kali. Selama pertempuran pada bulan Maret 1943, sebuah peluru menembus dada Zhang Zhongru dan dia berada di ambang kematian. Di sebuah pondok yang jauh di dalam hutan, dalam terang beberapa obor dan lilin, sebuah operasi dimulai. Itu adalah Hans Muller yang melakukan operasi Zhang Zhongru.
Kepemimpinan yang mengkhawatirkan akan gizi tidak cukup, memberinya bubur dan telur. Tapi dia menampik dan megatakan bahwa dia baik-baik saja, berikanlah makanan itu kepada pasien yang lebih membutuhkan  agar bisa cepat sehat, dan dia terus bekerja.
Setelah kena demam tifoid, fisik Dr. Muller terus menurun, kesadaran kadang menurun dan kabur. Tapi begitu sadar kembali terus merawat luka para pasien tentara, akhirnya dia benar-benar tidak bisa bekerja dan koma. Para pemimpin rumah sakit dengan cepat menulis surat ke Yan'an pusat, surat bahwa Dr. Muller kesehatannya tidak baik, telah tidak sadar selama empat minggu.
Pada bulan Januari 1943, Hans Muller menerima pemberitahuan dari Komite Sentral CPC dan dia diminta untuk kembali ke Yan'an untuk istirahat penyembuhan. Dari Pegunungan Taihang ke Yan'an, mereka harus melewati garis blokade penyerbu Jepang. Muller mengikuti sebuah unit tentara kecil untuk menuju Yan'an.
Saat melintasi garis blokade tentara Jepang, tentara Tentara Rute Kedelapan berpakaian seperti warga sipil. Mereka memakai handuk bergaya provinsi Shaanxi, mengenakan celana polos dan mengikatkan kain hitam di pinggang sehingga mereka bisa melewati garis blokade. Mereka juga membantu Dr. Muller berdandan sebagai warga sipil. Namun, meski mengenakan pakaian biasa, hidungnya yang besar dan mancung dengan mudah bisa dikenali bahwa dia orang asing dan cukup sulit baginya untuk menyamarkannya. Oleh karena itu mereka harus menunggu kesempatan terbaik.
Tiga bulan kemudian, baru ada kesempatan bagi mereka untuk melewati garis blokade. Setelah sampai di Yan'an dengan selamat, Muller selalu terdiam sepanjang hari, namun ternyata saat mereka melewati garis blokade, satu set instrumen bedahnya yang dibawa oleh seorang prajurit hilang.
Nakamura menceritakan kemudian: Dia juga mengetahui jika dia yang membawa sendiri peralatan bedah yang dia beli dari Swiss itu sendiri itu akan lebih baik. Dia merasa sangat menyesal. Maka dia mengirim surat ke Palang Merah Swiss untuk meminta peralatan bedah.
Itu adalah satu-satunya perangkat alat bedah yang lengkap saat itu. Dengan peralatan bedah itu, dia telah menyelamatkan banyak nyawa tentara yang tak terhitung jumlahnya. Ketika peralatan ini hilang dia merasa sangat kesal dan sedih, dia berikrar pada dirinya sendiri untuk menyelamatkan lebih banyak pasien dengan keterbatasan sumber daya.
Suatu hari di tahun 1944, Muller menerima sebuah misi yang mendesak. Organisasi partai memintanya untuk memimpin tim medis untuk berangkat ke pasukan Yang Dezhi. Ternyata satuan pasukan pemberani ini menderita tipus setelah dipindahkan dari Shandong ke utara Shaanxi.
Situasi wabah---sebuah perintah! Memimpin sebuah tim medis, Muller tiba di markas garnisun malam itu juga, segera dia menyusun rencana aksi pencegahan. Mereka diperintahkan untuk menyiapkan panci besar dan minta setiap petugas dan tentara untuk melepaskan pakaian mereka dan memasukan pakaian mereka ke dalam air mendidih untuk disterilkan.
Sebagian besar tentara di unit tersebut berasal dari Provinsi Shandong. Satuan korp tempur yang gagah berani, mulanya mereka langsung marah dan kasar. Mereka terus mengeluh saat mendengar harus melepas pakaian dan memasukkan pakaian ke air mendidih. Seperti diketahui suhu sangat bervariasi antara siang dan malam di Shaanxi utara. Sulit untuk pakaian dan perlengkapan tidur (batal selimut) yang sudah direbus  untuk mengering dalam waktu singkat, oleh karena itu tentara tersebut mengeluh dan bahkan menolak mematuhi perintah tersebut.
Namun dengan tindakan Dr.Muller yang teliti dan sabar, wabah tipus dalam satuan pasukan segera bisa dikendalikan.
Jepang Menyerah Dan Ketemu Jodoh
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang mengumumkan menyerah tanpa syarat. Ketika berita itu tersiar, Hans Muller, seperti orang Tiongkok lainnya, melewatkan malam tanpa tidur di tengah sorak sorai gembira.
Setelah agresi Jepang, Muller mengajukan permohonan untuk pulang ke tanah airnya. Mengingat Muller mungkin merindukan keluarganya, organisasi Partai secara aktif mengatur agar Muller kembali untuk reuni dengan keluarganya.
Namun, kondisi transportasi sangat buruk sehingga Muller memutuskan untuk melepaskan kesempatan untuk kembali pulang dan tinggal di Tiongkok untuk terus berpartisipasi dalam perang pembebasan melawan KMT.
Yang membuat Muller merasa beruntung adalah keputusan tersebut memungkinkannya untuk menemukan cintanya dengan Kyoko Nakamura, seorang perawat Jepang.
Kyoko Nakarmura Gadis Jepang
Di sebuah rumah di dekat Jingshan, Beijing tinggal keluarga istimewa. Nyonya rumah adalah Kyoko Nakamura. Istri Hans Muller. Keduanya bertemu dan saling mengenal di Tiongkok dan menikah untuk membentuk keluarga. Madam Nakamura sering membalik-balik album dan melihat-lihat foto suaminya. Setiap foto membawa sebuah cerita tentang dokter Jerman yang menyembuhkan penyakit tersebut untuk menyelamatkan pasien di medan perang anti-Fasis Tiongkok yang tak terhitung jumlahnya.
Pada bulan Mei 1945, Kyoko Nakamura, yang dibesarkan di Fukuoka, Jepang, membaca pengumuman rekrutmen oleh Rumah Sakit "Jawatan Kereta Api Manchuria Selatan" untuk pendidikan sebagai perawat profesional. Nakamura berusia 15 tahun, datang ke sekolah perawat "Jawatan Kereta Api Manchuria Selatan" di Jinzhou, provinsi Liaoning, dan menjadi perawat praktis.
Ini merupakan pertama kalinya dia datang ke Tiongkok, melihat kostum lokal dan bahasa serta "rokok Guandong" (khas rokok tembakau lokal) dari orang-orang timur laut Tiongkok  memberi Kyoto Nakamura cukup banyak hal baru.
Namun, ketika Nakamura yang penuh dengan keingin-tahuan tentang Tiongkok yang aneh baginya, Kaisar Jepang mengumumkan penyerahan tanpa syarat, dan sekolah perawat dimana Nakamura tinggal juga diambil alih oleh pasukan Tiongkok.
Ketika dia panik dalam menemukan tempat penampuangan sementara, dia melamar menjadi perawat di kamp revolusi.
Kyoko Nakamura menceritakan: Seorang penanggung jawab Tentara Rute Kedelapan bahwa mereka sangat kekurangan tenaga medis. Jadi berharap dia bisa memberikan bantuan. Maka saya kemudian bergabung dengan pasukan mereka.
Karena keahliannya sebagai perawat, Kyoko Nakamura ditugaskan ke tim bedah di garis depan. Pada hari pertama kedatangannya, seorang asing dengan hidung mancung menjadi menarik perhatiannya.
Nakamura menuturkan: Anggota tim bedah dipilih dari berbagai rumah sakit. Jadi saya pergi kesana untuk registrasi. Saya mengetuk pintu dan kemudian masuk ke dalam, saya menjadi terkejut melihat seorang dokter Eropa sedang duduk di sana.
Kerjasama yang menyenangkan dalam bekerja membuat kedua orang muda-mudi ini semakin dekat. Karena keduanya adalah orang asing, kontak antara Hans Muller dan Kyoko Nakamura juga semakin sering terjadi.
Suatu hari di tahun 1947, kedua pemuda tersebut sedang mengobrol di bawah pohon besar di luar desa. Nakamura masih ingat pada hari itu ketika sinar matahari bersinar melalui dedaunan dan Dr. Muller sedang duduk di atas akar pohon dengan tulus dan jujur. Dia bertanya dengan rasa malu, "Apakah Anda bersedia tinggal bersamaku?"
Nakamura  kemudian menuturkan: Pada usia 17 tahun, itu hal yang tidak mungkin, jadi ketika dia membuat proposal seperti itu, saya bilang saya minta maaf karena saya masih belia dan saya juga bermaksud untuk kembali ke tanah air saya Jepang, jadi lebih baik tidak membicarakannya masalah ini dan juga tidak berguna untuk mengemukakannya.
Dengan kemenangan berturut-turut dalam perang pembebasan, Hans Muller dan Kyoko Nakamura masing-masing kembali ke unit masing-masing dan mereka telah kehilangan kontak sejak saat itu.
Pada musim dingin tahun 1948, Nakamura dipindahkan untuk bekerja di Tianjin dengan perintah mobilisasi. Begitu dia turun dari kereta, Nakamura menemukan sosok yang sudah dikenal di antara orang-orang yang datang menemuinya di stasiun---Hans Muller.
Takdir Dan Jodoh Hans Muller dan Kyoko Nakamura berkumpul lagi.
Nakamura menuturkan: Kemudian, Dr. Muller memang sangat aktif. Dia datang menemuiku begitu dia menyelesaikan pekerjaannya. Dia mendatangi saya dan mengajak untuk berjalan-jalan atau melihat-lihat atau menonton film bagus yang sedang tayang. Lalu kami pergi menikmati film bersama. Dia memang sangat aktif.
Pada bulan Juli 1949, sebuah upacara pernikahan sederhana memicu keingintahuan semua orang. Pasangan mempelai dalam upacara pernikahan keduanya adalah orang asing--Hans Muller dan Kyoko Nakamura. Teman-teman seperjuangan berkomentar dengan bercanda bahwa seorang dokter Jerman dan perawat Jepang jatuh cinta satu sama lain di tanah Tiongkok.
Hans Muller tidak bisa berbicara Jepang dan Kyoko Nakamura tidak bisa berhabahasa Jerman, jadi bahasa mandarin menjadi satu-satunya dalam komunikasi mereka dalam pertukaran emosional. Percintaan mereka berjalan tulus.... hingga akhir hayatnya.
Hans Muller menjadi warga negara Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1951 dan bergabung dengan CPC pada tahun 1957 dan karenanya menjadi anggota CPC. Hans Muller bekerja sebagai Dekan Associate dari Beijing Medical College dan Wakil Presiden Beijing Medical University. Dan seterusnya.
Meskipun Hans Muller tidak seperti Bethune yang sangat merakyat, Tapi dia yang mengenalkan 'Reagent' tes Hepatitis B dan vaksin sehingga Tiongkok berhasil mengembangkan vaksin Hepatitis B.
Sumbangan khusus dari Dr. Muller di Tiongkok adalah bahwa dia membantu Tiongkok mengembangkan vaksin Hepatitis B. Setelah tahun 1960an, banyak orang Tiongkok menderita Hepatitis B. Jadi selama waktu itu, perlu dikembangkan vaksin Hepatitis B. Ketika itu Tiongkok masih dalam keadaan terisolasi, jadi tidak mudah untuk mengembangkan vaksin Hepatitis B.
Kyoko Nakamura menceritakan: Kemudian, Dr. Muller berkata, "Bagaimana dengan memberikan saya suntikan?" Dan dr. Tao Qimin berkata dengan mengejutkan, "Memberikan suntikan pada Anda?" Dia berkata: "Anda tahu saya sudah berusia 60 tahun." Dr. Muller mengatakan bahwa dia berusia 60 tahun dan dia sudah jadi orang tua. "Saya telah bekerja di Tiongkok selama puluhan tahun dan orang-orang Tiongkok sangat mencintai saya." Dia mengatakan bahwa orang-orang Tiongkok sangat mencintainya, jadi beri dia kesempatan untuk memberikan kontribusi kecil bagi orang-orang Tiongkok.
Di bawah kepemimpinan Hans Muller dan Tao Qimin dan dengan akumulasi ketekunan lebih dari 10 tahun. Rumah Sakit Affiliated People's di Beijing Medical College menempati peringkat teratas di antara rekan-rekannya di Tiongkok dalam studi penyakit hati.
Pada 1974, Hans Muller yang saat itu berusia 50 tahun, kembali ke Dusseldorf, Jerman, kampung halamannya yang telah lama ditinggalkan. Namun, semua sudah berbeda sama sekali.
Orang tuanya, yang telah menunggu anak mereka kembali selama puluhan tahun, telah meninggal dunia semua, bahkan makam ibunya tidak dapat ditemukan. Pengembara ini yang telah mengalami kesulitan hidup hanya bisa menyajikan sekumpulan bunga di depan makam ayahnya yang masih bisa dikenali untuk menunjukkan kehilangannya selama ini dan menghargai kenangannya.
Sedang rumah Muller di Jerman sudah hilang tidak ada bekasnya. Namun dia masih mempunyai keluarga di Tiongkok. Hans Muller tinggal di sebuah sebuah tempat tinggal di Beijing selama 45 tahun sampai dia meninggal pada tahun 1994.
Nakamura menuturkan: Dia pernah suatu kali berkata kepada saya " Jika saya sudah tidak lagi hidup, kamu sebaiknya tetap tinggal di Tiongkok, kita berdua bertemu dalam Korp Tentara Rute Kedelapan satu sama lain, dan pendidikan yang kamu dapatkan juga dari CPC, jadi sebaiknya kamu tidak meninggalkan Tiongkok."
Keluarga Dr. Hans Muller dan Kyoko Muller Nakamura dijuluki "Keluarga PBB mini" memiliki cita rasa internasional. Memang kini keluarga ini terdiri dari enam kebangsaan yang berbeda. Hans Muller, suami Kyoko, berasal dari Jerman; Mimi Muller, putri Kyoko, adalah orang Tionghoa-Swiss; Dehua Muller, putra Kyoko, seorang Tionghoa-Amerika; dan Angelia, cucu Kyoko adalah orang Inggris ....
Anak-anak mengikuti tradisi yang disetkan oleh orang tua mereka. "Itu yang telah kami putuskan sejak hari pertama pernikahan kami," kata Kyoko Muller Nakamura sambil tersenyum. "Ketika kami tiba di Tiongkok, dia tidak berbicara bahasa Jepang dan saya tidak berbicara bahasa Jerman, jadi kami berdua memutuskan untuk belajar bahasa mandarin," kata Kyoko Muller Nakamura. "Tiongkok adalah jembatan antara kita dan juga di antara anak-anak kita."
Pada bulan September 1950, Mimi, putri pertama mereka, lahir di Changchun, Provinsi Jilin. Tiga tahun kemudian, giliran anak mereka, Dehua, di Shenyang, Provinsi Liaoning.
Bagi anak-anak mereka, mereka adalah orang tua yang sangat dihormati.
Mereka mengajar anak-anak mereka sebagai orang Tionghoa dan bahkan setelah bertahun-tahun ketika Mimi kembali dari Swiss, dia tidak dapat berbicara dengan bahasa lain dengan ayahnya, kecuali bahasa Mandarin. Â "Entah kenapa," kata Mimi. "Setiap saat ketika saya melihat ayah saya, saya akan selalu berbicara bahasa Mandarin kepadanya, walaupun saya tahu bahasa Jerman ayah dan saya lebih baik daripada bahasa Mandarin-nya."
Mereka merasa pilihan hidup mereka sangat benar.
Mimi menikahi seorang Swiss ahli dalam bahasa Jerman dan Dehua menikahi Gan Xiaoduo, seorang gadis cantik Shanghai. Â "Semuanya mencintai Tiongkok dan mengajari anak-anak mereka cara Tionghoa, meski mereka tinggal di luar negeri," kata Kyoko.
Mimi tinggal di Swiss dan Dehua sering terbang antara Amerika Serikat dan Hong Kong.
"Muller dan aku menganggap anak-anak kami sebagai kebanggaan utama kami," kata Kyoko. "Julia telah menjadi 'pakar Tiongkok' di keluarga kami."
Julia, putri Mimi, yang lahir di Swiss, datang ke Tiongkok untuk pertama kalinya saat ia berusia enam bulan. "Bisakah Anda percaya Julia terbang ke Tiongkok sendirian saat usianya baru lima tahun?" Kata Kyoko. Sejak saat itu, Julia telah jatuh cinta dengan Tiongkok dan dia menghabiskan seluruh liburan musim panasnya di Beijing.
Ketika Julia berusia 10 tahun, pidatonya tentang budaya Tiongkok sangat mengesankan semua guru dan teman sekelasnya di Swiss. "Dia memberitahuku di telepon," kata Kyoko. "Saya bisa membayangkan betapa suksesnya dia dalam kontes pidato itu hanya dengan nada suaranya yang menarik."
Suara Kyoko juga menjadi lebih bergairah saat mengingat kejadian tersebut, namun saat dia diminta untuk membicarakan keluarganya di Jepang, Kyoko terdiam. "Baik Muller dan saya sangat merindukan tanah air kami. Pada tahun 1947, beberapa orang Jepang dikirim kembali ke Jepang tapi saat itu saya berada di garis depan."
"Selama perang, saya tidak mendapat sepatah kata pun dari Jepang sampai tahun 1950," kata Kyoko, sambil menangis. "Mereka mengira saya sudah meninggal dan mereka tidak percaya memang benar bahwa saya masih hidup saat menerima surat-surat saya."
"Saya mengirimi mereka foto saya dan mengatakan kepada mereka bahwa saya sudah menikah dan memiliki satu anak perempuan," katanya.
Kyoko membuka sebuah album foto dan menunjuk pada satu gambar, "Ini adalah orang tertua saya, inilah saat mereka merayakan ulang tahun pertama Mimi di Jepang, sangat baik."
Sampai tahun 1972, setelah Tiongkok dan Jepang membuka hubungan diplomatik, Kyoko berkesempatan untuk kembali ke Jepang bersama keluarganya.
"Pada tahun 1953 dan 1958, beberapa orang Jepang dikirim kembali oleh Palang Merah tapi saya memiliki keluarga sendiri di sini, jadi saya memutuskan untuk tetap tinggal."
"Dibandingkan dengan Muller, saya masih lebih beruntung," katanya. Ketika Muller berada di garis depan Tiongkok, ayahnya berada di sebuah kamp konsentrasi. "Pada musim semi tahun 1974, kami pergi ke Jerman dan menemukan makam ayahnya," kata Kyoko. "Sepupunya mengatakan kepadanya bahwa ayahnya telah meninggal di rumahnya."
Muller meninggal dua tahun lalu. Sekarang hanya Kyoko sendiri yang tinggal di rumah mereka di Beijing. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca dan mengunjungi teman lama mereka. "Mimi dan Dehua berharap saya akan pindah untuk tinggal bersama mereka, tapi saya tahu hidup saya ada di Tiongkok," kata Kyoko. "Saya percaya Mueller setuju dengan saya." Cerita diatas ini diceritakan oleh Kyoko Muller Nakamura pada tahun September 1998.
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar Negeri
CCTV China
1Â
3Â
4Â
5Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H