Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Money featured Pilihan

Apa yang Kurang Kita Perhatikan tentang Brexit?

14 April 2017   09:42 Diperbarui: 27 Mei 2019   09:18 9035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: brexitcentral.com

Brexit adalah singkatan dari “British exit,” yang mengacu pada keputusan referendum Inggris pada 23 Juni 2016 untuk meninggalkan Uni Eropa (EU). Hasil referendum ini mengejutkan lembaga survei dan mengguncangkan pasar global, yang menyebabkan mata uang Inggris pound sterling (GBP) jatuh pada level terendah terhadap USD dalam 30 tahun.

PM David Cameron pada saat itu yang menyerukan Inggris untuk tetap di Uni Eropa sebelumnya, pada 13 Juli 2016, mengundurkan diri dan digantikan oleh pemimpin Partai Konservatif Theresa May, yang sebelumnya sebagai Mendagri, kemudian menggantikannya sebagai PM Inggris.

Proses untuk keluar dari Uni Eropa secara resmi mulai pada 29 Maret 2017, dan ketika itu Theresa May mulai memproses Brexit dengan menerapkan Pasal 50 Uni Eropa (Article 50 EU) dari Perjanjian Lisbon. Yang berati Inggris memiliki dua tahun untuk menegosiasikan hubungan baru dengan Uni Eropa sejak tanggal tersebut.

Pertanyaannya telah berputar-putar disekitar proses, sebagian karena konstitusi Inggris tidak tertulis dan sebagian karena tidak ada negara-negara yang meninggalkan Uni Eropa dengan meggunakan Pasal 50 sebelumnya (Aljazair meninggalkan pendahulunya Uni Eropa melalui kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1962, dan Greenland-yang menjadi salah satu teritori Denmark memisahkan diri melalui perjanjian khusus pada tahun 1985).

Pada 3 Nopember 2016, Makhamah Agung Inggris memutuskan bahwa pemerintah tidak memiliki wewenang untuk menerapkan Pasal 50 dibawah hak preogatif Kerajaan, tetapi membutuhkan persetujuan Parlemen untuk melakukan itu ( juga memutuskan bahwa majelis memutuskan Skotlandia, Irlandia Utara dan Wales tidak bisa memveto Brexit).

Pemerintah Inggris mengajukan RUU kepada House of Commons, yang disahkan oleh 498 suara lawan 114 suara pada 1 Pebruari. Pada 1 Maret House of Lords menambahkan amandeman mejamin hak 3,2 juta warga negara Uni Eropa yang tinggal di Inggris untuk tetap tinggal di negara itu. Minggu berikut ditambah amandemen lain yang mewajibkan persetujuan dari kedua majelis parlemen untuk melakukan kesepakatan akhir dengan Uni Eropa. May telah berjanji bahwa Parlemen akan memutuskan kata akhir pada kesepakatan itu, tetapi tidak termasuk ketentuan tersebut yang ada di RUU tersebut.

RUU tiba di House of Commons pada 13 Maret, dimana kedua amandemen dari Lord dikalahkan/ditolak. Kemudian dikembalikan ke majelis tinggi, dimana Lords meloloskan hari berikutnya tanpa ada amandemen. RUU mendapat persetujuan dari kerajaan dan menjadi UU pada 16 Maret, kemudian duta besar Inggris untuk Uni Eropa menyampaikan notifikasi niat Inggris untuk meninggalkan grup Uni Eropa pada 29 Maret.

Inggris telah menyampaikan surat ke Uni Eropa secara resmi dan itu menandakan progress Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa. Hal itu sepertinya gerakan globalisasi telah terhantam gelombang besar dalam perjalanannya. Proses integrasi Eropa, yang sedianya menciptakan muzijat poltik masa kini, telah mengalami kemunduran yang paling parah yang pernah dialami.

Taipan keuangan terkenal George Soros pernah mengatakan tentang teori “Omelet” (telor dadar) , dia mempertanyakan kepada orang-orang yang meramalkan tentang perubahan Eropa, dengan mengatakan: “Bisakah telor dadar dimasak kembali menjadi telor?”

Tapi selama transisi 3 sampai 4 bulan ini, “telor dadar tampaknya telah benar-benar akan kembali menjadi telor.”

Orang tidak bisa membantu tapi bertanya: “Bagaimana dengan Inggris, yang sudah berintegrasi harmonis dengan Uni Eropa selama 44 tahun dalam bidang-bidang mulai dari perdagangan hingga hukum dan masalah keamanan terus akan keluar dari Uni Eropa? Apakah perpisahan ini akan menjadi “batu loncatan menjadi runtuhnya” proses integrasi Eropa?

Theresa May PM Inggris menyatakan: “Hari ini, pemerintah bertindak atas kehendak demokrasi rakyat Inggris. Inggris meninggalkan Uni Eropa."

Presiden Donald Tusk mengatakan dengan nada tidak senang dan ketus: “Tidak ada alasan untuk ber-pura-pura mengatakan bahwa ini adalah hari bahagia, tidak di Brussel dan juga tidak di London. Apa lagi yang bisa saya tambahkan untuk ini? Terima kasih dan selamat tinggal.”

Seperti yang telah disebutkan diatas, 29 Maret 2017, PM Inggris Theresa May menulis surat ke Uni Eropa mengumumkan bahwa Inggris mengacu pada Pasal 50 dari “Pernjanjian Lisbon” dan secara resmi memulai proses untuk menarik diri dari Uni Eropa.

Sejak hasil referendum pada bulan Juni 2016 yang hasilnya mengejutkan, Inggris memutuskan untuk meninggalkan Uni Eropa, ini menjadi tanda langkah pertama “perpisahan” Inggris dan Uni Eropa. Dan ini dapat diibaratkan dengan “kasus perceraian.”

Namun, bagaimana untuk “kasus perceraian” ini yang sudah menjadi sensasi selama setahun ini untuk benar-benar akan ditindak-lanjuti? “The  Guardian” memberi pernyataan sebagai berikut:

Pertama dan yang terpenting: Itu masalah uang.

Jean Claude , Ketua Uni Eropa mengatakan: Hal  selanjutnya untuk agenda Pasal 50 adalah tagihan. Uni Eropa menuntut Inggris untuk membayar hingga 60 milyar Euro untuk menutupi anggaran saat ini dan kewajiban bagi pensiunan di masa depan. Inggris harus menghormati janji-janji yang telah mereka buat dan yang telah terpakai. Tagihan secara kasar akan sangat besar.

Menurut perkiraan internal Uni Eropa, Inggris harus membayar 60 milyar euro untuk meninggalkan Uni Eropa, dan ini termasuk saham Inggris yang sudah dijanjikan dalam anggaran PBB. Tapi Parlemen Inggris House of Lords mengeluarkan laporan yang percaya bahwa Inggris tidak memiliki kewajiban untuk membayar “tagihan Perceraian” ini.

Boris Johnson, Menlu Inggris  mengatakan: Akibat dari Brexit, kita akan dapat mengambil kembali uang yang saat ini kita berikan ke Brussel.

Tampaknya kita semua harus menunggu sampai negosiasi terjadi untuk melihat seberapa besar tagihan untuk perceraian ini akan terjadi.

Isu Kedua, salah satunya adalah masalah manusia.

Setelah Inggris menarik diri dari Uni Eropa, bagaimana menangani permasalahannya dengan warga Uni Eropa yang tinggal di Inggris dan satu juta warga Inggris yang tinggal di Uni Eropa? Tidak diragukan lagi, hal ini akan menjadi titik fokus lain dalam negosiasi untuk menarik diri dari Uni Eropa.

Setelah “berpisah” bagaimana kedua belah pihak akan menangani hubungan mereka kelak?

Inggris telah bergabung dengan Uni Eropa bertahun-tahun, dalam banyak aspek, mereka sudah terintegrasi ke dalam proses integrasi Eropa. Kini coba untuk memisahkan secara total, itu benar-benar suatu proses yang sangat sulit..

Sebagai contoh, bagi kedua belah pihak untuk masalah investasi pendidikan dan kesepakatan budaya, Inggris mungkin telah menerima dana dari Uni Eropa, atau Inggris mungkin juga telah bergabung dalam proyek-proyek bersama dengan Uni Eropa, dan poryek-proyek ini merupakan proyek jangka panjang, lalu bagaimana merencanakan ini? Apakah mereka akan terus berinvestasi untuk proyek ini?  Ini juga termasuk bagaimana mereka melanjutkan kerjasama untuk proyek-proyek ini dan bagaimana mereka akan membagi-bagi keuntungan. Ini adalah masalah yang sangat sulit.

Dua hari setelah Inggris menyampaikan surat penarikan diri dari Uni Eropa, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk mengambil sikap yang jelas: Uni Eropa bisa melakukan negosiasi dalam dua tahap: tahap pertama  bertujuan akan menyelesaikan pasal-pasal dari hak dan kewajiban Inggris yang diakibatkan oleh penarikan diri dari Uni Eropa, dan yang kedua secara komprehensif akan mengkonfirmasi hubungan masa depan antara Uni Eropa dan Inggris.

Namun, Inggris tidak mengakui hal ini dan mengavokasi bahwa negosiasi mengenai penarikan dari Uni Eropa dan negosiasi perjanjian perdagangan masa depan harus dilakukan bersamaan. Sangat mudah dilihat bahwa  ini akan menjadi satu aspek lagi yang sulit dalam negosiasi untuk Inggris meninggalkan Uni Eropa.

Pada 31 Maret lalu, Tusk merilis pedoman untuk Inggris yang menarik diri dari Uni Eropa. Menurut hukum Uni Eropa, setelah recana ini (yang oleh media secara bercanda disebut) “Pedoman Brexit” dirilis. Inggris diperlukan untuk menyelesaikan negosiasi dengan 27 anggota Uni Eropa lainnya dalam waktu dua tahun.

Tetapi opini publik percaya bahwa batas waktu dua tahun ini tidak realistik.

Analis percaya bahwa proses ini seperti sebuah perceraian. Walaupun telah masuk dalam fase perceraian, tetapi pada akhirnya perceraian belum final karena pengadilan belum memutuskannya, yang dikarenakan kedua belah pihak belum mencapai kesepakatan---jadi perlu ada proses.

Berdasarkan hubungan saat ini, antara Inggris dan Uni Eropa, persoalannya akan sangat sulit untuk benar-benar menuntaskan masalah ini dalam dua tahun. Para analis memperkirakan dalam dua tahun ini paling bisa dicapai beberpa prinsip. Tapi jika untuk benar-benar menuntaskan “perceraian” ini, sampai kedua pihak memperoleh semua aset mereka untuk dibagi dan mendapatkan “gono-gini” (alimentasi) itu akan memerlu beberapa tahun.

Menurut data analistis dari Dewan Eropa menunjukkan perosalan ini akan menyangkut 21.000 hukum Uni Eropa, jika diberi waktu dua tahun untuk melakukan negosiasi, jumlah waktu yang diberikan kepada Inggris sesungguhnya hanya 18 bulan, yang berarti mereka harus bernegosiasi 50 UU per hari!

Menurut Martin Wolf, edior dari “Fianancial Times” Inggris, memperkirakan Brexit akan memerlukan setidaknya lima sampai tujuh tahun prosesnya.

Tampaknya Inggris menarik diri dari Uni Eropa sudah dipastikan nasibnya akan menjadi “kasus perceraian.” Dan semua pihak pada tahun lalu, setelah setahun Inggris memutuskan meninggalkan Uni Eropa, semua memprediksi ini akan menjadi “perceraian lose-lose” (semua merugi).

Tidak hanya Uni Eropa yang kehilangan anggota yang kuat, juga akan mengalami resiko lebih meragukan dan rapuh karena ditinggalkan oleh anggota utama.

“Financial Times” bahkan memprediksi lebih gamblang lagi, setelah “putus” dengan Uni Eropa, Inggris akan menjadi lebih miskin, lebih rapuh, dan pengaruhnya menyusut. Dan semua ini adalah biaya dari Brexit.

Apa yang menjadi alasan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa dengan berapapun biayanya?

Padahal sejak tahun lalu referendum Brexit pada bulan Juni, Inggris sudah mulai membayar biaya “perceraian” itu.

Selama setahun, mata uang Inggris GPB (Great Britain Pound) terus terdepresiasi dan turun 17% dari USD, sementara harga komoditas impor telah meningkat, menyebabkan peningkatan secara keseluruhan atas harga barang.

Ambil contoh untuk minum kopi, yang menjadi pola kehidupan Orang Inggris, harga satu cangkir kopi Nestle yang normal naik 14% dalam rentang enam bulan. Bahkan harga air minum kemasan telah meningkat sebesar 25%, yang menjadi kejutan antara banyak barang lainnya.

Sudah sejak lama bagi Inggris untuk tidak mengalami inflasi hingga dua digit.

Namun, sejak awal sebelum Inggris menyerukan secara resmi untuk menarik diri dari Uni Eropa, terbitan media di Cornwall di Inggris selatan, ini menggambarkan aspek lain dari biaya Brexit.

Menurut perhitungan Uni Eropa, Cornwall telah terdaftar sebagai salah satu daerah tertinggal di Eropa, dan menerima bantuan kemiskinan dan dana pembangunan dari Uni Eropa setiap tahun.

Namun, sejak referendum Brexit tahun lalu, dikerenakan prospeknya suram karena hubugan antara Inggris-Uni Eropa, membuat ekonomi lokal telah terpukul keras.

Menurut penuturan penduduk pengangguran setempat yang mendapat bantuan kemiskinan mengatakan, “Padahal sebelumnya, biaya bulanan  hidup umum kita membayar sekitar 300 atau 400 pound, sekarang kita harus membayar sekitar 500-550 pound, sehingga diketahui kami tidak bekerja, kami mendapat manfaat. Jadi kenaikan biaya hidup ini melebihi dari kekuatan dari apa yang bisa seseorang yang mungkin bisa kerjakan. Jadi kita merasakan dari dampak tersebut.”

Tapi yang sulit untuk bisa dipahami bahwa selama referendum tahun lalu, mayoritas warga memilih untuk meninggalkan Uni Eropa, bahkan setelah setahun sudah berlalu tapi pilihan rakyat masih belum berubah. Mereka masih merasa Inggris adalah negara hebat, tertutama bagi generasi yang lebih tua, mereka menganggap bagi Inggris tidak harus bergabung dengan Uni Eropa, alasan “invasi imigran” juga menjadi alasan mereka memilih Brexit. Meskipun bisnis mereka megalami kerugian.

Euroskeptisme (Eurosceptism) Inggris memang benar-benar telah lama ada dibenak pikiran orang-orang Inggris. Mereka berpikir “kami tidak pernah menjadi bagian dari daratan Eropa, kami adalah pulau dan juga negara serta bangsa, kami harus dihapus dari Uni Eropa.” 

Jika kita ke Eropa dan pergi ke setiap negara anggota Uni Eropa, kita dapat melihat bendera Uni Eropa di semua instansi pemerintah. Tetapi hanya di Inggris yang di seluruh negerinya yang kita lihat hanya bendera Inggris saja, tidak ada itu bendera Uni Eopa yang terlihat.

Ini sebenarnya adalah kebiasaan sejarah. Inggris memiliki sejarah khusus. Meskipun sebuah pulau tapi negara bangsa, juga merupakan kekuatan global. Pernah menjadi kerajaan yang “benderanya tidak pernah mengalami mata hari terbenam,” sehingga selalu percaya bahwa Inggris adalah setara dengan daratan Eropa.

Satu kenyataan Selat Inggris bukan satu-satunya yang membuat Inggris dan daratan dan Eropa secara mental terpisah. Lebih dari 300 tahun yang lalu, setelah Inggris mengalami “Revolusi Gloria (Glorious Revolution)” Inggris dengan cepat dari sebuah pulau dan negera yang kecil dengan cepat berubah menjadi sebuah negara adidaya pertama dalam sejarah manusia.

Selama lebih dari 200 tahun Inggris telah memerintah dunia, luas lahan dan populasi kekaisaran dimana matahari tidak pernah terbenam adalah 137 kali dari wilayah teritorialnya sendiri, dengan populasi 8 kali dari populasi negaranya sendiri.

Hal ini tidak mengherankan bahwa pada tahun 1950, ketika AS meminta negara-negara Eropa Barat untuk memulai berintegrasi, maka Menlu Inggris pada waktu itu Ernest Bevin dengan marah mengatakan: “Inggris bukan bagian dari Eropa. Dia bukan negara seperti Luxemburg.”

Sikap imperalis semacam ini yang dibawa Inggris, sehingga menyebabkan sejak awal yang secara resmi integrasi Eropa dilakukan setelah P.D. II, tetapi Inggris tetap terpisah untuk beberapa waktu lamanya.

Mereka tidak mau bergabung dengan Uni Eropa hingga tahun 1973. Namun, itupun setelah lebih dari 40 tahun berikutnya, Inggris tampaknya selalu acuh tak acuh dalam mengambil bagian dalam proses integrasi Eropa. Seperti apa yang oleh mantan PM Finlandia—Alexander Stubb pernah katakan: “Inggris selalu  seperti pengatin baru yang tidak sudih” (terpaksa kawin).

Banyak pengamat yang mempertanyakan, apakah sifat utama dari Inggris? Pragmatisme atau system lainnya, ini hanyalah dianggap sebagai alat bagi Inggris—yaitu alat untuk memperbesar hak dan kepentingannya sendiri.

Inggris tidak mengikuti cita-cita dari Uni Eropa. Negera-negara di daratan Eropa mereka memiliki cita-cita berintegrasi, mereka ingin menciptakan komunitas yang diharapkan tumbuh ke arah unifkasi, atau mewujudkan logika untuk menyelesaikan perang ribuan tahun dengan perdamaian. Mereka memiliki cita-cita nyata ke arah sana. Hal-hal idealis ini yang mendorong proses integerasi Eropa ke depan. Sering dikatakan integrasi Eropa merupakan proses politik. Kondisinya memang banyak kekurangan, tetapi lebih didorong melalui kompromi politik atau niat politik untuk mempromosikan ini.

Bagi Inggris tidak pernah mau mengakui apa yang dicita-citakan negara-negara lain ini, tidak pernah melihat integrasi Eropa sebagai suatu cita-citanya.

Tanpa ada cita-cita yang sama, pemikiran siap “untuk sama-sama menanggung kesulitan jika itu terjadi” tidak ada,  maka wajar jika Uni Eropa hanya dianggap sebagai tumpangan selama itu menguntungkan dirinya, tapi begitu menghadapi resiko akan buru-buru meninggalkannya.

Seperti kita ketahui, untuk bergabung dengan Uni Eropa, Uni Eropa mempunyai empat prinsip utama, yaitu dana, teknologi, perdagangan dan pergerakan orang yang bebas. Bagi Inggris akan menerima  empat prinsip utama ini sejauh untuk kepentingan mereka.

Dengan adanya perdagangan lebih dari anggota Uni Eropa lainnya, maka akan banyak proyek masuk untuk berinvesasi, selanjutnya akan lebih banyak lalu lintas orang yang bisa mengatasi isu aliran tenaga kerja. Tapi saat ini, anggota-anggota negara Uni Eropa ekonominya sedang mengalami kontraksi, sedang ekonomi Inggris sedang membaik, jadi itu dianggap satu kesalahan dalam penilaian mengenai kepentingan-kepentingannya,

Sebenarnya di Inggris pada tahun 1973 saat terjadi krisis minyak mengguncang ekonomi Eropa, maka timbul gagasan untuk meninggalkan Uni Eropa pertama muncul. Tapi pada referendum tahun 1975 hasilnya mayoritas menghendak tetap bergabung dengan Uni Eropa. Namun pembicaraan untuk meninggalkan Uni Eropa tetap masih hangat dan santer di Inggris.

Sumber: GrrrGraphics on WordPress
Sumber: GrrrGraphics on WordPress
Ada beberapa kartun yang menggambarkan hal-hal seperti itu. Perahu pengmudi Uni Eropa rusak, dan para pemimpin Uni Eropa berusaha untuk memikirkan untuk memperbaiki dan mengatasi kesulitan saat itu di atas kapal. Sedang Inggris mengeluarkan perahu penyelamat yang terbaik kabur melarikan diri.

Sampai batas tertentu ini mungkin berlebihan, tetapi realitasnya dapat dijelaskan dengan beberapa alasan yang mendorong orang-orang Inggris untuk membuat keputusan Brexit keitka mereka sedang mendiskusikan apakah akan meninggalkan Uni Eropa atau tidak.

Dalam hal ini, banyak pengamat yang berpikir bahwa pertama-tama orang Inggris memiliki rasa mental yang sangat kuat untuk mempertahankan diri, mereka tidak mau terseret ikut tenggelam.

Tapi apa yang penting diketahui, Inggris selalu menjadi “manja” sebagai salah satu anggota Uni Eropa, bukan anggota inti tetapi selalu menjadi anggota yang sangat penting. Secara ekonomi adalah luar biasa seperti Jerman. Militer sekuat seperti Prancis. Dan Politik adalah salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan sekutu dari hegemon global AS.

Dan hal ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, meskipun Inggris oleh media telah dikatakan memiliki “dua pikiran (doubel standar),” tapi masih memperoleh banyak konsesi dari Uni Eropa dan menikmati banyak “hak istimewa.”

Misalnya, Inggris masih tetap mengunakan mata uangnya GBP, dan tidak menggunakan mata uang standar euro. Terus mempertahankan perbatasannya dan tidak mau terlibat dengan Visa Schengen. Pada kenyataanya, hubungannya dengan Uni Eropa secara historis terus menjaga jarak.

Bahkan berkaitan dengan kerjasama politik dan hukum, Inggris selalu mejaga sistem intelijennya sendiri dan relatif independen.

Sedang untuk persoalan kerjasama keamanan, untuk mendirikan militer Eropa seperti yang diusulkan Prancis dan Jerman, hal itu tetap tidak tertarik bagi Inggris.  Untuk persoalan keterlibatannya dalam integrasi, semestinya Inggris adalah anggota yang raltif lebih tua, tapi yang paling tidak terintegrasi. Sehingga dengan mudahnya menarik diri dari Uni Eropa.

Namun, bagaimana Inggris akan menghadapi tantangan masa depannya sendiri, setelah kehilangan banyak kemudahan berintegrasi dengan Eropa?

Analis memperkirakan, Inggris pasti akan menderita kerugian. Pertama-tama pasar akan mengalami kepanikan karena ketidak-pastian, dan ini bisa terlihat dari fluktuasi nilai GBP.  Akan ada fluktuasi pasar saham dan nilai tukar, dan ini akan tercermin dalam fluktuasi di pasar komoditas.

Dan semua ini akan mempengaruhi ekonomi Inggris. Satu hal lagi, Inggris dan Uni Eropa harus membahas begitu banyak masalah untuk hubungan mereka, hubungan ini jelas tidak bisa kembali lagi seperti hubungan mereka ketika mereka masih sebagai seksama anggota Uni Eropa.

Mereka secara jangka pendek sedikit banyak akan terpengaruh semacam ketakutan. Jika ditemukan standar yang ada di negara-negara Uni Eropa, maka akan cendrung meninggalkannya kepada Uni Eropa. Dan ini akan menjadi doubel standar. Satu standar kekuatan ekonomi. Jika PDB suatu negara melebihi presentase tertentu, maka ia harus membuat konstribusi. 

Tetapi jika PDB berada dibawah persentase tertentu, itu bisa mendapatkan subsidi. Jelas yang sekarang mendapatkan subsidi adalah negara-negara yang tidak akan meninggalkan Uni Eropa, tapi ada standar lain yang merupakan standar politik dan keamanan. Berdasarkan standar ekonomi yang telah disebut diatas. Negara-negara Eropa Utara dan Barat yang kaya pada dasarnya semua diatas standar.

Tapi jika untuk politik dan keamanan, dari sudut pandang niat politik dan keamanan, jelas tidak akan meninggalkannya, karena mereka yang sudah tenggelam pada titik paling dalam dalam proses integrasi, dan justru mereka yang paling awal untuk memulai integrasi.

Pada kenyataannya, jika dilihat dari hubungan sejarah kekuatan ekonomi mereka sendiri, atau aspek-aspek pengaruh internasional mereka, dan bahkan lokasi gografis mereka, Inggris mungkin unik di Uni Eropa.

Jo Leinen, sorang anggota Parlemen Eropa mengatakan: “Kita kehilangan satu negara besar, tapi Uni Eropa masih memiliki 450 juta orang. Dan kita masih sebagai pemain global. Kita memiliki 9 negara yang masih ingin menjadi anggota Uni Eropa. Inggris meninggalkan kita memang tidak baik, tapi itu tidak akan membahayakan Uni Eropa untuk bertahan hidup, dan bahkan mungkin akan lebih cepat dan lebih cepat melakukannya (integrasi).”

“Uni Eropa harus bersatu!” ini proklamasi dari salah satu stasiun Radio Inggris “Sky UK”. Presiden Dewan Eropa Donald Tusk bahkan lebih langsung mengatakan: “Eropa harus tetap bersatu, jika tidak akan tidak ada apa-apanya.”

Uni Eropa tampknya mengalami suatu siklus baru, dimana sedang mengalami fase perubahan dari tumbuh, berkembang dan menjadi subur dan semarak, selanjutnya menuju puncaknya, tapi kemudian bagaimana? Tentu saja akan sulit ditekan untuk mempertimbangkan masa depan. Mungkin akan memasuki suatu periode baru melalui semacam perubahan. Dalam periode ini mungkin ada juga hasil buruk lain yang mungkin membuat menurun dan bahkan mungkin gagal. Sebagai produk integrasi Eropa, Uni Eropa sebenarnya mengalami semacam fase ini. Demikian menurut pandangan analis.

Ketika Inggris secara resmi memulai proses Brexit, media melihat bahwa tekanan terbesar bagi pemerintah Inggris benar-benar datang dari ancaman keretakan internal.

Sumber: http://www.investopedia.com
Sumber: http://www.investopedia.com
Irlandia Utara dan Wales, keduanya menyatakan ketidak puasa mereka terhdap kepurusan ini, dan Skotlandia menuntut referendum publik untuk ini. Tampaknya ini benar-benar sulit untuk mengatakan “selamat tinggal” (Uni Eropa).

Dari Eropa ke Inggris, dari perpecahan besar hingga perpecah kecil, mungkin ini adalah gambaran kecil dari kesulitan yang dihadapi globalisasi. Seperti semua era utama yang kita berada sekarang, yang sedang semaraknya gagasan untuk menuju “desa global”(global village) yang belum terjadi dalam sejarah sebelumnya, secara bertahap secara senyap terus berkembang dan terwujud, kerterbukaan, saling berbagi, dan integrasi terus menampakkan ke pelupuk mata kita. Dan semua perpecahan dan perubahan semua akan menuju jalan yang menyatu dan cermerlang untuk perdamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia..... Semoga.......

Sumber: Media TV dan Tulisan Luar dan Dalam Negeri

http://www.investopedia.com
http://www.express.co.uk
http://www.investopedia.com
http://www.independent.co.uk
http://www.express.co.uk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun