Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apa yang Terjadi Pasca Keputusan Tribunal Sementara Arbitrase Laut Tiongkok Selatan

26 Agustus 2016   19:28 Diperbarui: 27 Agustus 2016   08:02 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atas “dorongan” AS,Filipina mengajukan sengketa secara sepihak untuk Laut Tiongkok Selatan (LTS) kepada tribunal arbitrase di Den Haag, yang oleh banyak pakar hukum internasional dianggap cacat hukum. Tiongkok dari mula sudah menyatakan dengan tegas menolak apapun keputusan dari tribunal ini. Dalam tulisan penulis terdahulu juga sudah memaparkantentang isu ini dalam tulisan berikut ini : (Ini Alasan Tiongkok Menolak Keputusan Tribual Arbitrase Filipina  Latar BelakangTribunal Arbitrase Laut Tiongkok Selatan Filipina dan ASEAN Tidak Memihak)

Filipina pada saat rezim Aquino III bersikap sangat gancar untuk masalah ini, tapi dengan rezim presiden Rodrigo Duterte sekarang justru bersikap sebaliknya, bahkan dengan terang-terangan menyatakan Filipina tidak mau dijadikan ujung tombak bagi kepentingan global AS.

Kunjungan Bersahabat Kapal Perang AS ke Tiongkok

john-richarson-wu-shengli-3-57c02e2620afbdb94b6b0028.png
john-richarson-wu-shengli-3-57c02e2620afbdb94b6b0028.png
Sehabis keputusan dari tribunal arbitrase LTS, situasi LTS bisa membuat orang susah mengerti. Di satu front kapal induk dan jet tempur AS sudah siap “tempur” dan terlihat AS telah meningkatkan tekanan militer terhadap Tiongkok di kwasan Asia-Pasifik dan terutama di LTS.

Tapi di front yang lain, AL-PLA (People Liberation Army-Tentara pembebasan Rakyat Tiognkok) begabung dengan latihan militer bersama pimpinan AS, RIMPAC latihan multinasional di Hawaii, dan pertukaran militer normal antara kedua negara tetap tidak berhenti.

Banyak kalangan yang mengomentari ini permainan halus yang dimainkan kedua negara AS dan Tiongkok di LTS.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi antara kedua kekuatan ini? Marilah kita coba lihat dan telaah dari jalannya peristiwa yang terjadi selama ini.

uss-benfold-1-57c02e6ef27e61f261f7acc2.png
uss-benfold-1-57c02e6ef27e61f261f7acc2.png
Pada 8 Agustus lalu jam 9 pagi waktu Tiongkok, satu kapal perang dari Armada Utara AL-AS – kapal perusak USS Benfold tiba berkunjung ke pangkalan AL--Qingdao, Shandong, Tiongkok. Kapal ini bagian dari Armada Pasifik AS. Mulai  melakukan kunjungan 5 hari. Dan ini merupakan pertama kali sebuah kapal perang AS mengunjuni Tiongkok setelah kasus arbitrase Filipina untuk LTS.

Juru bicara Menhan Tiongkok mengatakan bahwa ini merupakan kunjungan rutin biasa. Mereka juga menggunakan istilah yang sama untuk Komandan Armada Pasifik AS, Laksamana Scott Swift yang tiba mengunjungi Qingdao dengan jet pada hari yang sama.

Pengamat melihat ini menunjukkan AL-AS dan AL-Tiongkok berharap untuk membangun pengelolahan konflik dan perbedaan yang ada antara dua negara, dan pada waktu yang bersamaan lebih mempromosikan perkembangan yang sehat dan stabil hubungan militer Sino-Amerika.

Selama kunjungan ini para perwira AS dan Tiongkok mengadakan saling mengunjungi kapal-kapal perang satu sama lain, melakukan komunikasi tentang bisnis, mengadakan pertandingan sepak bola, bola basket.

Seperti apa yang telah dilaporkan meskipun antara mereka ada perbedaan serius antara AS dan Tiongkok atas masalah arbitrase LTS, tapi AS tidak melakukan operasi militer dengan “kebebasan navigasi di LTS” setelah keputusan kasus arbitrase untuk saat ini.

Kunjungan ini nampaknya menunjukkan Tiongkok dengan relaks sedang melakukan komunikasi milter dengan militer AS, mereka bersedia untuk miningkatkan saling pecaya.

Pangamat dan analis melihat ini merupakan sifat keseluruhan dari hubungan Sino-AS dan juga untuk masa depan. Dan kita harus bisa lebih banyak membiasakan dengan situasi yang demikian.

USS Benfold kapal perusak (destroyer) yang mengujungi Tiongkok ini termasuk dalam grup kapal penyerang dalam rombangan kapal induk Grup ke-5 ( SSG 5/ US’ Navy Carrier Srtike Group 5). Bulan lalu hanya beberapa ahri sebelum keputusan kasus arbitrase LTS, Kapal Induk USS Ronald Reagan melakukan latihan militer bersama dengan militer Filipina.

uss-benfold-57c02e91e222bd1050286b23.png
uss-benfold-57c02e91e222bd1050286b23.png
Pada 8 Agustus lalu jam 9 pagi waktu Tiongkok, satu kapal perang dari Armada Utara AL-AS – kapal perusak USS Benfold tiba berkunjung ke pangkalan AL--Qingdao, Shandong, Tiongkok. Kapal ini bagian dari Armada Pasifik AS. Mulai  melakukan kunjungan 5 hari. Dan ini merupakan pertama kali sebuah kapal perang AS mengunjuni Tiongkok setelah kasus arbitrase Filipina untuk LTS.

Juru bicara Menhan Tiongkok mengatakan bahwa ini merupakan kunjungan rutin biasa. Mereka juga menggunakan istilah yang sama untuk Komandan Armada Pasifik AS, Laksamana Scott Swift yang tiba mengunjungi Qingdao dengan jet pada hari yang sama.

Pengamat melihat ini menunjukkan AL-AS dan AL-Tiongkok berharap untuk membangun pengelolahan konflik dan perbedaan yang ada antara dua negara, dan pada waktu yang bersamaan lebih mempromosikan perkembangan yang sehat dan stabil hubungan militer Sino-Amerika.

Selama kunjungan ini para perwira AS dan Tiongkok mengadakan saling mengunjungi kapal-kapal perang satu sama lain, melakukan komunikasi tentang bisnis, mengadakan pertandingan sepak bola, bola basket.

Seperti apa yang telah dilaporkan meskipun antara mereka ada perbedaan serius antara AS dan Tiongkok atas masalah arbitrase LTS, tapi AS tidak melakukan operasi militer dengan “kebebasan navigasi di LTS” setelah keputusan kasus arbitrase untuk saat ini.

Kunjungan ini nampaknya menunjukkan Tiongkok dengan relaks sedang melakukan komunikasi milter dengan militer AS, mereka bersedia untuk miningkatkan saling pecaya.

Pangamat dan analis melihat ini merupakan sifat keseluruhan dari hubungan Sino-AS dan juga untuk masa depan. Dan kita harus bisa lebih banyak membiasakan dengan situasi yang demikian.

USS Benfold kapal perusak (destroyer) yang mengujungi Tiongkok ini termasuk dalam grup kapal penyerang dalam rombangan kapal induk Grup ke-5 ( SSG 5/ US’ Navy Carrier Srtike Group 5). Bulan lalu hanya beberapa ahri sebelum keputusan kasus arbitrase LTS, Kapal Induk USS Ronald Reagan melakukan latihan militer bersama dengan militer Filipina.

fidel-ramos-ke-tiongkok-57c02eb2dd9373e04a99884e.png
fidel-ramos-ke-tiongkok-57c02eb2dd9373e04a99884e.png
Sepeti diketahui, setelah Rodridgo Durterte sebagai presiden,  Filipina tidak berkeinginan menjadi ujung tombak AS lagi untuk melawan Tiongkok. Karena dia berpikir untuk melawan Tiongkok tidak ada manfaatnya bagi Filipina.

AS dengan lantang menyerukan kepada Tiongkok untuk mematuhi keputusan kasus arbitrase, sementara ini mengerahkan dua CSGs (dua grup kapal induk) untuk menunjukkan ototnya di LTS.

Pihak Tiongkok mengambil tindakan pencegahan. Pada 5 dan 19 Juli mengerahkan 100 kapal perang dan puluhan jet tempur ke Laut Timur dan LTS dengan menggelar latihan militer besar-besaran.

news.qq.com
news.qq.com
Pada 18 Juli, Komandan AL Tiongkok – Wu Shengli mewakili pemerintah Tiongkok membuat pernyataan tegas megenai sikap Tiongkok dengan magatakan : “Kami tidak akan mengorbankan hak-hak dan kepentingan kami di LTS, kami tidak akan terintimidasi oleh provokasi militer, kami tidak akan berhenti untuk terus mengkontruksi/membangun di pulau-pulau, kami tidak akan menurunkan tingkat penjagaan atau pertahanan kami, dan kami akan tidak pernah menyerah untuk berupaya untuk menyelesaikan dengan damai isu LTS.”

Ada analis dan pengamat yang melihat masalah LTS sekarang benar-benar telah menjadi sulit untuk dipecahkan masalahnya, dan konflik langsung antara Tiongkok dan AS disebutkan dengan “dilemma keamanan di LTS” sangat dimungkinkan. Tetapi sejak keputusan kasus LTS telah diumumkan, nadanya justru menurun.

john-richarson-wu-shengli-57c02f7fe222bd9d4f286b2f.png
john-richarson-wu-shengli-57c02f7fe222bd9d4f286b2f.png
Dimulai 17 Juli 2016, Komandan Operasi AL-AS John Richardson mengunjungi Tiongkok. Mulai 24 Juli Penasehat Keamanan nasional AS, Susan Rice mengunjungi Beijing dengan tujuan pengelolaan perbedaan (mencri jalan atas perbedaan) Sino-AS.

susan-rice-57c02fa5307a61b2677d9721.png
susan-rice-57c02fa5307a61b2677d9721.png
Pada 25 Juli, Menlu AS, John Kerry bertemu dengan Menlu Tiongkok, Wang Yi di Vientiane, Laos.

menlu-kerry-wang-yi-57c02fcdab9273a970da2944.png
menlu-kerry-wang-yi-57c02fcdab9273a970da2944.png
Dalam kesempatan ini Kerry mengatakan, AS menunjukkan tidak memiliki sikap mengenai kasus keputusan arbitarase LTS, dan mendukung untuk dilakukan dialog bilateral antara Tiongkok dan Filipina, sehingga mengubah dengan cepat halaman dari kasus arbitrase ini, dan mengurangi ketegangan di LTS. Jika dibandingkan dengan sikap sebelumnya yang sangat tajam dan keras dari AS tampaknya telah sedikit berubah.

Kesimpulan yang dianggap tidak masuk akal dari tribunal sementara untuk kasus arbitrase LTS ini menyebabkan kegemparan di masyarakat internasional. Kasus arbitrase yang berlangsung 42 bulan bulan, diyakini banyak pihak hanya menjadi sandiwara politik yang berselemutkan hukum.

Komunike bersama yang dikelaurkan dalam Rapat Pertetemuan Para Menlu ASEAN yang diselengagrakan di Vietiane, Laos pada 25 Juli 2016 tidak menyebutkan arbitrase, dan Filipina setuju dengan ini. Pada hari itu, ASEAN dan Tiongkok mengeluarkan pernyataan bersama dengan suara bulat menyetujui untuk kembali ke jalan “Dekalrasi tentang Perilaku Para Pihak di LTS/ Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea” (DOC) untuk  menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi antar negara melalui konsultasi ramah dan negosiasi damai.

Banyak analis yang berpikir bahwa negara-negara ASEAN juga tidak mau melihat kepentingan mereka sendiri terpengaruh oleh kepentigan negara-negara tertentu, terutama negara-enegara extra-regional yang memperkeruh perairan di kawasan tersebut.

Mereka sepertinya mengerti: jika dua gajah bertarung di ladang tebu di depan rumah kita, ladang tebu akan rusak, jadi semua merasa ada kekhawatiran yang sama.

Tapi akan lain dengan tiga negara ekrtra-regional seperti AS, Jepang dan Australia yang muncul dengan pandangan berbeda dan aktif. Pada malam 25 Juli 2016, tiga negara ini mengeluarkan pernyataan bersama menyerukan Tionmgkok dan Filipina untuk mematuhi secara efektif secara hukum keputusan kasus arbitrase ini.

Pada 27 Juli 2106, Menlu AS, John Kerry bergegas ke Filipina, dimana berjanji untuk memberikan 32 juta USD bantuan dana untuk Departemen Nasional Filipina yang akan digunakan untuk meningkatkan pelatihan penegakkan hukum dan pelayanan.

Namun, ketika menanggapi pertanyaan wartawan, juru bicara presiden Filipina mengatakan bahwa presiden (Duterte) tidak anti-Amerika, tetapi dia bukan pendukung AS. Dia juga tidak melupakan penderitaan yang disebabkan Kolonialis Barat dan oleh AS.

Kepura-puraan AS di LTS

Sejauh yang menyangkut tentang AS, AS pada dasarnya menggunakan segala sesuatu yang bisa, termasuk pengiriman kapal perang, untuk mendorong negara-negara terkait untuk melaksanakan arbitrase, dan mengajak negara ekstra-regional untuk melakukan partroli di kawasan tersebut.   Dengan harapan untuk memperoleh efek halus pada situasi di LTS.

Reuters mengutip dari pejabat anonim AS mengatakan, bahwa AS berusaha untuk melakukan “diplomasi tenang” di kawasan LTS untuk menjaga dunia luar agar tidak memberi kesan bahwa “AS saat ini memimpin aliansi untuk menekan Tiongkok.”

John Kerry mengatakan pada Rapat Menlu ASEAN bahwa AS tidak akan memihak pada salah satu pihak dalam kasus arbitrase ini. Tapi ini adalah permainan kekuasaan. Barack Obama juga secara terbuka setelah keputusan kasus ini dirilis mengatakan, bahwa AS tidak akan mengubah kebijakan untuk LTS.

Pada kenyataannya, AS masih belum “membalikkan halamannya” untuk kasus arbitrase LTS. Pada minggu, ketika keputusan arbitrase diumumkan, AS memindahkan kapal patroli Hamilton-class yang ke-3 USCGC Boutwell ke Filipina, sebelum ini AS telah memindahkan dua kapal patroli yang sudah ditarik sebelumnya (non-aktif) yang sama klasnya ke Filipina.

uscg-boutwell-57c0300620afbd2d4c6b0027.png
uscg-boutwell-57c0300620afbd2d4c6b0027.png
Selama kunjungan Obama ke Filipian pada bulan Nopember 2015, ia juga berjanji untuk memberikan dua frigate lagi ke Manila.

Pada 6 Agustus lalu, beberpa pesawat pembom B-1B tiba di Pangkalan Andersen di Guam, membawa sekitar 300 tentara AS. Pesawat B-1B  ini berkemampuan terbang di altitude rendah untuk penetrasi pertahanan udara lawan jauh melampaui dari pesawat pembom B-52.

b-1b-b-52-57c03034f57e61d551f8bd45.png
b-1b-b-52-57c03034f57e61d551f8bd45.png
Militer AS juga berencana untuk meningkatkan jumlah kapal tempur pesisir (LCS/Littoral Combat Ships) untuk dikerahkan di LTS dari 1 sampai 4 kapal sebelum tahun 2018.

lcs-57c0306af57e61a551f8bd44.png
lcs-57c0306af57e61a551f8bd44.png
Jadi banyak pengamat yang percaya bahwa ketegangan yang mengendor sekarang hanya sementara. Pasti akan ada penekanan lagi di kemudian hari untuk dijadikan fokus strategis dari pertentangan antara Tiongkok dan AS.

Banyak pihak yang mempertanyakan dikatakan AS tidak mau terlibat dalam arbitrase LTS dan tidak terlibat, tapi megapa mengklaim berkepentingan nasional tertinggi di LTS?

Jika kita kembali melihat pada sejarah dan mempelajari bagaimana kebijakan AS untuk LTS dari “pengamatan” terus menuju “intervensi” dan berubah menjadi “di balakang layar” hingga ke “tengah panggung,”  kita akan melihat dan tahu mengapa AS makin lama makin lebih terlebat dalam isu LTS.

Mengapa sengketa LTS harus makin menjadi fokus dari strategi AS untuk menyeimbangkan kembali kawasan Asia-Pasifik?

Perang AS-Spanyol

Pada 25 Pebruari 1898 Asisten Menteri AL AS yang kemudian menjadi presiden AS, Theodore Roosevelt mengirim satu telegram yang tidak biasa kepada Admiral George Dewey—Komandan Armada Pasifik AS.

Dalam telegram ini dikatakan: “Jika AS jadi berperang dengan Spanyol, misi Anda adalah untuk mengontrol pergerakan armada Spanyol di perairan Asia, dan kemudian melancarkan serangan militer ke Filipina.”

Dua bulan kemudian, Perang Amerika-Sapnyol mulai pecah dengan kekalahan dari pihak Spanyol. Filipina kemudian menjadi koloni AS.

Pada tahun 1898 dan 1900, AS dan Spanyol menandatangani “Perjanjian Damai antara AS dan Spanyol” dan “Perjanjian antara Spanyol dan AS untuk Penyerahan Kepulauan terluar dari Filipina.” Dalam kedua Perjanjian ini jelas memutuskan perbatasan paling barat Filipina pada Bujur Timur  (BT) 118o (derajat), dan garis B.T 118otidak termasuk Kepuluan milik Tiongkok termasuk Pulau Huangyan.

teritori-filipina-b-t-118-derajat-57c0309cc723bd19540b8be3.png
teritori-filipina-b-t-118-derajat-57c0309cc723bd19540b8be3.png
Pada abad ke-19 Inggris benar-beanr melakukan pengukuran Kepulauan Nansha, dan sekarang jika kita melihat Directory China Sea (中国海指南) data pengukuran otoritatif A.L Inggris (the China Sea Directory and the UK Royal Navy’s authoritative measurement) yang diterbitkan pada tahun 1868, disitu dikatakan bahwa Kepulauan Nasha, hanya pernah dilihat oleh nelayan dari Hainan, Tiongkok.

Ini berarti bahwa Tiongkok yang pertama menemukan dan memberi nama-nama pulau-pulau ini. Jadi saat mendefinisikan perbatasan Filipina saat itu mereka menyadari bahwa ini wilayah milik Tiongkok. Dan setelah ini “Konvensi Antara AS dan Inggris”  ditandatangani pada tahun 1930, serta serangkaian perjanjian internasional lainnya yang ditandai tentang perbatasan teritorial Filipina bagian barat pada derajat 118 bujur timur.  Pada tahun 1935, dalam konstitusi Filipina sekali lagi dijelaskan lingkup wilayah Filipina seperti ini.

Jadi tidak heran jika Tony Carty, Professor Hukum Publik dari Universitas Aberdeen, Inggris. Mengatakan: “Prancis dan terutama Inggris khususnya, mereka membenarkan dan memberi point penasehatan hukum untuk penggunaaan sejarah dan ekonomi pulau-pulau ini  oleh nelayan Tiongkok. Selama lebih dari 200 tahunan, hampir persis 200 tahun Inggris telah menyimpan dan menjaga catatan ini. Dan tidak hanya Inggris, tetapi Amerika juga, catatan hidrologi,  mereka berdua sepakat bahwa nelayan Tiongkok telah menggunakan pulau-pulau ini untuk penangkap ikan di wilayah LTS. Dan sekarang tribunal sementara ini membuat dua interpretasi yang sangat aneh untuk Pasal 121 ini.” 

Dalam perjanjian ini sangat jelas tentang definisi perbatasan Filipina, termasuk perbatasa maritimnya, wilayah Filipina tidak termasuk Kepulauan Nansha yang didalam termasuk Pulau Huangyan.

Semua perjanjian yang dibentuk dibawah bimbingan dan partisipasi AS ini, dapat menunjukkan bahwa AS seharusnya tahu lebih banyak daripada negara lain di dunia yang secara historis dan secara hukum, Kepulauan Nansha dan termasuk Pulau Huangyan adalah milik Tiongkok.

Alfred Thayer Mahan Ahli Strategi Militer AS

alfred-thayer-mahan-57c0376a5eafbda86e0b2ed5.png
alfred-thayer-mahan-57c0376a5eafbda86e0b2ed5.png
Kekuatan maritim menentukan kekuatan nasional. Siapapun yang secara efektif bisa mengontrol laut dapat menjadi kekuatan global.” Kata Alfred Thayer Mahan, seorang ahli strategi militer AS. Dia adalah komandan dalam Perang Amerika-Spanyol. Bukunya yang berjudul “The Influence of Sea Power Upon History” yang diterbitkan tahun1890, menjadi senjata rahasia bagi menteri AL-AS yang kemudian jadi presiden Theodore Roosevelt untuk digunakan memenangkan Perang Amerika-Spanyol.

“The Influence of Sea Power Upon History” juga menjadi arahan dari pembangunan nasional AS. mahan menuliskan bahwa mengendalikan laut, terutama mengendalikan lalu lintas lautan utama yang berkaitan dengan kepentingan dan perdagangan nasional, merupakan faktor penting dan faktor praktis murni kekuatan dan kemakmuran negara. Untuk melakukan ini, AS menekankan pada pengembangan angkatan lautnya, dan melihat strategi untuk mengontrol Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik sebagai kelangsungan hidup bagi hegemoni global AS. 

Koridor Jalur Perdagangan Dunia Dari LTS

Dari LTS melewati Selat Malaka melalui Selat Bashi dan Laut Sulu. Ini merupakan koridor penting bagi perdagangan global.

coridor-global-trade-57c030ee957e6128484b8219.png
coridor-global-trade-57c030ee957e6128484b8219.png
Setelah P.D. II sikap AS mengenai milik siapa LTS berubah berulang kali.

Pada tahun 1943, para kepala negara dari Tiongkok, AS, dan Inggris bersama-sama menandatangani dokumen---“Deklarasi Kairo(Cairo Declaration)” . Setelah kemenangan P.D. II, pejabat Tiongkok naik kapal perang AS untuk mengklaim kembali pulau-pulau di LTS pada tahun 1947 dengan AS sebagai saksi.

Pada bulan Setember 1951, AS menandatangani “Perjanjian Damai dengan Jepang (Treaty of Peace with Japan)” tanpa kehadiran perwakilan Tiongkok dan sengaja menghapus klausul “Cairo Declaration” yang mengharuskan Jepang mengembalikan kedaulatan LTS kepada Tiongkok, dan menggantikan dengan Jepang harus menyerahkan pulau-pulau Taiwan, Penghu, Nansha dan Xisha.

cairo-dclaration-57c03115c823bdd14b50e72a.png
cairo-dclaration-57c03115c823bdd14b50e72a.png
Pada tahun 1957, AS mencapai kesepakatan dengan otoritas Taiwan dan Vietnam Selatan mengenai siapa pemilik Xisha, dan mengatur “Mutual Defense Treaty” antara AS dan Taiwan yang dapat “melindungi” pulau-pulau ini.

Selama Perang Vietnam, AS menyatakan LTS adalahg “Perairan Internasional” sehingga kapal perang AS bisa leluasa melewati atau lalu-lalang untuk menyerang Vietnam.

Selama tahun 1970an, pemerintah Vietnam Selatan berharap untuk melanggar batas yang diakui milik Tiongkok di kepulauan Xisha. Para pemimpin AS pada saat itu meminta para pemimpin Vietnam dan Taiwan untuk datang ke AS, sepertinya mereka diberi kuliah. AS mengatakan kepada Vietnam Selatan yang tidak boleh menyentuh  perairan sekitar pulau-pulau di LTS dengan memperingatkan Vietnam Selatan langsung. Jadi pada saat itu berpikir bahwa LTS milik Tiongkok. Disana tidak ada masalah.

Pada tahun 1995, setelah insiden Atol Meiji (美済) atau Mischief reef antara Sino-Filipina, pada 10 Maret 1995, House of Representaive AS (DPR) meloloskan Resolusi 114, yang menggambarkan tindakan Tiongkok di LTS sebagai “invasioner.”

(Insiden terjadi pada 1994-1995, Tiongkok membangun Atol Meiji untuk melindungi nelayan memicu yang kemarahan Filipina. Filipina sengaja mengkandaskan kapal perang bekas era P.D.II di shoal Thomas, kemudian digunakan untuk pos garnisun pelaut untuk berjaga-jaga. Untuk menghindari patroli kapal patroli Tiongkok,  Filipina mengdrop logistik dari udara. )

Namun, pada 10 Mei 1995, Deplu AS mengeluarkan pernyataan bahwa kebijakan AS untuk Kepulauan Nansha dan LTS adalah tidak mengutuk pihak manapun dan menyatakan AS tidak mengambil sikap apapun pada kedaulatan Kepulauan Nansha.

Pada bulan Juli 2010, Menlu AS Hillary Clinton tiba-tiba berkata dalam Rapat Menteri-Menteri ASEAN tentang “Kebebasan navigasi adalah salah satu kepentingan nasional AS.” hal ini terlihat oleh publik sebagai titik balik dalam kebijakan AS untuk LTS, dari posisi “pengamat netral” menjadi “tindakan intervensi.”

Strategi AS di LTS benar-benar telah berubah berulang kali. Diubah dan disesuaikan untuk ketepatan dan disempurnakan untuk kepentingan strategis AS sendiri. Terutama setelah AS menyatakan untuk kembali ke Asia-Pasifik pada tahun 2009, dimana dibutuhkan untuk menggunakan beberapa konflik di sekitar Tiongkok dengan menyiapkan alasan untuk membangkitkan beberapa insiden.

Pertama, bisa menggunakan alasan adanya insiden untuk benar-benar kembali ke Kawasan Asia-Pasifik. Itu adalah salah satu pertimbangan. Kedua, dengan begitu AS bisa mengontrol negara terkait. Tujuan ketiga, untuk mengacaukan kerjasama regional. Mengapa hal ini dilakukan? Karena tidak lain AS tidak menginginkan kejasama regional bisa mempengaruhi posisi hegemonik AS di kawasan bersangkutan.

AS Sengaja Menciptakan Kekacauan

Pengamat melihat sejak AS menerapkan strategi kembali ke Asia-Pasifik, Laut Timur Tiongkok dan LTS menjadi focal point (titik api) stragis untuk menggnaggu kebangkitan Tiongkok.

Pada tahun 2010, menghasut krisis Semenanjung Korea. Pada tahun 2012, menggunakan insiden kepulauan Diaoyu atau Senkaku dengan mengompori gejolak di Laut Timur Tiongkok, untuk mengacaukan negosiasi Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) Tiongkok-Jepang-Korsel.

Kemudian beralih ke LTS dimana dengan memberikan senjata kepada Filipina dan Vietnam, dan mendesak negara-negara ASEAN untuk “membentuk front persatuan” melawan Tiongkok ketika membahas isu LTS. Itu semua telah mengganggu hubungan persahabatan antara negara-negara di sekitar LTS dan Tiongkok. Yang terakhir kasus arbitrase LTS yang menyebabkan suasana tegang dan awan perang menimbulkan kekhawatiran bagi semua pihak di Asia-Pasifik.

Namun, saat ini, politik hegemonik dan diplomasi kapal perang AS telah digunakan, tapi tidak mampu menakut-nakuti Tiongkok yang sedang bangkit. Tapi andaikata terjadi insiden konflik yang tidak sengaja antara militer AS dan Tiongkok, mungkin akan menjadi benar-benar untuk kepentingan AS.

Sebenarnya masalah kedaulatan teritorial adalah masalah yang sangat sensitif, dan salah satu yang sulit untuk menemukan kompromi untuk hal itu. Bagi setiap negara, mereka harus berkompromi untuk teritorinya, dan negara tidak memiliki dasar hukum. AS sangat mahir menggunakan konflik-konflik ini, karena tahu mereka tidak dapat mengatasinya sama sekali. Kemudian AS mengompori, AS menarik manfaat dari itu. Strategi demikian yang sering diggunakan AS.

Pada 9 Mei 2016, Rodrigo Duterte resmi ditetapkan sebagai presiden Filipina, dia yang selama ini bersikap keras terhadap AS. Pada saat ini, Panglima Komando Pasifik AS, Laksamana Harry Harris mengeluarkan seruan untuk perang.

“The New York Times” melaporkan pada hari itu Harris mengatakan, “akan ada serangan jaringan di LTS, termasuk Huangyan,”dan militer diperlukan untuk siap perang “mulai malam ini.” Itu berarti konfrontasi langsung dengan Tiongkok. AS memiliki AL yang sangat profesional dan responnya sangat proaktif, kebijakan untuk mengirim kapal perang ke kawasan tersebut, dalam rangka mempersiapkan untuk bertindak atau intervensi dalam urusan regional, dianggap sangat provokatif.

Pada 18 Juni, USS John C. Stennis dan USS Ronald Reagan CSGs Nimits Kelas berlayar  ke perairan Filipina untuk melakukan latihan bersama. Komandan USS John C. Stennis CSG—Marcus Hithcock mengatakan, “Latihan menggabungankan 12.000 tentara, 140 pesawat jet tempur, 6 frigat kecil, dan 2 kapal induk. Tidak ada angkatan laut negara lain yang bisa mengumpulkan kekuatan sebesar seperti demikian di perairan ini.”

Kepala Operasi AL-AS John Richardson bahkan mengatakan bahwa AS berharap ini akan dibaca sebagai “efek gentar/deterrenct” oleh negara-negara tertentu.

latihan-kapal-induk-ganda-di-lts-2-57c0317d9893731f55388acd.png
latihan-kapal-induk-ganda-di-lts-2-57c0317d9893731f55388acd.png
Pengamat melihat manuver ini, kenyataannya seperti diplomasi kapal perang zaman imperialis kuno yang digunakan oleh negara-negara imperialis 100 tahun yang lalu. Jika mereka ingin memaksa suatu negara menyerah, mereka menodong dengan kapal perang kepada negara tersebut. Dan memaksa negara tersebut untuk menandatangani perjanjian ini dibawah todongan senjata. AS rupanya mencoba menggunakan cara-cara demikian untuk isu LTS.

Jika mendengar komandan senior AS mengklaim “perang mulai malam ini.” Berkenaan dengan hal ini, pada bulan Juli dalam dialog tentang LTS antara  think tank Tiongkok-AS yang diadakan di Washington, mantan Penasehat Negara Tiongkok—Dai Bingguo menunjukkan dengan berkata: “Teman-teman Amerika, bagaimana perasaan Anda jika Anda sebagai anggota penduduk Tiongkok? Seorang anggota penduduk Tiongkok? Tentu saja, orang Tiongkok belum ketakutan. Saya yakin orang Tiongkok tidak ketakutan. Saya ragu mereka akan ketakutan bahkan jika 10 kapal induk berlayar ke LTS sekalipun.”

Dihadapkan dengan deterrent militer besar-besaran AS yang tidak pernah terjadi sebelumnya. AL-PLA (Tiongkok) membuat respon aktif. Pada 8 Juli, AL-PLA menyelenggarakan latihan militer dengan mengerahkan 100 kapal perang dan puluhan pesawat dari Armada Laut Utara, Laut Timur, dan Laut Selatan (LTS) serta bagian peluncuran rudal dari unit darat dan melakukan latihan dengan peluncuran rudal konfrontasi dengan rudal hidup ke perairan antara Hainan dan Kepulauan Xisha.

Dalam latihan tersebut telah dimunculkan Kapal Perusak Pembawa Rudal 052B, Frigat Pembawa Rudal 054A, Pesawat Pembom Xian H-6K, Jet tempur J-10, J-11B, Xian JH-7, rudal permukaan-ke-udara  HQ-9, rudal anti kapal penjelajah YJ-83, dan banyak senjata baru lainnya.

kapal-perang-tiongkok-1-57c031b2c723bd56540b8bde.png
kapal-perang-tiongkok-1-57c031b2c723bd56540b8bde.png
pesawat-tempur-tiongkok-57c031e4c823bd9f4c50e72d.png
pesawat-tempur-tiongkok-57c031e4c823bd9f4c50e72d.png
Dari AU-PLA juga melakukan peluncurkan rudal yang jarang diluncurkan YJ-12 Rudal Suprsonik anti-kapal yang meluncur 3 kali kecepatan suara dan bisa menjangkau 400 km. Yang juga disebut rudal pembunuh dari Tiongkok.

rudal-yj-12-57c0320ce222bd1850286b27.png
rudal-yj-12-57c0320ce222bd1850286b27.png
Pada 27 Juli 2016, Rueters dalam laporan komprehensifnya menunjukkan “US Diplomatic Strategy on South China Sea Appears to Founder,” meskipun AS jadi menyerang, tapi negara-negara yang memiliki hubungan atau ada masalah dengan LTS tidak akan mendukung posisi AS.

Dalam Pernyataan Rapat Pertemuan para Menlu ASEAN bahkan tidak menyebutkan kasus arbitrase LTS, dan pernyataan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa tidak dikatakan putusan arbitrase harus dipatuhi dan mengikat. Dari sini bisa dilihat bahwa upaya AS belum mendapat dukungan dari sebagian besar negara di dunia.

Pengamat melihat kekuatan Tiongkok pada momen demikian telah menekan AS. Tidak hanya tidak mempan ditakut-takui AS, juga berhasil tetap mempertahankan kedaulatan wilayahnya. Jadi apa langkah AS berikutnya pada batas-batas tertentu akan tergantung pada tindakan dan respon Tiongkok.

Kini meskipun AS untuk sementara waktu telah menarik kekuatan militernya, tapi tetap mempekuat sikap diplomatiknya.

Pad 12 Juli, Direktur Senior Gedung Putih AS, Kanda mengatakan dalam kuliah di sebuah think-tank AS di Washington DC, bahwa LTS merupakan “kepentingan tertinggi nasional AS” . IASni adalah yang pertama kali bagi AS yang secara terbuka menggunakannya istilah ini untuk menggambarkan sikap AS di LTS.

Menanggapi ini, pada 18 Jui 2016, anggota Komisi Militer Pusat PLA dan Komandan AL Tiongkok, Wu Shengli saat bertemu dengan Komandan Operasi AL-AS John Richardson di Beijing mengatakan: “Kami tidak akan mengorbankan hak-hak dan kepentingan kami di LTS, karena itu adalah inti kepentingan Tiongkok yang menyangkut fondasi politik, keamanan dan stabilitas negara, dan kepentingan fodamental dari negara kami.”

john-richardson-wu-shengli-57c03238c823bd2d4d50e723.png
john-richardson-wu-shengli-57c03238c823bd2d4d50e723.png
Tampaknya Tiongkok telah memberikan batas-batas dasar kepada AS, dan nampaknya AS secara sadar menyatakan keprihatinannya. Hal ini sangat membantu kedua belah pihak untuk saling belajar tentang apa yang berkaitan bagi pihaknya sebagai keprihatinan, masalah keamanan dan inti kepentingan (core interests).

Apa Yang Terjadi Jika Terjadi Perang AS-Tiongkok

RAND Cooporation melaporkan mereka percaya jika terjadi perang antara AS-Tiongkok pada tahun 2015, untuk perang jangka pendek dan intens, kerugian AS akan mencakup AU, Kapal Induk, dan pangkalan militer, dan kerugian Tiongkok akan lebih besar. Jika perang itu terjadi pada kondisi tahun 2025, dengan telah meningkatnya kemampuan anti-akses Tiongkok, maka AS akan mengalami kerugian yang lebih besar dari sebelumnya, namun kerugian Tiongkok masih akan lebih tinggi. Tapi juga dipercaya jika perang intens berlarut-larut akan menguntungkan AS, karena aliansi AS di Asia akan bantu untuk mengalahkan Tiongkok.

Tapi menurut pakar dunia luar, Tiongkok dan AS telah mengalami Perang Korea, dua perang yang memakan korban tertinggi setelah P.D. II. Sejauh mengenai Perang Korea, AS telah dibantu oleh 15 negara , dan membentuk sebuah sekutu, namun akhirnya perang itu juga harus memakan begitu lama. Para jenderal AS mengatakan itu merupakan pertama kali bagi mereka yang tidak memenangkan perang. Perang Vietnam juga memaksa AS untuk mengevakuasi diri pada akhirnya. 

Persenjataan itu sendiri tidak menentukan apakah perang akan dimenangkan atau kalah. Faktor penentunya adalah orangnya. Itu faktor fodamental. Faktor lain adalah bagaimana perang itu sendiri. Seperti juga yang terjadi pada zaman revolusi di Indonsia, meskipun tentara Inggris dan Belanda yang dilengkapi dengan persenjataan jauh baik dari Tentra Rakyat (bahkan dengan bambu runcing) di Surabya, namun tentara Barat tidak mudah bisa menaklukkan kita.

Dari tahun 2010 hingga saat ini, AS telah meningatkan dalam jumlah besar pasukan militernya dalam strategi menyeimbangkan kembali Aisa-Pasifik, sambil mengendorkan kerjasama dengan Uni Eropa dan NATO di Eropa. Di Timur Tengah setelah sanksi di hapuskan atas musuh lamanya Iran, AS meninggalkan diri dari mengelola situasi kacau di Irak, Syriah, dan Libya. Di Asia Tengah secara bertahap menarik pasukannya dari Afganistan, dan di Daratan Amerika telah meningkatkan hubungannya dengan Kuba.

Sehingga akhirnya AS bisa memusatkan sumber daya utamanya pada strategi global pada poros ke Asia-Pasifik, dan menginvestasikan mereka di Laut Timur dan LTS.

pivot-to-asia-57c032828823bde04c11f372.png
pivot-to-asia-57c032828823bde04c11f372.png
Namun, Uni Eropa telah kalah dengan apa yang mereka telah lakukan di krisis Crimea yang pecah pada tahun 2014. Pada tahun 2015, Rusia mengirim pasukan ke Syria, menyebabkan sekutu AS di Timteng terus merosot ke dalam kekacauan.

Sejak awal tahun ini, krisis pengungsi telah melanda Eropa, dan pendukung dan pembantu AS yang paling cepat getol seperti Inggris, telah meninggalkan Uni Eropa. Sedang Uni Eropa sendiri sudah mulai runtuh.

Pada 15 Juli 2016, Presiden Turki Receo Erdogan telah menggagalkan kudeta milter dan ber-argumen dengan AS, Erdogan mulai menyelinap ke sisi Rusia.

Pada Agusuts, Rusia meng-aneksasi Crimea dan mengerahkan senjata anti-rudalnya yang paling canggih S-400 di sana. Dan konflik antara Ukraina dan Rusia mulai meningkat lagi. Kini orang dunia melihat bahwa AS dalam posisi sebagai hegemoni global sudah menunjukkan tanda-tanda berada dalam krisis.

Pengamat dan analis melihat posisi AS yang sedang tidak mantap dan canggung ini mengirim pasukan untuk menekan Tiongkok, namun tampaknya Tiongkok tidak bergeming. Tapi masalahnya terus muncul di kawasan ini. Ini oleh pengamat  dan analis karena design strategis yang bermasalah. Seharusnya AS bisa menerima kebangkitan Tiongkok, kemudian mendirikan sebuah hubungan bentuk baru dari kekyuatan utama untuk mencapai ko-eksistansi damai dengan Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik. Tapi sekarang justru mengurusi negara-negara yang menyebabkan masalah, dan “berurusan” dengan Tiongkok yang seharusnya tidak menyebabkan masalah. Hal-hal yang positif itu tidak dilakukan karena meremehkan kekuatan Tiongkok.

AS-Tiongkok Berbaikan

Namun, Uni Eropa telah kalah dengan apa yang mereka telah lakukan di krisis Crimea yang pecah pada tahun 2014. Pada tahun 2015, Rusia mengirim pasukan ke Syria, menyebabkan sekutu AS di Timteng terus merosot ke dalam kekacauan.

Sejak awal tahun ini, krisis pengungsi telah melanda Eropa, dan pendukung dan pembantu AS yang paling cepat getol seperti Inggris, telah meninggalkan Uni Eropa. Sedang Uni Eropa sendiri sudah mulai runtuh.

Pada 15 Juli 2016, Presiden Turki Receo Erdogan telah menggagalkan kudeta milter dan ber-argumen dengan AS, Erdogan mulai menyelinap ke sisi Rusia.

Pada Agusuts, Rusia meng-aneksasi Crimea dan mengerahkan senjata anti-rudalnya yang paling canggih S-400 di sana. Dan konflik antara Ukraina dan Rusia mulai meningkat lagi. Kini orang dunia melihat bahwa AS dalam posisi sebagai hegemoni global sudah menunjukkan tanda-tanda berada dalam krisis.

Pengamat dan analis melihat posisi AS yang sedang tidak mantap dan canggung ini mengirim pasukan untuk menekan Tiongkok, namun tampaknya Tiongkok tidak bergeming. Tapi masalahnya terus muncul di kawasan ini. Ini oleh pengamat  dan analis karena design strategis yang bermasalah. Seharusnya AS bisa menerima kebangkitan Tiongkok, kemudian mendirikan sebuah hubungan bentuk baru dari kekyuatan utama untuk mencapai ko-eksistansi damai dengan Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik. Tapi sekarang justru mengurusi negara-negara yang menyebabkan masalah, dan “berurusan” dengan Tiongkok yang seharusnya tidak menyebabkan masalah. Hal-hal yang positif itu tidak dilakukan karena meremehkan kekuatan Tiongkok.

AS-Tiongkok Berbaikan

as-tiongkok-57c032b9149773fe48b2b558.png
as-tiongkok-57c032b9149773fe48b2b558.png

Juni 2013, Presiden Xi Jinping dan Presiden Barack Obama bertemu di Sunnyland California, AS. Ini menunjukkan kedua negara dan komunitas internasional bahwa Tiongkok dan AS berkomitmen untuk memperkuat komunikasi strategis, meningkatkan kepercayaan strategis dan mempromosikan penbentukkan hubungan baru kekuatan utama.

Pada bulan Nopember 2014, kepala negara kedua negara ini menandatangani “Memorandum of Understanding Establishing the mutual Reporting and Trust Mechanisms on Major Military Operations”(MoU untuk membangun pengertian untuk saling melapor dan membangun mekanisme kepercayaan pada operasi militer utama) yang menyatakan bahwa kedua pihak berdedikasi untuk meningkatkan hubungan mereka,  memperkuat saling pengertian, mengurangi salah tafsir dan salah menentukan keputusan. Dalam hal ini juga diputuskan bahwa kedua pihak berharap untuk saling bertukar informasi terkait dengan kebijakan keamanan nasional, strategi dan hukum masing-masing.

Kita tahu transparansi  merupakan komponen penting dalam saling percaya. Hanya setelah semua pihak saling percaya satu sama lain barulah kita bisa saling menceritakan apa kartu kita (dalam permainan kartu), sebaliknya jika kita tidak ada rasa saling percaya, masing-masing pihak akan tetap membekap kartunya di dada mereka. Maka hal ini memerlukan saling menghormati, tidak beroposisi. Jika tidak ada saling percaya di antara kita, maka tidak ada cara untuk membangun hubungan.

Sebenarnya pada tahun 2014,  “Code for Unplanned Encounters at Sea” telah disahkan ; pada 2015, the “Rules of behavior for Safety of Air-to-Air Encounters” juga sudah disahkan.

Pada acara yang terbaru ketika Laksamana Swift mengunjungi Qindao, seorang reseacher dari China Institute International Studies---Teng Jianqun menanyakan kepada Admiral Swift setelah habis pidato.

Dengan mengatakan : “Belum lama ini, kelompok operator Anda dikelilingi AL kami (Tiongkok) di LTS.”

Swift menjawab : “Benar”

Teng bertanya lagi: “Apa tanggapan Anda?”

Dia hanya menjawab dengan dua kata, salah satu ”professional” dan yang kedua “aktif”.

Teng berpikir dia percaya bahwa dua kata yang Swift gunakan sangat akurat—professional dan keaktifan. Bagi militer Tiongkok dan AS, apakah itu di udara atau di laut, kemungkinan konflik disengaja untuk dilanggar sangat rendah. (berkat kedisplinannya)

admiral-scott-swift-57c032e3d17a614552c1b2ec.png
admiral-scott-swift-57c032e3d17a614552c1b2ec.png
Tapi dengan strategi AS untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik telah menempatkan tekanan AS atas Tiongkok, ketegangan di LTS telah meningkat dan bahaya konflik disengaja antara Tiongkok dan AS masih ada.

Pada kenyataannya dilapangan. Bagaimana menggunakan militer adalah urusan politisi. Apakah harus menggunakan militer atau tidak, atau apakah perang harus dimulai bukan sesuatu militer yang memutuskan. Ini adalah masalah negara yang perlu mempertimbangkannya. Ketika politisi akan menggunakan kekuatan militer, mereka harus mempertimbangkan konsekuensi, dan mereka harus mempertimbangkan harga yang harus dibayar.

Apakah AS-Tiongkok Berpotensi Perang di LTS?

Kasus arbitarse LTS telah berakhir seperti debu, situasi lama LTS telah rusak dan sedang terbentuk suatu layout baru. Apakah ekskalasi isu LTS untuk kepentingan AS?

Pada bulan Agustus tahun lalu, AS menerbitkan laporan“Asia-Pacific Maritime Security Strategy 2015”, dalam laporan ini menegaskan militer AS akan mengerahkan 60% kekuatan AL dan AU ke Asia-Pasifik.

Dalam laporan ini menyatakan militer AS akan mengerahkan USS Ronald Resgan, ditambah kapal Serbu Amphibi America-Kelas, tiga kapal perusak DDG-1000, dan dua kapal selam kelas Virginia, serta beberapa jet tempur F-22 dan F-35, pesawat pembom B-2 dan pembom strategis B-52, pesawat angkut Osprey dan angkatan udara lainnya.

alutsista-as-57c03317307a61f8677d9722.png
alutsista-as-57c03317307a61f8677d9722.png
Dalam laporan ini juga dinyatakan bahwa AS berharap untuk memperkuat kerjasama militer dengan Tiongkok, dan berusaha untuk membangun hubungan militer berbasis hubungan baik.

Analis melihat rencana jangka panjang itu, sudah memasuki tahap kedua dari strategi untuk menyimbangkan Asia-Pasifik yang diumumkan tahun lalu. Pada kenyataannya, kita telah melihat tidak hanya adanya peningkatan pasukan yang dikerahkan oleh Armada Pasifik AS, dan masih ada pemecahan garis pemisah antara Armada ketiga dan Armada ketujuh.

 

Kapal perang Armada ketiga sering bertugas di Samudra Pasifik Barat. Adapun kontruksi dasarnya, AS ingin mengepung seluruh pangkalan Tiongkok, dan membangun pangkalan bertebar seperti lembaran. Di masa depan, itu akan membentuk sebuah lingkaran di sekitar Tiongkok dari timur dan selatan.

Fokus terpenting dari strategi AS untuk menyeimbangkan Asia-Pasifik adalah LTS. Diantara jaringan AS Pangkalan rantai ke 1 pulau pertama dan kedua, berpusat di sekitar pangkalan AL dan AU seperti Subic Bay di Filipina, untuk pangkalan cluster Asia Timur dan Pangkalan Udara Changi, Singapura, berdasarkan rencana militrer AS, Pangkalan Udara Changi akan menjadi landasan bagi AL AS untuk memantau situasi LTS dan masuk keluarnya ke Samudra Hindia. Ini menjadi front militer terbaru bagi strategi global AS.

rencana-as-kepung-tiongkok-57c03343c823bda94c50e726.png
rencana-as-kepung-tiongkok-57c03343c823bda94c50e726.png
Pangkalan RAAF Darwin Australia mungkin juga akan menjadi portal di mana AS memasuki LTS dari selatan. Militer AS percaya bahwa lokasi ini bisa menghindari serangan rudal Tiongkok, dan juga meningkatkan penyebaran di seluruh LTS.

Dalam beberapa tahun terakhir, terlihat peningkatan jumlah kapal perang bertenaga nuklir AS yang aktif di perairan sekitar Asutralia.

Pada saat yang sama Pentagon juga telah merencanakan untuk membuat pangkalan pelatihan UAV di Australia untuk berkoordinasi dengan strategi UAV di masa akan datang.

Di Jepang, Pangkalan AL-AS Yokosuka menjadi pintu permanen untuk USS CSGs dan menajdi penompang penting dan dukungan liliter AS di LTS.

Selain itu, militer AS juga telah menyewa lima pangkalan militer filipina, yang telah memungkinkan AS untuk membangun fasilitas militer permanen di sana, sementara juga menyediakan pasokan dan pemeliharaan misi. Pangkalan militer ini terutama tersebar di sepanjang sisi yang berhadapan dengan LTS.

Saat ini AS khawatir apakah Tiongkok akan menyiapkan sesuatu untuk menghambat itu atau tidak, karena beberapa tahun terkahir, AS telah mengusulkan strategi India-Asia-Pasifik, yang berarti akan menjadi sistem keseluruhan dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik dan kemudian  ke Asia. Strategi AS kembali ke Asia-Pasifik akan mencakup Samudra Hindia.

Tetapi, jika Tiongkok benar-benar memberlakukan hambatan di LTS untuk menghambat AS, jika tidak memiliki strategi Asia-Pasifik, maka itu berarti semua upaya akan sia-sia, karena LTS beperan setidaknya 60% dari kapal dunia dan pesawat melewati kawasan ini setiap tahunnya.

Dalam rangka menerapkan strategi untuk menyeimbangkanAsia-Pasifik, AS memanupulasi arbitrase LTS yang cacat hukum (lelucon), sehingga menyebabkan ketegangan di LTS. Ini semua oleh pengamat ditengarai suatu Alarm untuk terperangkap dalam “Perangkap Thucydides” yang terjadi antara dua kekutan mampan dan kekuatan yang baru muncul, sudah mulai terdengar....

Pada 24 Juli 2106, Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Tiongkok –Fan Changlong memperingatkan Presiden AS dan Penasehat Nasional Keamanan AS—Susan Rice yang mengujungi Beijing bahwa ada resiko konflik antara militer Tiongkok dan AS.

Jika dilihat AS dan Tiongkok adalah dua kekuatan raksasa, jadi jika mereka jadi bertarung bisa membuat bumi bergetar. Demikian menurut sebagian analis berbisik. Banyak kaum pasifis mengharapkan kedua raksasa ini harus menghindari situasi yang tidak diharapkan ini. Kedua belah pihak harus mempertahan terbuka, membangun saluran komunikasi  yang jelas, dan mengelola setiap peningkatan ketegangan dengan baik, konflik kepentingan harus dilakukan dengan penanganan yang lebih kongrit profisional, mengontrol setiap gesekan yang tak terduga yang mungkin terjadi, karena gesekan demikian bisa menjadi bencana.

Sebelum Susan Rice Penasehat Keamanan Nasional AS mengunjungi Tiongkok, ia mengatakan kepada Reuters bahwa AS berjanji untuk melanjutkan patroli dan operasi di LTS. Setelah Rice kembali ke AS, dia menulis sebuah artikel yang menjelaskan pentingnya hubungan AS-Tiongkok.

Rice menuliskan: “Ketika Tiongkok dan AS bekerjasama, dunia akan menjadi lebih aman, dan bangsa kita akan menjadi lebih sejahtera. Kesuksesan kita tidak perlu menjadi zero-sum game (pertarungan kamu harus kalah mati). Karena kita bekerja untuk mengurangi perbedaan-perbedaan kita. Ketika kita melakukan ini, negara kita dan semua orang-orang di dunia akan mendapat keuntungan.”

Jadi yang perlu disadari jika terjadi oposisi perlu dikedepankan dengan ritme yang baik, agar tidak terus meningkat. Sama seperti ketika AL Tiongkok dan Al-AS sedang bersitegang saling mencabut pedang, Komandan Operasi AL-AS John Richardson mengujungi Tiongkok.

john-richarson-wu-shengli-4-57c033a58823bdb74c11f37d.png
john-richarson-wu-shengli-4-57c033a58823bdb74c11f37d.png
Pada 21 Juli 2106, militer Tiongkok mengundang John Richardson naik kapal induk Liaoning AL-Tiongkok, dimana dia mengunjungi hanggar, dek penerbangan dan menara. Mantan Direktur Pertahanan AS, Chuck Hagel, dan mantan Kepala OperasiAL-AS—Jonathan Greenet, dan sekelompok perwakilan dari kapten kapal perang AL-AS semua mengunjungi kapal induk Liaoning.

john-richarson-wu-shengli-5-57c033cc957e6159484b8217.png
john-richarson-wu-shengli-5-57c033cc957e6159484b8217.png
Militer Tiongkok juga pernah mengizinkan pejabat senior militer AS untuk melihat Pusat Komando Rocket PLA dan peralatan Aangkatan Darat-PLA. Wakil Ketua Sentral Komisi Militer Tiongkok-- Chang Wanquan juga pernah diundang tur North American Aerospace Defense Command, yang menjadi pusat komando tempur gabungan dari militer AS dan sekutunya di seluruh dunia, yang dapat disebutkan “fasilitas petahanan paling baik di dunia” serta US Air Force Space Command (AFSPC) Headquarters underground control center and ship facilities.

Teng Jianquan peneliti dari Tiongkok mengemukakan pendapatnya: “Komunikasi niat startegis dan keputusan utama, saya pikir sangat diperlukan, karena mungkin itu memberitahu Anda apa niatnya, karena kita bicara tentang transparansi. Salah satu dari niat transparansi itu---apa strategi Anda—apakah sudah memiliki niat strategis transparan.  Yang kedua, adalah transpanransi kemampuan Anda, saling bercerita seperti apa kemampuan yang Anda miliki. Jadi transparansi kemampuan dan niat adalah dua komponen penting dari transparansi militer. Ketika kami mencapai kesepakatan dengan AS, ketika kami memberitahu AS bahwa tidak hanya Tiongkok bersedia untuk membuat niatnya transpanran, kami bersedia untuk membuat kemampuan kami transparan. Ini akan menjadi tanda saling percaya.”

Dai Bingguo mantan Penasehat Negara Tiongkok di Washington mengatakan: “Kami (Tiongkok) tidak memiliki niat atau kemampuan untuk melaksanakan “persaingan strategis” dengan orang lain. Kami juga tidak memilki ambisi untuk menguasai Asia, dan kami pasti tidak memiliki ambisi untuk menguasai dunia. Kami tidak pernah mengatakan bahwa seluruh Laut Tiongkok Selatan milik kami, dan sebagai kompetitor.”

Tampaknya Tiongkok dan AS tidak memiliki kepercayaan di banyak bidang. Itu suatu kenyataan dan tidak terbantahkan. Kuncinya adalah bagaimana kedua belah pihak bisa menunjukkan saling rasa hormat terbesar bagi kedua belah pihak. Itu yang bisa membawa saling menguntungkan, saling menghormati dan kerjasama yang saling menguntungkan bukan hanya slogan-slogan saja, itu satu-satunya untuk bisa kelyuar dari situasi saat ini.

Terbitan AS, “The National Interest” menerbitkan sebuah artikel dengan judul “South China Sea Danger Zone: Why Pushing China into a Corner is Dangerous,” (Laut Tiongkok Selatan Zona Bahaya: Mengapa Memojokan Tiongkok Itu Adalah Berbahaya). Yang menuliskan bahwa meskipun putusan Tribunal telah merusak “keseimbangan ambiguitas” di Laut Tiongkok Selatan, dan mulai fase baru dari sengketa, tapi tidak akan mengubah sifat dari politik dunia. Sudah saatnya semua pihak, terutama Tiongkok dan Amerika Serikat untuk mendinginkan emosi dan ambisi. Menyimpan perselihan dan mencari kemungkinan kerjasama untuk dijadikan pilihan yang lebih baik daripada mencoba untuk mengatasinya.

Yang satu (Tiongkok) adalah kekuatan yang baru muncul dan meningkat dengan damai, yang lainnya (AS) adalah satu-satunya negara adidaya saat ini. Jika AS dan Tiongkok membangun bentuk baru hubungan kekuatan utama, saling mengelola perbedaan mereka, dan menghindari perang yang disebabkan Perangkap Thucydides seperti dalam sejarah Yunani kuno. Hal ini tidak saja bermanfaat bagi kepentingan kedua negara ini bersama, juga akan bermanfaat bagi keamanan dan stabilitas Laut Tiongkok Selatan, serta perdamaian dan kemakmuran di seluruh dunia.

Sucahya Tjoa

26 Agustus 2016

Sumeber: Media TV & Tulisan Dalam Negeri & Luar Negeri

web 1| 2| 3|

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun