Pada akhir bulan Ramadan menjelang Hari Raya Idul Fitri, kita dikejutan serangkaian berita serangan teroris di Eropa, Amerika, bahkan di Arab Saudi dan Timteng sendiri. Serangam teroris dengan frekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya, sehingga membuat tahun ini menjadi Ramadan yang paling berdarah.
Mengapa “ISIS” mampu merencanakan dan melancarkan serangan teroris begitu seringnya. Sedangkan secara garis besar “ISIS” terus melemah di medan perang di Syria dan Irak.
Pad 21 Mei 2016, juru bicara resmi “ISIS mengeluarkan perintah secara online, menyerukan semua pengikut dan pendukungnya di seluruh dunia meluncurkan apa yang disebut “Serangan Ramadan” untuk menyerang semua “Kafir.”
Pada 13 Juni , seorang perwira senior polisi di Paris dan pacarnya telah dibunuh oleh seorang teroris (lone wolf) Larossi Abdalla.
Pada 28 Juni, di bandara Ataturk Turki, terjadi serangan beberapa teroris bunuh diri yang menewaskan banyak orang atau terluka.
Pada 1 Juli, sebuah restoran di distrik kedutaan Ibukota Bangaldes, Dhaka, diserang oleh beberapa orang militan, menyembelih dengan menggorok leher 20 sandera, banyak diantaranya orang Eropa dan Jepang.
Pada 3 Juli, sebuah pusat perbelanjaan di Bagdad, Irak, terjadi serangan bom bunuh diri terburuk tahun ini, menyebabkan 213 orang tewas.
Pada 4 Juli, di beberapa kota, termasuk kota terbesar kedua Jeddah di Arab Saudi , situs suci terbesar kedua Islam di Medina dan kota Qatif, semua mengalami serangan teroris bom bunuh diri.
Pada 5 Juli, terjadi serangan bom bunuh diri yang gagal ke Polres Solo, di kota Solo, orang bernama Nur Rohman yang diduga terkait dengan “ISIS” menjadi pelakunya.
Pada hari-hari berikutnya, di beberapa negara di Timteng sendiri mengalami beberapa serangan teroris “ISIS” yang dapat dikatakan merupakan serial dari serangan tersebut.
Pada saat yang sama, Biro Kemanan Nasional Kuwait mengumumkan telah mengagalkan beberapa serangan teroris yang menargetkan Mesjid Shiah dan kantor departemen pemerintah.
Kita telah melihat serangan-serangan teroris ini diakui banyak kelompok ekstrimis yang menyatakan bertanggnung jawab. Tapi apakah kita harus terus saja percaya? Yang paling dipercaya adalah kelompok “ISIS” yang langsung merencanakan dan memerintahkan, kasus yang paling menonjol seperti Bom mobil bunuh diri di Bagdad dan pemboman di bandara internasional Istanbul di Turki.
Insiden penyanderaan dan penembakan di Orlando, sulit dikatakan apakah “ISIS” langsung yang memerintahkan dan merencanakan tersebut, tapi secara langsung atau tidak , mereka harus melakukan dalam waktu tertentu.
Apakah ada kaitan dengan “ISIS” ? Yang jelas itu dipengaruhi oleh “ISIS” , karena itu telah menjadi lazim. Ada kelompok-kelompok lebih di 30 kawasan dan negara-negara yang menyatakan setia atau mengatakan mereka akan bergabung dengan “ISIS.” Jadi untuk kelompok-kelompok teroris, bagi mereka yang menyatakan kesetiaanya kepada atau bergabung dengan “ISIS,” maka kegiatan teroris mereka biasanya dilakukan atas nama “ISIS.”
Setelah mereka melakukan itu atas nama “ISIS”, maka membuat kita melihat seolah-olah seluruh masyarakat internasional telah terselimuti oleh “ISIS.”
Berkenaan dengan petunjuk ini banyak analis melihatnya “ISIS” sebagai kelompok teroris yang mempunyai pengaruh penting dalam menyebarkan pemikiran ekstrimis.
Pada kenyataannya, menurut para pejabat AS, sebelum “ISIS” kehilangan kota penting seperti Fallujah, di Irak, baru-baru ini, “ISIS” secara aktif menggunakan internet untuk merekrut tenaga baru dan menyebarkan paham ekstrimis di luar Irak.
Apakah itu adalah “ISIS” atau Al Qaeda, kelompok-kelompok ekstrimis ini di seluruh dunia semua mempunyai ideologi yang sama. Mereka semua menggunakan konsep jihad. Itu sudah cukup. Serangan teroris di seluruh dunia menunjukkan pengaruhnya telah menyebar dari Irak dan Syria ke negara-negara lain di seluruh dunia.
Anggota “ISIS” Menyebar Kemana-mana di Dunia Akibat Kekalahan di Irak dan Syria
Pada 4 Juli lalu, “Bild” Jerman menerbit sebuah artikel yang mengatakan bahwa dari Paris dan Brussel hingga ke Orlando, Istanbul, Dhaka, dan Bagdad, kelompok-kelompok ekstrimis secara bertahap meninggalkan Syria dan Irak dan menyebar ke daerah lain di dunia. Tindakan-tindakan gila ini, mungkin disebabkan karena kekalahan perang baru-baru ini, dan mereka paling tidak untuk melakukan pembalasan dengan serangan teroris yang direncanakan di beberapa negara.
Analis melihat gejala ini karena mereka mengalami tekanan yang besar di medan pertempuran utama, jadi dalam situasi demikian akan menjadi seperti pegas, semakin ditekan maka pantulannya makin besar. Analis cendrung melihat ini sabagai reaksi pantulan dari tekanan yang terjadi.
Sejak “ISIS” menyatakan pembentukannya sebagai “negara” dua tahun lalu, pada bulan Agustus 2014, kelompok ekstrimis ‘ISIS” telah mengalamani fase ekspansi yang sangat cepat dan bertumbuh, sempat pada masa puncaknya menduduki 40% wilayah Syria dan 30% wilayah Irak.
Selama fase itu, pengaruhnya dominan, dan berhasil menarik puluhan ribu ekstrimis dari lebih dari 100 negara dan kawasan, dan mendapatkan laoyalitas dan pengikut dari kelompok radikal dari berbagai kawasan. Tapi sekarang, setelah berulang kali dibom oleh koalisi kontraterorisme, kekuatannya telah menderita pukulan besar.
Sejak akhir September 2015, setelah Rusia bergabung dalam pertempuran melawan kontraterorisme di Timteng, bersama dengan kekuatan militer Syria dan Batalyon Syiah regional serta pasukan Kurdi yang didukung AS, telah terjadi serangan balik, dan kekuatan kontraterorisme giliran mengambil posisi optimis.
Pasukan ekstrimis kehilangan Palmyra di Syria dan Fallujah di Irak, sehingga wilayah yang mereka kendalikan berkurangi sepertiga dari sebelumnya. Sehingga secara langsung mengurangi banyak kemampuan berperangnya, beberapa tokoh pimpinan seniornya juga tewas dengan gempuran terus-menarus dari AS. Abu Bakr al-Bahdadi juga dipaksa untuk mengurangi penampilannya atau terlihat keluar.
Haider al-Abadi, PM Irak memberi peringatan: “Ini adalah pesan ke ‘ISIS.’ Tidak ada tempat bagi kalian di Irak. Militer kami telah melaksanakan janji untuk memulihkan Fallujah. Pemimpin kalian telah meninggalkan kalian. Mereka telah membuat janji kepada kalian, tetapi telah mengikari janji mereka.”
Kemenangan Fallujah tidak diragukan lagi merupakan pukulan yang menghancurkan untuk “ISIS.” Fallujah terletak di Provinsi Al Anbar Irak bagian barat, berjarak 50 km dari ibukota Bagdad, merupakan salah satu kota Irak yang direbut “ISIS” dulu pada awal serangan pasukan ekstrimis.
Pada tahun 2014, ketika pasukan ekstrimis berada di puncak mereka, mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaannya hingga 40% dari wilayah Irak. Sekarang, Fallujah telah bisa dibebaskan, ini berarti wilayah mereka telah menyusut menjadi kurang dari 10% .
Shisham Hashimi, seorang ahli dari Militer dan Strategi Irak mengatakan, pada kenyataannya, kemenangan operasi bukan hanya kemenangan bagi perang melawan terorisme Irak. Kemenangan di Fallujah merupakan salah satu yang utama besar, yang berakibat pukulan besar pengaruhnya terhadap kelompok-kelompok ekstrrimis di Irak, yang telah memaksa mereka untuk mengubah strategi mereka.
Menurut para analis dan pengamat Timteng, ada beberapa keberhasilan baru-baru ini dalam memerangi “ISIS” di Irak, seperti Fallujah pada dasarnya telah pulih. Tapi pengikut setia “ISIS” yang lolos dari Fallujah telah merembes dan menyebarkan ajaran mereka. Dan beberapa ledakan yang mengerikan baru-baru ini di Bagdad dilakukan oleh orang-orang ini.
Peneliti dari Institue Charles yang berbasis di AS mengatakan bahwa gaji yang menjadi lebih rendah “secara signifikan” mempengaruhi semangat kelompok ini. Di al-Raqqah, ada laporan ada makin banyak pertikaian dan konflik antara faksi-faksi oposisi.
Dengan serangan dari Iran, Liga Arab, NATO dan Rusia “ISIS” benar-benar menderita pukulan besar. Serangan presisi udara AS serta Pasukan Khusus AS telah memainkan peran dalam menumpas bagian penting dari menajemen senior “ISIS.” Dalam situasi semacam ini, kemampuan ekonomi “ISIS” terpengaruh sangat besar.
Ada yang perlu di catat adalah sikap Turki, yang pernah suatu ketika hubungannya dengan kelompok ini “teduh,” kini sama sekali berbeda.
Pada 27 Juni 2106, Recep Erdogan meminta maaf kepada Presiden Rusia Vladimir Putin atas penembakan jatuh jet tempur Rusian pada Nopember 2015, Turki dan Rusia berdamai kembali, dan Turki juga bisa menerima operasi kontraterorisme Rusia di Syria.
Selanjutnya, Turki memulihkan hubungan diplomatik normal dengan Israel musuh stragtegis “ISIS,” ini membuat “ISIS” bahkan mendapat pukulan lebih berat. Mengingat permusuhan itu dibangun sebelumnya, maka tidak terduga bahwa Turki akan diserang.
Turki memandang masalah Kurdi sebagai hal yang paling penting sendiri, sehingga pada tahun 2014 dan 2015, maka dari itu lebih bersedia membiarkan “ISIS” tumbuh, karena itu benar-benar merupakan faktor penting atau sangat bermanfaat untuk menekan atau mengendalikan pertumbuhan Kurdi.
Maka pandangannya ytang abu-abu terhadap “ISIS,” sikap ini yang menjadi alasan mengapa “ISIS” begitu bebas untuk melakukan kegiatan di Turki. Aktivitas “ISIS” banyak: lebih dari 95% dari dana “ISIS”, personil, perlengkapan, dan peralatan datang ke mereka dari perbatasan Turki dan Syria.
Tapi pemahaman diam-diam yang tadinya non-konflik dengan “ISIS” menjadi rusak. Jadi Turki mulai melawan “ISIS” dan menekan mereka. Dengan menutup perbatasannya dan mengubah situasi dengan menjaga “ISIS” untuk bisa menggunakan perbatasannya, tapi ini juga membawa ancaman besar bagi terorisme.
Maka karena melakukan tekanan pada “ISIS”, jadi tidak heran sering terjadi serangan teroris melawan Turki, ini yang menjadi alasan penting.
Dengan tertutupnya saluran “ISIS” untuk penyelundupan minyak, pencucian uang internasional, dan penjualan barang antik kuno, dengan sendiri telah memotong mata rantai pendanaan “ISIS”, sehingga dana semakin hari semakin kering dan tidak cukup untuk mendukung terus pertempuran berskala besar.
Di masa lalu, mereka mengekspor lebih dari 100 ribu barel minyak setiap hari, yang bisa memperoleh beberapa juta USD, tapi kini saluran minyak dan ekspor minyak dan kemampuan transportasi telah diledakkan oleh AU-Rusia, sehingga pendapatan dari minyak pada pokoknya sudah tidak ada lagi.
Sistem yang dikontrol “ISIS” pada masa lalu wilayahnya cukup luas dan bisa menarik pajak cukup besar, tapi kini pendapatan ini telah hilang. Maka kekuatan ekonomi “ISIS” dengan cepat merosot, diperkirakan kini hanya tersisa 10% sampai 20% saja dibanding dengan keadaan puncaknya semula.
Meskipun wilayah “ISIS” yang dikuasai telah terkepung, dan tidak dalam situasi baik, tapi secara obyektif mimpi buruknya masih belum selesai. “ISIS” yang pernah dianggap “organisasi teroris yang paling punya keberuntungan dalam sejarah.” Pendapatannya berhubungan dengan minyak, pajak, biaya perlindungan (uang preman), uang sogokan, perampokan bank, pemerasan, uang tebusan dan segala sesuatu yang menghasilkan uang dengan macam begini.
Pada 29 Juni 2016, juru bicara militer AS di Irak Christopher Garver, dalam konferensi pers yang diadakan di Pentagon dimana ia menyatakan meskipun koalisi pimpinan AS telah mengurangi pendapatan “ISIS” dari minyak 50% masih sangat sulit untuk mencegah dan melepaskan dari serangan teroris.
Sebuah dokumen dari departemen keuangan “ISIS” menunjukkan bahwa serangan udara lanjutan pada ladang minyak telah sangat menghambat garis hidup keuangan mereka. Mereka menuliskan dalam memorandum: “ISIS” telah memutuskan untuk megurangi membayar semua gerilyawan jihad hingga setengah di semua posisi dengan tidak ada pengecualian.
Akuntan “ISIS” bahkan tidak berani mengalokasikan terlalu banyak dananya sekaligus. Sehingga membuat goncangan dalam pimpinan “ISIS” dan timbul konflik internal dan menyebabkan beberapa jihadis berhenti tanpa memberitahuan dan beberapa menunggu pertemuan terakhir mereka dengan HR setelah menyerahkan pengunduran diri mereka.
Orang-orang ini mungkin lebih berbahaya, karena selama pertemuan ini, mereka mungkin mendapatkan lebih biaya pesangon mereka juga diperintahkan untuk “melakukan apa yang telah mereka pelajari dengan baik” ketika mereka kembali ke negara asal mereka. Orang-orang ini setelah kembali ke negara asalnya akan menjadi tekanan baru pada situasi keamanan global.
“ISIS” secara terbuka menyerukan “pertempuran kedua” di Asia Tengah dan sudah mulai mengambil tindakan tersebut.
Di tahun 2015 “ISIS” mengumumkan pembentukkan “Provinsi Khorasan” dengan wilayah yang mencakup seluruh Afganistan dan sebagian besar Pakistan, serta beberapa dari India dan Iran. Saat ini “ISIS” memiliki lebih dari 10.000 anggota di wilayah perbatasan Afganistan dan Pakistan.
Direktur CIA-AS John Brennan mengatakan dalam Sidang Kongres pada 16 Juni 2016, bahwa masih ada puluhan ribu jihadis dari “ISIS” di seluruh dunia, ini meleihi Al Qaeda saat mereka berada pada puncaknya.
Meskipun kemudian jumlah jihadis di Irak dan Syria berkurang dari 19-25 ribu ke 18-22 ribu, tapi anggotanya di Libya terus meningkat, dan saat ini diperkirakan sudah ada 5000-8000 jihadis disana.
Analis dan pengamat melihat sekarang “ISIS” telah memasuki tahap akhir karena telah terus menerus ditekan. Contoh yang paling klasik adalah mereka telah menderita kekalahan di Palmyra, Ramadi, dan Fallujah, tapi bisa dilihat setiap kali satu lokasi kalah, mereka membubarkan sendiri sampai batas-batas tertentu.
Tidak saja di Syria atau Irak secara efektif “ISIS” telah dihancurkan, tapi tidak angkatan bersenjatanya. Mereka tidak mengalami pukulan yang menghancurkan. Mereka memang kehilangan wilayah, namun mereka masih memiliki angkatan bersenjata. Pasukan mereka masih tetap ada, maka ini yang menjadi masalah sangat penting.
Menurut opini “Lianghe Zaobao” terbitan Singpaura megatakan, seri terbaru dari serangan teroris yang diluncurkan “ISIS” di Irak, Turki dan negara-negara lain semua menujukkan bahwa itu terfokus pada serangan skala besar, namun serangan tersebut tidak untuk merebut kota dan wilayah.
Oleh karena itu orang-orang ini lebih harus diwaspadai tentang plotnya yang direncanakan lebih cermat dalam serangan teroris “ISIS.”
N24TV Jerman merilis sebuah komentar dengan judul “Taktik Jihadis,” dengan mengatakan “ISIS” tidak pernah melakukan serangan cepat dan besar sebelumnya, serial insiden berdarah ini semua itu hanya menunjukkan suatu “babak baru.”
Dalam pikiran jihadis ini hanya ada satu: untuk menciptakan kekacauan dan kematian di seluruh dunia, bukan hanya di Timur Tengah, tetapi juga mencakup wilayah di Afrika hingga ke Asia Timur. “ISIS” sudah menjadi salah unsur baru dari gelombang serangan teroris.
Setiap serangan yang terjadi berturut-turut dan mengejutkan ini, masing-masing memiliki ciri sendiri, menunjukkan dunia keragaman serangan teroris. Ada serangan lone wolf (perorangan), serta plot oleh pasangan yang sudah menikah.
Pengikut “ISIS” diperintahkan untuk melakukan serangan perorangan (lone wolf) di negaranya, dengan menyerukan “jika kalian tidak dapat datang ke medan perang disini, ciptakan medan perang kalian sendiri.”
Saat ini serial “serangan Ramadan” yang komprehensif menunjukkan kemampuan besar “ISIS” untuk merencanakan, membangkitkan dan melaksanakan serangan teroris di beberapa lokasi, dan masing-masing serangan tampaknya menjadi serangan “subkontrak.” Yang berarti nama-nama target dan informasi terkait dilepaskan (diumumkan terbuka) dan kemudian secara terbuka mencuci otak pengikutnya yang setia untuk melaksanakan serangan di tempat manapun, dengan metode apapun, dan menggunakan alat apapun.
TV New Delhi yang menngutip dari anggota tingkat tinggi dari “US House Permanent Select Committee on Intelligence” Adam Schiff mengatakan, “ISIS” melaksanakan serangan teroris global, itu sungguh sangat jahat, tapi itu sangat mudah teradaptasi meskipun telah kehilangan banyak wilayahnya, namun kehadiran secara global terus menerus menguat.
Dengan menggunakan cara serangan teroris tersebut terorisme membuat negara menjadi terteror sangat besar. Sehingga negara bersangkutaan harus mengeluarkan sejumlah besar sumber daya manusia, fisil, dan fiskal untuk menghadapai situasi ini.
Dan memang itulah terorisme. Yang sering membuat beberapa tuntutan politik untuk menarik beberapa ekstrimis dan teroris untuk berpartisipasi dalam kegiatan utama perilaku teroris. Sehingga sangat sulit untuk dikatakan bahwa mereka memfokuskan kegiatan terrrois di suatu daerah atau negara karena mereka menderita beberapa kekalahan di medan perang tradisional.
Tapi dapat juga dikatakan karena jika mereka tidak menderita kekalahan tersebut, maka mereka akan memiliki kemampuan yang lebih baik dan dasar lebih baik untuk melakukan serangan teroris secara global, yang ditargetkan kepada masyarakat internasional. Itu yang menjadi akar masalahnya.
“ISIS” mengklaim mereka memiliki posisi berkuasa atas seluruh Muslim, dan berusaha untuk mendirikan sebuah “khalifah” berdasarkan “hukum Islam” yang mencakup Irak dan Syra. Karenanya menyerang Irak pada 2014 dan menduduki sejumlah besar wilayah, termasuk kota terbesar kedua Irak –Mosul, secara bertahap menjadi ancaman global.
Setelah mengalami tekanan besar, dan pertumbuhannya di Irak dan Syria sangat tertekan. “ISIS” mulai menyesuaikan strategi dan mulai memperluas kekuatannya sendiri ke dunia luar, ke daerah-daerah di luar Irak dan Syria.
Beberapa yang menjadi target untuk ekspansi: Lydbia, di Afrika Utara. Target satu lagi bergeser ke Semenanjung Arab dan Asia Selatan. Di Semenanjung Arab berfokus ke Yaman. Dan kedua, memindahkan pasukannya ke Eropa dan negara-negara Barat.
Seorang pejabat AS yang terafiliasi menunjukkan bahwa “ISIS” juga menyadari membangun dan memelihara “khalifah” adalah lebih mahal dan rumit dan komplek dari yang dibayangkan, karena itu mereka melakukan serangan yang lebih dahsyat daripada menduduki lebih banyak wilayah.
Dalam file audio yang dirilis pada 21 Mei 2016 , juru bicara “ISIS” Abu Mohammad al-Adnanic jelas menunjukkan kelompok itu akan berkembang ke arah perang gerilya. Ini berarti serangan tidak akan terbatas pada Syria dan Irak, mereka akan memperluas untuk menyerang segala tempat di seluruh dunia.
Data dari pemerintah AS menunjukkan bahwa “ISIS” mempunyai kekuatan sekitar 20.000 orang yang tersebar sedikitnya di delapan negara.
Pada bulan April tahun ini, Direktur Intellijen Nasional AS – James Calpper mengungkapkan bahwa “ISIS” mulai merekrut dan melatih para relawan dua tahun lalu. Setelah itu mereka dikirim sebagai “kelompok tempur” ke negara-negara Barat, yang saat ini telah membentuk dengan matang jaringan rahasia. Selain di Paris dan Brussel yang bergerak dibawah tanah (rahasia), juga memiliki sel-sel rahasia di Inggris, Jerman dan Italia. Sebuah laporan dari AP menyatakan ada sekitar 400 orang sel operasi yang saling berhubungan dengan lincah dan semi otonom.
Saat ini, kiranya ada konsensus semua orang setuju, masyarakat internasional bahwa “ISIS” sudah memasuki tahap akhir mereka, atau apa yang kita sebut fase penentuan atau kritis. Tapi sebagian pengamat dan analis dunia tidak pikir apakah mereka memang berada di fase jenis apa saja, apakah dalam fase menentukan, kritis atau akhir, namun membasmi mereka diperkirakan akan menjadi proses yang panjang.
Namun kita tahu “ISIS” kini memasukan tahap akhir dan menghadapi tekanan besar, dan ada isu untuk menyebar dan bersirkulasi. Kita semua tahu bahwa “ISIS” adalah pasukan internasional.
Menurut perkiraan PBB, kelompok ekstrimis ini terdiri dari lebih 10.000 gerilyawan lintas 80 negara. Ketika hari-hari akhir kelompokm ini datang, orang-orang ini akan kembali ke negara mereka berasal. Ini menjadi seperti pedang yang tergantung diatas kepala negara-negara dalam masyarakat internasional.
Menurut informasi dari berita komersial Dow Jones yang didapat dari penyadapan, pemimpin “ISIS” saat ini mendesak pendukungnya untuk menyebarkan teror di dalam negara mereka sendiri, dan tidak perlu mengambil bagian dalam perang di Syria. Perintah ini dikirim ke semua cabang.
Berkaitan dengan hal ini analis kontraterorisme di Rand Cooperation, AS – Andrew Liepman mengatakan, “Untuk pengikut ‘ISIS’ hal penting yang menarik adalah membangun negara. Tetapi jika propek ini hancur, daya tariknya masih tetap.”
Sepuluh ribu militan mereka yang kembali ke negara asalnya sendiri, akan terus melanjutkan pertempuran. Pada saat itu, orang –orang ini akan melancarkan perang di Yordania, Tunisia, Prancis dan bahkan di AS.
Pada kenyataanya, menurut statistik dari “The New York Times, “ sejak dari “ISIS” dibentuk, di luar Irak dan Syria ada 1.200 orang di negara-negara lain di seluruh dunia yang telah jadi korban meninggal karena serangan yang diluncurkan oleh “ISIS” atau yang terkait.
“ISIS” Menjadi Ancaman Dunia
Kini, “ISIS” mendesak pendukungnya untuk melancarkan serangan di seluruh dunia dan ancaman dari “ISIS” ini dipastikan akan terus menyebar.
Lalu banyak yang mempertanyakan: Apakah “ISIS” benar-benar bisa dieliminasi? Atau ada alasan lain? Akankah koalisi dari kekuatan negara utama masing-masing mempunyai agenda dan tujuannya sendiri? Apak mereka benar-benar akan menindak lanjuti untuk kemenangan mereka dengan pukulan yang mematikan dan menghancurkan?
Pukulan Pada “ISIS” Yang Tidak Tuntas
Pada 30 Mei lalu setelah militer Irak mengepung “ISIS” seklam seminggu, militer Irak mulai melancarkan serang terhadap Fallujah di sentral Irak barat. Pada saat yang sama koalisi kontraterorisme Syria dikoordinasikan dengan Angkatan Udara Rusia dan AS mulai maju menuju kamp besar “ISIS” di al-Raqqah, dan diteruskan untuk membebaskan Aleppo dalam rangka memotong saluran teroris internasional.
Tanda-tanda ini menunjukkan pasukan kontraterorisme di medan perang keduanya melakukan serangan balik startegis terhadap kelompok transnasional ini, dengan maksud untuk mengklaim kembali tanah yang diduduki dan dikuasai selama dua tahun belakangan ini.
Sekarang dalam waktu kurang dari dua bulan operasi ini telah terlihat hasil yang nyata, dan telah menyebabkan “ISIS” kehilangan lebih dari setengah wilayahnya.
Pengamat dan analis dunia luar melihat jika koalsi yang berbeda-beda ini memang benar ingin menghabisi “ISIS,” pasti dengan mudah bisa dilakukan dan tidak akan memakan waktu kurang dari satu bulan, dan kehadiran secara fisik “ISIS” akan tereliminir atau dihilangkan.
Tapi sejauh yang berkaitan dengan kapabilitas, mereka selalu mampu menghabisi “ISIS.” Dengan kata lain, jika salah satu negara yang saat ini memerangi “ISIS” sungguh-sungguh bertekad untuk menghilangkan “ISIS”, para analis dan pengamat pikir itu akan terwujud dengan cepat.
Kita telah melihat “ISIS” terlihat seperti sangat kuat, ternyata tidak sekuat apa yang diperkirakan? Berdasarkan perkiraan saat ini ketika mereka dalam keadaan sangat kuat, mereka memiliki kurang dari 50 ribu gerilyawan. Beberapa ada yang mengatakan mereka sangat kaya, tapi perkiraan paling ekstrim kekayaan mereka kurang dari 2 milyar USD dalam aset.
Apakah kelompok ekstrimis semacam ini dapat disebut kuat? Jika salah satu negara benar-benar menyerang dan memiliki tekad mengeliminir/menghilangkan “ISIS” akan tidak menjadi masalah.
Saat ini, prestasi militer telah dibuat di Fallujah dan al-Raqqah, tetapi selama ini mereka belum menyetuh daerah inti. Bagi Irak membebaskan Fallujah lebih sebagai untuk menstabilkan situasi domestik negerinya. Pertempuran utama adalah di masa depan, dengan serangan balik militer untuk kota minyak Mosul.
Di Syria pertempuran terutama difokuskan di wilayah sekitar al-Raqqah jadi ada perhitungan untuk kepentingan banyak pihak di balik perang melawan terorisme ini, dan mereka tidak diragukan lagi akan masuk ke babak baru pertempuran baik di depan umum maupun secara rahasia, yang akan menjadi banyak kabut untuk benar-benar menghancurkan “ISIS” dalam waktu dekat ini.
Musa Hamad seorang analis dari “Arab Emirate Middle Eastern Issues” mengatakan AS memiliki tujuannya sendiri, dan Rusia sedang melakukannya sekarang. Turki dan Iran mereka mendukung beberapa rezim. Mereka memiliki begitu banyak divergensi.
Krisis Ukraina menyebabkan kebuntuan antara Rusia dan AS, serta perbedaan berat antara mereka mengenai masalah Syria. Hal ini menyebabkan hubungan Rusia-AS menjadi sangat rumit dalam memerangi “ISIS.”
Untuk negara utama Eropa dan Uni Eropa, isu Ukraina, masalah pengungsi Mediterania dan isu-isu ekonomi dan sosial Eropa sendiri adalah satu tantangan yang sulit, semua itu yang membatasi kemampuan Eropa untuk berpartisipasi dalam serangan terhadap “ISIS.”
Daveen Arten-Ross ahli dari “US Expert Georgetown University’s Security Studies Program” ., mengingatkan jumlah pasukan AS dibandingkan dengan jumlah pasukan Kurdi yang melakukan pengambilalihan al-Raqqah, sulit untuk dikatakan bahwa AS memiliki peran utama didalamnya. Ini bukan “saran dan membantu” misi.
Saat ini, “ISIS” adalah musuh masyarakat dunia tidak ada negara yang akan menentang setiap serangan terhadap “ISIS,” tetapi untuk berpartisipasi dalam serangan adalah masalah lain. Di paruh kedua tahun 2014, negara-negara Teluk dan Arab seperti Arab Saudi, Yordania, dan lain-lain, serta negara NATO telah membom “ISIS” dan terlihat benar-benar sangat efektif. Bisa menekan ekspansi “ISIS” dengan cepat, dan menghambat upaya “ISIS” untuk membentuk pemerintahan yang stabil di daerah yang diduduki.
Yang perlu diketahui tentang AS, yang awalnya berperan menyelengarakan dan memimpin serta mengorganisasi koalisi kontraterorisme untuk melawan “ISIS” hanya memainkan peran dukungan diantara semua kekuatan melawan “ISIS” hari ini. Perubahan peran ini juga akan mempengaruhi kemajuan dalam perang melawan “ISIS.”
Sampai hari ini, kita masih belum melihat adanya kekuatan darat yang kuat untuk mengeliminir “ISIS”. Hingga hari ini hanya militer Irak dan Syria, tidak ada satupun dari pasukan yang digunakan AS sebagai pasukan utama. Mengapa AS tidak melakukannya?
Analis melihat ini karena AS tahu betul jika menggunakan kekuatan-kekuatan ini, setelah “ISIS” benar-benar hancur kekuatan-kekuatan ini yang akan mengisi kekosongan politik ini, dan AS tidak menginginkan hal itu terjadi.
Jika “ISIS” sudah diberantas, pemerintah Irak dan pemerintah Syria saat ini akan mengisi kekosongan politik ini, itu berarti bahwa kekuatan Iran akan lebih diperluas, dan itu bukan menjadi kepentingan dan diharapkan AS dan sekutunya. Jadi jika menyangkut hal tentang pertempurn melawan “ISIS,” AS hanya kencang gonggongannya daripada gigitannya, “bak cuaca kencang suara geledaknya hujannya kecil.”
Pemberantasan “ISIS merupakan keinginan umum bersama semua masyarakat internasional tapi hanya ada beberapa negara di kawasan ini yang dapat mengambil alih wilayah setelah “ISIS” dihancurkan. Saat ini, negara-negara ini semua tidak stabil, tantanan politiknya telah runtuh karena di-intervensi oleh negara ekstra-regional, itu yang membuat beberapa negara yang bermaksud mengambil alih ruang ini kurang kekuatan untuk benar-benar bisa melakukannya.
Masalahnya sekarang siapa yang mau berkorban dan berupaya untuk ini, dan setelah mereka membantu untuk upaya ini dan peredamaian tercapai, apa yang akan mereka dapatkan kelak. Wilayah yang dikuasai “ISIS saat ini adalah wilayah tradisonal dan sangat sentral bagi kaum Sunni di Syria.
Secara akal sehat setelah perang usai, daerah ini seharusnya dikembalikan lagi dalam kontrol kaum Sunni, tapi dari Arab Sunni yang mana? Apakah dari Arab Sunni yang aktif dalam mengambil bagian dalam perang ini? Yordan tidak, juga tidak Arab Saudi. Free Syrian Army (Tentara Pembebsasan Syria) sangat lemah, jika mereka ingin mengontrol teritori tradisional Sunni yang tadinya bekas wilayah “ISIS” yang dihancurkan, itu terasa hampir mustahil.
Akibartnya Rusia, Iran, pemerintah Syria maupun Kurdi akan membiarkan mereka. Jadi kepentingan semua pihak bertemu disini. Maka saat ini akan sulit untuk membentuk pasukan internasional terpadu yang didedikasikan untuk mengeliminr “ISIS.”
Banyak tanda-tanda yang menunjukkan kepada kita bahwa meskipun perang melawan teror di Syria dan Irak masih jauh dari selesai, para peserta sudah mulai tumbuh dengan gelisah. Dan telah memasuki visi status “pasca-khalifah.” “ISIS” juga beruntung telah memperoleh ruang bernafas dan ruang bertahan hidup karena berbagai ketidak kompakan dari koalisi kontraerorisme ini.
Apa yang menjadi ironis adalah bahwa munculnya “ISIS” ini datang dari dikarenakan oleh sebagian besar berkat ke-egoisan negara-negara tetentu. Ke-egoisan ini yang menyediakan sarang dan pupuk dari kubangan pemikiran teroris.
Pada 6 Juli 2016, Iggris secara resmi merilis “Report of the Iraq Inquiry” yang membutuhkan 7 tahun untuk menyelesaikannya. Laporan menggunakan istilah “invasi” beberapa kali untuk menggambarkan operasi militer AS dan Inggris yang mengambil bagian dalam perang melawan Irak.
Dalam laporan ini juga dirilis surat menyurat Tony Blair dan Gerorge W Bush pada saat itu, yang menyebutkan delapan bulan sebelum parlemen Inggris menyetujui Perang Irak, Blair menulis surat kepada Bush mengatakan bahwa ia akan berada dipihaknya.
Para protester mengata dari penyelidikan “Report of the Iraq Inquiry” yang telah dirilis, Blair sudah seutju untuk ikut berperang bahkan sebelum ia membawa masalah ini ke Parlemen. Dia sudah membuat kesepakatan dengan Bush sebelumnya. Sekarang sudah ratusan tentara Inggirs tewas untuk perang yang seharusnya tidak perlu terjadi. Kawasan ini secara keseluruh jauh dari stabil. Disitu sekarang ada perang, terdapat banyak teroris, ini semua seharusnya Blair yang digantung kepalanya karena memalukan. Dia dan Bush telah membuat banyak tempat di dunia menjadi tidak aman.
Pada 2003, PM Blair pada waktu itu mendesak Parlemen Inggris untuk menyetujui Iggris bergabung dalam Perang Irak yang dipimpin AS, menyatakan bahwa pemerintahan Hussein memiliki senjata pemusnah massal yang menimbulkan ancaman bagi Inggris.
Namun, setelah mengorbankan banyak biaya untuk memenangkan perang, AS dan Inggris tidak menemukan senjata pemusnah massal di Irak. Pemerintah Saddam Hussein digulingkan, tetapi kekuatan ekstrimis menjadi lebih kuat karena itu.
Pada 25 Oktober 2015, sebuah laporan dari BBC Inggris mengatakan, Blair pernah mengaku dalam sebuah wawancara dengan CNN bahwa gagasan untuk Perang Irak telah melahirkan “ISIS” itu cukup “masuk akal.”
Pada 6 Juli 2106, tepat pada hari “Report of the Iraq Inquiry” dirilis. Blair mengatakan bahwa ia akan bertanggung jawab penuh atas urusan pengiriman pasukan ke Irak, tanpa cari alasan.
Tony Blair mengatakan: “Keputusan untuk pergi berperang di Irak, dan menggulingkan Saddam Hussein dari kekuasaan yang dilakukan lebih dari 40 negara koalisi yang dipimpin AS adalah yang paling sulit, yang paling penting keputusan yang paling menyiksa saya yang saya ambil selama saya sepuluh tahun sebagai PM Inggris. Untuk keputusan hari ini, saya menerima tanggung jawab penuh, tanpa kecuali dan tanpa mencari alasan.”
Menyalahkan Blair sendiri untuk perang Irak jelas tidak adil sebab pada waktu itu pemerintah Bush yang sebenarnya yang menyebabkan perang.
Pada kenaytaanya, munculnya kelompok-kelompok ekstrimis, dan situasi semakin kacaunya Timteng, opini publik sudah lama melemparkan dan menyalahkan kepada AS. Adalah kebijakan AS di Timteng yang menyebabkan kelompok-kelompok ekstrimis untuk terbentuk dan tumbuh.
Pada konferensi pers yang diadakan oleh Multilateral Coalition Against Extremist Groups juru bicara Christopher Garver, ditanya oleh seorang wartawan: “Ada yang mengatakan bahwa kebijakan AS di Timteng yang menyebabkan lahirnya “ISIS.” Dan hari ini ada laporan Inggris tentang Perang Irak yang baru diterbitkan sekarang. Yang pada dasarnya mengatakan perang itu tidak benar-benar diperlukan dan itu tidak sah/legitimasi. Apakah Anda pikir sekarang membereskan kekacauan dengan “ISIS” adalah untuk menebus kesalahan/dosa?”
Christopoher menjawab: “Saya tidak ingin masuk perdebatan dari mana mereka berasal. Kita tahu bisa ditarik kembali akar permasalahan ke Al Qaeda, kita tahu bisa kembali ke akar lebih jauh dari itu dalam sejarah Operasi Pembebasan Irak, itu sudah terkenal dan saya tidak perlu masuk dalam perdebatan itu. Yang saya tahu adalah mereka adalah kekuatan yang ada di depan kita sekarang.”
Meskipun pejabat Dephan AS menghindari menjawab pertanyaan media, beberapa akademisi di AS percaya bahwa AS harus bertanggung jawab atas kekacauan di Timteng, dan harus “membayar tagihannya atau bonnya” untuk merajarelanya ekstrimis.
Sejarahwan AS, Peter Kutnick mengatakan: “ Jadi sebenarnya ‘ISIS’ mulai terbentuk di tahun 2004, merupakan kombinasi dari jihadis, ekstrimis yang dibantu dan didukung AS dari mantan anggota partai terasing pada waktu rezim Hussein di Irak, yang merasa frustasi, mereka tidak punya pekerjaan, tidak punya pengaruh, dan mereka membentuk kelompok pemberontakan ini. Kemudian menyebar berkembang beberapa tahun ke depan di kemudian hari. AS yang menciptakan mimpi buruk ini, dan sekarang coba untuk menangani.”
Juru bicara “Iraq’s Joint Ministry Command”---Yahy Resool mengatakan : “Kita tahu bahwa ketika pemerintah jatuh pada tahun 2003. Sejak saat itu, kegiatan teroris di Irak tidak pernah berhenti. Ada Al Qaeda, Organisasi Tauhid & Jihad (TJT/ The organization of Monotheism and Jihad) dan yang terbaru ‘ISIS’ juga sudah mulai menyebar-luaskan terorisme di Irak, dan jumlah pengikutnya meningkat.”
Saat ini, “ISIS” telah menggantikan Al Qaeda untuk menjadi inti dari terorisme internasional, terutama penyebab dari serangan teroris berskala besar, menyebarkan ideologi ekstrimis dan kelompok-kelompok ekstrimis yang setia/fanatik di seluruh dunia.
“ISIS” menyerukan untuk melakukan pertempuran kepada pendukung mereka di dua front, terhadap “musuh yang jauh” negara-negara Barat dan juga “yang dekat” negara Arab yang sekuler. Dalam hal ini menekankan “jihad ofensif” terhadap semua yang beroposisi dengannya. Pendek kata sekarang membasmi ‘ISIS menjadi teka-teki global.
Agar sukses dalam perang melawan “ISIS” selain melihat bagaimana AS menyesuaikan kontraterorisme dan kebijakan regional juga memperkuat koordinasi dengan Rusia, dan memberi perhatian terhadap partai lain dalam konflik regional harus juga perlu diperhatikan.
Memang seharusnya ini ada solusi, jika hanya pada satu atau dua negara yang memimpin jalan, mereka pasti tidak akan melepaskan kepentingan nasional mereka sendiri, juga tidak akan mereka mempertimbangkan masalah kontraterorisme internasional dalam kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan.
Sehingga sangat penting bahwa kita kembali pada platform yang dipimpin Dewan Kemanan PBB, dan juga termasuk isu-isu kontraterorisme, juga isu-isu ketidak adilan, tidak demokratis lainnya, termasuk masalah pembangunan beberapa negara berkembang ke dalam rencana strategis keseluruhan untuk kontraterorisme di masyarakat internasional. Jika setiap pihak hanya terfokus pada pergelaran senjata paling canggih untuk melawan “ISIS,” hal itu dipercaya bahwa pemecahan masalah terorisme internasioanl masih akan jauh untuk bisa mengakhirinya.
Serial serangan teroris baru-baru ini menunjukkan ekstrimis dapat dengan mudah mendapatkan simpatisan dan pengikut di mana-mana di dunia, dan sangat mudah melakukan serangan balik meskipun dikepung dengan perang utama terorisme, sehingga dengan kelakuan mereka yang demikian juga bisa membantu penyebaran terorisme dan pengaruh mereka.
Berdasarkan pada keadaan saat ini tampaknya kerjasama kontrateorisme tidak ada harapan untuk membasmi pasukan ekstrimis secara efektif di Syria dan Irak dalam waktu dekat ini, dan bahkan kurang memberi harapan sepenuhnya untuk menghilangkan pengaruh mereka pada dunia.
Dari perspektif yang lebih luas, meskipun “ISIS” telah kehilangan kamp utamanya di al-Raqqah, Syria, serta kota strategis Mosul di Irak, pasukan utamanya mungkin akan lenyap seperti terjadi pada pasukan Taliban ketika mereka dihantam pasukan AS, dan mereka akan menggunakan faksi dan pengadilan konflik agama yang rumit di Timteng untuk menyembunyikan diri sementara menunggu waktu untuk bangkit lagi.
“ISIS”bukan hanya berbentuk kelompok bahkan lebih dari itu, itu adalah jenis sistem ideologi dan nilai-nilai. Selama ada ruang untuk menentang modernisasi, globalisasi, dan budaya Barat, mereka tidak akan pernah bisa diberantas sepenuhnya.
Karena itulah perang melawan teror merupakan babak baru yang akan men-tes kesabaran dan kemauan dunia.Demikian banyak pengamat dan analis dunia melihat masalah tersebut.
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar dan Dalam Negeri 1| 2| 3| 4| 5| 6| 7|
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H