Pertumbuhan Ekonomi Dunia Tahun 2016
Pad 19 Januari, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini, memperkirakan pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,4% pada tahun 2016, dan 3,6% tahun 2017.
Pada hari yang sama, IMF merilis data yang menunjukkan bahwa PDB Tiongkok tumbuh 6,9% pada tahun 2015. Ini menimbulkan sentimen pesimistik bagi pasar.
AS sebagai negara konsumen terbesar dunia dan pengimpor minyak terbesar, pengaruh permintaan minyak Tiongkok pada harga minyak mentah internasional menjadi fokus perhatian.
Meskipun pertumbuhan ekonomi telah melambat dengan pengaruh penyesuaian struktur ekonomi, transisi, perbaikan secara bertahap yang mendalam, pada tahun 2015, permintaan impor minyak mentah Tiongkok tetap mantap tingkat pertumbuhannya.
Data yang dirilis oleh Custom Administrasi Tiongkok (kantor bea cukai), selama sebelas bulan pertama tahun 2015, impor minyak mentah Tiongkok meningkat 8,8% mejadi 6,63 juta barel per hari.
Selain itu, pada 26 Januari, Petro-China merilis “Laporan Pembangunan untuk Domestik dan Internasional Industri Minyak dan Gas” memprediksi pada tahun 2016, permintaan minyak Tiongkok akan meningkat 4,3%, dan ketergantungan pada minyak impor akan meningkat menjadi 62%.
Jadi kemungkinan keluhan Putin mungkin dikarenakan harga minyak jatuh dan penurunan permintaan minyak Tiongkok. Sebenarnya memang permintaan Tiongkok menurun. Tahun lalu, permintaan global meningkat sebesar 1 juta barel per hari. Tiongkok ada peningkatan permintaan 500 ribu barel per hari. Analis Tiongkok menganggap ini sudah setengah dari peningkatan permintaan global.
Namun masih tidak bisa merangsang harga minyak internasional. Walaupun Tiongkok sebagai salah satu pengimpor minyak utama dan terbesar di dunia, jumlah impor minyak Tiongkok harusnya relatif besar dan bisa mempengaruhi pada harga minyak.
Tapi apa yang terjadi sekarang, ada fenomena yang cukup tidak biasa pada tahun lalu, Tiongkok mengimpor banyak minyak, tapi itu masih tidak cukup untuk membawa tren harga minyak pada pasar minyak. Pada situasi saat ini terutama dikarenakan ada kelebihan pasokan.
Adapun produksi global, karena harga minyak yang cukup rendah, semua pihak meningkatkan produksi untuk menebus kerugian. Meskipun permintaan minyak pasar Tiongkok meningkat, itu tidak cukup membuat pasar mencapai keseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Badan Energi Internasional memprediksi pada tahun 2016, pertumbuhan permintaan minyak global akan melambat menjadi 1,2 juta barel per hari, dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata harian global 2,6 jut barel per hari pada tahun 2015, jika tidak ada pengurangan produksi, setidaknya akan ada kelebihan minyak mentah yang diproduksi sebanyak 1,4 juta barel.
Karena beberapa media meringkas : Akar penyebab penurunan tiba-tiba harga minyak adalah dalam upaya untuk secara eksplosif dan kolektif memperbaiki ketidak seimbangan antara pemasokan dan permintaan.
Jadi harga minyak tidaklah makin rendah makin baik. Harga minyak yang rendah memang jelas bagi pengimpor minyak utama seperti Jepang yang tergantung pada minyak impor sepenuhnya, dan Tiongkok yang merupakan pengimpor minyak terbesar dunia, akan menguntungkan karena pengeluaran mata uang asing atau devisa dapat dikurangi banyak.
Masa Transisi Penggantian Energi Dunia
Selain dari ketidak-seimbangan pasokan dan permintaan, para pakar energi juga memberi jawaban yang tersembunyi atau tersamar.
Karena sangat kelebihan produksi, serta kemajuan teknologi, sebenarnya harga miyak jatuh kali ini sangat mirip dengan krisis global yang telah kita alami pada tahun 1929. Satu hal dimana kita menuju Revolusi Industri Pertama ke Revolusi Kedua, dan Revolusi Industri kedua ke Revolusi Indusrtri ketiga.
Kita bisa melihat kemajuan teknologi, termasuk mobil, mobil hybrid dan monbil listrik juga berkembang dengan cepat. Sehingga orang semua dapat melihat teknologi baru sedang datang dan menjadi pendekatan baru, hal-hal yang lebih tua ditinggalkan secara bertahap oleh pasar. Sama seperti batu bara di masa lalu. Jadi sampai hari ini, masalah yang kita hadapi adalah proses serupa. Demikian menurut banyak analis.
Dengan peningkatan teknologi secara konstan, dan kesmpurnaan yang terus menerus berkembang, permintaan minyak secara bertahap berkurang. Jadi dalam situasi semacam ini dengan permintaan berkurang, bagi negara-negara penghasil minyak tersebut berpacu dengan waktu, yang paling penting adalah untuk memperoleh uang sebanyak mungkin sekarang.
Pada 12 Desember 2015, pada Konferensi Perubahan Iklim Paris, telah dicapai secara signifikan hasil historis, AS kosumen minyak terbesar dunia dan konsumen minyak ke-2 dunia Tiongkok, masing-masing membuat janji untuk meningkatkan pengurangan emisi secara besar-besaran.
Strtuktur energi transisi, dan peningkatan skala besar dalam investasi energi bersih telah menjadi tujuan dan usaha semua negara di dunia. Industri biaya tinggi, industri tradisional yang boros minyak dan energi yang sangat polusi, secara bertahap digantikan yang biaya rendah, polutan rendah, industri energi bersih, dan irit energi. Ini menjadi tren utama pembangunan sekarang.
Dengan latar belakang revolusi gas serpih AS, dan diverfikasi serta energi bersih atau cleansing energi dari impor Tiongkok, negara-negara pengekspor minyak tradisioanl merasa tertekan. Harga minyak yang rendah telah dijadikan senjata untuk memperpanjang tren revolusi struktur energi ini.
Ambil mobil sebagai contoh, tahun lalu total penjualan mobil AS mencapai 17,5 juta mobil, tapi hanya 116,500 mobil yang bertenaga listrik atau mobil hybrid. Jumlah ini bahkan lebih rendah dari jumlah yang dijual pada tahun 2014.
Untuk negara seperti Arab Saudi tentu saja tidak ingin adanya energi baru muncul. Dalam kenyataannya, berdrasarkan penelitian, selain Arab Saudi semua perusahaan minyak benar-benar telah tertekan dengan munculnya teknologi energi baru.
Strategi Arab Saudi mungkin menyebabkan penurunan investasi di bidang teknologi energi baru, atau menyebabkan proses meperlambat untuk beberapa waktu tertentu, tapi bagaimanapun tidak akan mengubah arah akhir dan hasil pencapaian energi baru.
Organisasi keuangan terbesar dunia, Merrill Lynch menunjukkan bahwa untuk jangka panjang, lingkungan dunia yang mulai berupaya untuk mengontrol emisi gas rumah kaca dan meningkatkan efisiensi energi, penurunan harga minyak lebih menguntungkan Arab Saudi mencapai tujuannya memaksa AS untuk mengurangi produksi minyak.
Tapi hanya negara-negara yang bisa bertahan dengan kerugian dari harga minyak yang rendah yang dapat menerapkan strategi jangka panjang ini. Dengan harga minyak yang dipaksa turun menjadi kurang dari 70 USD per barel, hal ini bahkan akan menyulitkan Arab Saudi sendiri untuk menjaga keseimbangan keuangan nasional.
Hari ini, harga internasional minyak telah jatuh sekitar 30 USD per barel, namun negara-negara OPEC yang dipimpin Arab Saudi masih menolak untuk mengurangi produkasi. Dengan cara itu bagaimana riuh “teori konspirasi” dari harga minyak ini dimainkan?
OPEC adalah organisasi negara-negara pengekspor minyak terbesar di dunia. Untuk waktu yang lama, telah mempertahankan keseimbangan antara pasokan dan permintaan minyak dunia, dengan mengurangi produksi ketika harga minyak turun, dan meningkatkan produksi ketika harga minyak naik, bertindak sebagai stabilisator pasar.
Tapi pada 2014, OPEC sengaja tidak menurunkan produksi, dengan harapan membuat harga minyak turun tajam, itu bisa menyerang AS dan negara-negara penghasil minyak lainnya.
Sekarang dengan penurunan drastis harga minyak internasional, sehingga menyebabkan “krisis anti-minyak” sedang meletus. Pengekspor minyak utama seperti Venezuela dan Rusia mengalami resesi ekonomi, tingkat pengangguran yang tinggi, konsumerisme melemah. Bahkan negara kaya seperti Arab Saudi mengalami defisit akibat dari rendahnya harga minyak, sehingga memaksa untuk mengurangi keuntungan.
Dalam kenyataannya, kita dapat melihat ekonomi semua negara penghasil minyak berada dalam kondisi yang sangat buruk. Misalnya, Arab Saudi juga dalam keadaan yang tidak baik, cadangan mata uang asing menurun hingga garis bawah, konflik domestik telah menjadi sangat besar, kemudian situasi yang paling klasik adalah Rusia.
Situasi Venuzuela bahkan lebih buruk lagi, karena produksi mereka adalah minyak berat (heavy oil). Karena banyak orang bisa memakai minyak yang lebih baik, minyak ringan (lighter oil), jadi mereka jika bisa memilih tidak akan menggunakan minyak Venezuela.
Meskipun begitu, pada bulan Desember tahun lalu, negosiasi pembatasan produksi OPEC gagal, dan pimpinan OPEC, Arab Saudi menyatakan akan terus meningkatkan produksi.
Setiap pihak bertindak dengan psikologi kelompok. Pada kenyataannya, jika semua pihak melompat dari kereta (kelompok/kesatuan), maka mereka bertindak rasional. Setelah harga minyak turun, meskipun laba per barelnya berkurang, tapi negara-negara penghasil minyak hanya berupaya meningkatkan produksi untuk mempertahankan pendapatan.
Misalnya, mereka mungkin sudah menetapkan jumlah pengeluaran tertentu, dan mereka harus bisa memperoleh pendapatan yang dibutuhkan itu, jika tidak, maka akan terjadi masalah politik. Jadi pada titik persoalan ini, mereka akan tidak perduli apapun untuk bisa mendapatkan pendapatan untuk itu. Kini karena harga minyak turun maka mereka harus produksi dan menjual lebih banyak agar jumlah yang dibutuhkan diperoleh.
Ini yang menyebabkan lingkaran setan, dan semakin mereka berproduksi lebih semakin harga akan jatuh. Tujuan mereka hanya untuk menjaga keseimbangan keuangan mereka.
“Jika negara-negara penghasil minyak lainnya bersedia untuk bekerjasama, Arab Saudi bersedia untuk bekerjasama, namun Arab Saudi tidak akan memainkan peran penyeimbang atas ketidak-seimbangan struktural saat ini saja.” Ini sikap Aramco Saudi yang menunjukkan alasan sebenarnya mengapa Arab Saudi belum bersedia untuk mengurangi produksi.
Setiap negara penghasil minyak tidak mengambil tindakan yang konsisten, ruang yang ditinggalkan oleh pemegang pangsa pasar saat ini akan segera di-isi oleh lawan-lawan mereka yang kembali ke pasar, dan mereka akan kehilangan dua kerugian, pangsa pasar dan uang.
Kita tahu harga minyak pernah diatas 100 USD per barel, ketika itu harga sudah tinggi, jadi investasi mereka sudah kembali. Jadi bagi mereka untuk mempertahankan pangsa pasar menjadi lebih penting. Dengan kata lain, mereka mungkin mengambil lebih sedikit pajak, atau mereka dapat meningkatkan efisiensi produksi, atau memberi lebih sedikit uang kepada perusahaan produksi, tapi tidak ingin kehilangan pangsa pasar mereka, di waktu-waktu dekade yang akan datang, jika kehilangan pangsa pasar mereka tidak pernah mendapatkannya lagi.
Jika mereka membiarkan harga meningkat, maka mungkin akan dengan cepat diganti, dan mungkin minyak pihak lain akan menggangtikan mereka. Jika teknologi lain menggangtikan mereka, maka industri minyak akan mati.
Dan serangan balik AS di pasar minyak mentah menjadi duri dalam daging bagi Arab Saudi. Pada akhir Nopember 2015, malam sebelum pertemuan tingkat menteri OPEC, Menteri Perminyakan Saudi, Ali Al-Naimi, sebelumnya menjadi harapan terbesar untuk pasar, ketika berjalan menuju pertemuan ketika ditanya kepada wartawan mengatakan: “Mengapa Arab Saudi perlu mengurangi produksi? AS juga adalah produsen minyak utama sekarang. Apakah mereka mengurangi produksi?”
Jawaban yang bermakna halus ini untuk mengkonter AS. Memang benar AS telah berubah dari pengimpor minyak terbesar di dunia menjadi potensi penantang terkuat untuk pasar minyak mentah internasional.
Menurut prediksi dari US Energy Information Adminstration, Desember lalu, produksi minyak mentah AS 9,24 juta barel per hari, sementara Arab Saudi 10, 144 juta barel per hari. Jika Arab Saudi mengurangi produksi, maka akan menybabkan AS memperluas produkasinya, sedang jika harga minyak tetap, keuntungan Arab Saudi dan pasar akan mengalami atrophia (terhenti dan terambil alih).
Menurut Hua Min , Director World Economic Reseach , Universitas Fudan mengatakan: “Dengan kekuatan yang begitu besar, untuk mengurangi produksi tidak mungkin bisa menghentikan harga minyak internasional, tapi justru membuat kehilangan pangsa pasar mereka. Negara penghasil minyak sangat memahami bahwa mereka tidak bisa membiarkan ruang pangsa pasar menjadi kosong begitu saja.”
Pertarungan pangsa pasar mencerminkan perebutan kekuasaan pasar energi interrnasional. Pada Nopember 2014, dihadapkan dengan penurunan tajam pertama harga minyak, OPEC tidak mengurangi produksi untuk mengangkat harga minyak.
Dalam pandangan banyak ekonom suara OPEC untuk harga minyak internasional telah menurun cukup drastis.
Analis dari “New York Times” mengatakan : OPEC terlihat “tidak aktif” atau “tidak berdaya” dalam penurunan harga minyak internasional, ini mengindikasikan organisasi ini tidak lagi mempunyai kekuatan mengontrol pasokan dan mengendalikan harga minyak dunia.
Analis melihat perubahan struktural dari pasar minyak internasional menjadi sebab penting dari penurunan harga minyak. AS telah menggantikan Arab Saudi untuk menjadi produsen pengganti di pasar minyak global. Sedang pemerintah AS tidak mempunyai kekuatan untuk mengontrol produksi dari ribuan produsen penggnati ini.
Jadi situasi ini, adalah yang pertama terjadi dalam 40 atau 50 tahun untuk pertama kalinya kekuatan yang sangat kompetitif dan kuat di luar kawasan Timteng. Dan juga dipusat konsumen di dunia, yang berarti AS telah menjadi mampan. Ini menjadi satu ciri yang sangat penting dalam pasar minyak dunia.
Pada Desember tahun lalu, larangan ekspor AS yang sudah 40 tahun lamanya telah dicabut, ini menandakan AS secara proaktif masuk ke pasar minyak mentah. Dalam situasi semacam ini OPEC tidak memutuskan untuk mengurangi produksi, itu berarti bahwa AS menduduki dan menetapkan harga pasar minyak akan menjadi kenyataan yang sulit untuk dirubah.
Dan perang harga minyak rendah ini telah berlangsung lebih dari satu tahun, ini menunjukkan Arab Saudi dan anggota OPEC lainnya lebih suka merugikan diri sendiri dengan menurunkan harga. Tapi itu masih harus dilihat apakah ini benar-benar bisa menyebabkan negara-negara penghasil minyak Timteng untuk secara bersamaan memperbesar suara internasional mereka. Demikian menurut banyak analis melihat situasi harga minyak sekarang ini.
( Habis )
Sumber: Media TV dan Tulisan Luar dan Dalam Negeri
Oil Prices: What’s Behind the Drop? Simple Economics
This Time, Cheaper Oil Does Little for the U.S. Economy
World's Largest Energy Trader Sees a Decade of Low Oil Prices
Oil expert Daniel Yergin: 'hard times' ahead for producers
Oil prices are at the mercy of geopolitics
Setelah Anjlok di Bawah 30 Dollar AS per Barel, Harga Minyak Kembali Menguat
IMF cuts global growth forecasts
IMF Cuts Global Growth Forecast to 3.4% in Year of ‘Great Challenges’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H