Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kegeraman Prancis untuk Balas Dendam kepada “ISIS” (2)

9 Desember 2015   09:32 Diperbarui: 9 Desember 2015   13:46 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekuatan Militer Prancis Nomor Satu Di Eropa

Di Eropa, militer Prancis memang nomor satu, baik dalam jumlah personil atau jumlah persenjataan dan peralatan militer, dan semua jenis kondisi jaminan lainnya. Memiliki daya pukul yang terkuat di Eropa.

Jika dilihat dari perhitungan normal secara tradisional, seharusnya untuk merespon “ISIS” dengan meliter, dengan kapasitas militer demikian seharusnya akan sudah cukup dan baik-baik saja. Tetapi kunci perhitungannya telah berubah sekarang. Karena “ISIS” tidak memiliki militer formal, tidak tahu mereka berada dimana, tidak tahu ruang lingkup kegiatannya.

Selain itu mereka menggunakan senjata yang sama sekali tidak konvensional. Ini akan sulit bagi Prancis untuk menggunakan metode pengintaian (surveillance) yang normal untuk melihat apakah target itu tangki atau truk,. Jika truk atau pick-up yang mengangkut sayuran , maka itu adalah kendaraan transpotasi biasa, tetapi jika membawa senapan mesin atau peluncur roket, itu adalah salah satu inti dari alat perang “ISIS”.

Bagaimana cara untuk membedakan antara mereka secara rinci? Selain itu kombatan ini juga warga sipil ketika mereka tidak bersenjata. Bagaimana menentukan sifat target ini jika mereka bisa mengubah idenditas mereka dalam waktu singkat? Jadi hal ini yang menjadi masalah besar bagi pilot AU-Prancis untuk meluncurkan atau tidak meluncurkan bom. Pilot akan senang menjatuhkan bom jika menemukan target, tapi jika salah target akan jadi masalah.

Jadi yang paling sulit dan berat adalah melakukan pengintaian, verifikasi, dan mengikuti terus gerakan target. Misi ini akan lebih sulit dari melakukan pengeboman.

Melihat masalahnya, kapasitas merupakan satu hal, namun apakah Prancis bisa menangani teroris merupakan hal lain., terutama dalam perang yang tidak simetris ini, perang terhadap kelompok yang bukan negara. Karena kekuatan militer ini akan seperti meninju kapas, diperlukan yang memiliki vector. Jika tidak memiliki informasi yang akurat, dan tidak memiliki kerjasama yang efektif, mungkin tidak akan mencapai apa-apa. Jadi dalam hal ini mereka harus kuat, tetapi harus akurat.

Dalam menanggapi sengitnya Prancis melakukan serangan udara di Al-Raqqa 15 Nopember lalu, beberapa analis dan aktifis lokal menunjukkan alasan mengapa sudah lebih dari setahun operasional Prancis tidak efektif dalam serangan udara dari koalisi internasional pimpinan AS, karena “ISIS” telah menyembunyikan senjata, sistem komunikasi, dan jet tempur di benteng-benteng atau daerah padat penduduk lebih awal untuk menyelematkan mereka. Karena kurangnya info intelejen dan kekhawatiran mereka akan mebahayakan penduduk yang tidak berdosa, mengakibatkan pilot yang melakukan serangan udara menjadi ragu menjatuhkan bomnya.

Kali ini Prancis mengerahkan kekuatan militer yang cukup, masalah utama apakah akan berguna? Karena mereka harus mampu melihat musuh.

Saat ini, Prancis telah mempusatkan peralatan elit dari AU dan AL di kawasan ini. Sudah memiliki kemampuan untuk menghatam musuh, tapi target yang mana, dimana target mereka? Target apa saja yang sudah dihancurkan? Target mana yang perlu mereka hantam untuk mengganggu dan memutus link teroris? Pertanyaan-pertanyaan ini yang menjadi paling penting.

Memang Prancis mempunyai kemampuan untuk menentukan, tapi itu tergantung seberapa baik mereka dapat melihat musuh mereka. Hal-hal semacam ini yang menjadi standar emas atau indeks penting akan kesuksesan Prancis di kawasan tersebut.

Bagaimana seharusnya Prancis dengan kekuatan dahsyat ini untuk meningkatkan daya “penglihatan”, sehingga bisa “melihat musuh”, kemudian menghantam dan menghancurkan mereka?

Berkaitan dengan masalah ini, ahli strategi Dubai, Theordore Karasik dengan tajam menekankan bahwa serangan Prancis mengungkapkan yang tidak memjanjikan untuk serangan udaranya, jika hanya melakukan serangan udara saja, mereka tidak akan bisa menghancurkan “ISIS”. Mereka perlu koordinasi dengan pasukan darat.

Memang benar dengan kordinasi dengan pasukan darat, Prancis akan lebih akurat memperoleh info intelijen tentang musuhnya dan “mempertajam penglihatan”. Namun mengirim pasukan darat jauh ke dalam daratan Timteng menjadi subyek taktik yang taboo bagi militer banyak negara.

Tegasnya, mengirim pasukan darat akan menjadi cara yang paling efektif saat ini, namun tidak ada yang mau mengirimnya, karena pasukan daratnya akan menghadapi resiko yang sangat besar di kawasan ini. Mereka akan tidak terbiasa dengan medan, lingkungan atau musuh mereka, karena menghadapi musuh yang tidak diketahui. Jadi kali ini Prancis berperang tidak tahu bagaimana harus melawan. Ini sama dengan “ISIS” di utara Syria, mereka menyelusup dengan senter untuk memasuki kawasan tersebut.

Mereka akan berada dalam resiko yang besar, dan pada awalnya akan mengalami kerugian besar. Bagaimana kerugian ini akan mempengaruhi kemampuan setiap negara untuk melawan “ISIS”? Ini akan mempengaruhi strategi mereka, bahkan akan mempengaruhi pemilu di negaranya, tampaknya ini semua menjadi pertimbangannya. Cukup masuk akal sehat operasi militer di kawasan ini harus di-integrasikan udara dan pasukan darat. Tapi mengapa semua negara yang telibat melawan akal sehatnya?  Mungkin kerena mereka khawatir akan mengalami kerugian yang tidak proposional untuk keuntungan dalam operasi tempur mereka.

Berhubungan dengan hal tersebut ”Wall Street Journal” mengungtip keterangan seorang Prancis yang mengatakan, jika militer Prancis terlibat dalam perang darat dengan “ISIS” akan jatuh dalam perangkap tersebut.

Presiden Prancis, Hollande mengatakan “Beberapa orang telah menyarankan Prancis mengirim pasukan darat, namun masalah ini menggantung di depan kita, saya percaya mengirim pasukan darat Prancis ke Syria terlalu terburu-buru dan tidak praktis.”

Jika pasukan darat tidak dapat dikirim ke jantung kandang singa untuk mengekstrak info itelijen, maka Prancis dapat bekerjasama dengan negara yang sudah mempunyai intelijen. Tapi sudah menjadi rahasia umum, NATO dan Prancis telah biasa mengandalkan dengan sistem intelijen AS. Tapi untuk Syria hal ini tidak akan cukup.

Koalisi Dengan Rusia

Untuk kekurangan ini sudah barang tentu Prancis akan mempertimbangkan Rusia, yang dalam serangan udaranya di Syria telah menjadi pihak pertama yang memperoleh hasil yang sangat efektif. Apakah Prancis akan menggunakan ke-efektifitasan Rusia?

Pada 20 Nopember, foto anak  anjing Dobrynia tiba-tiba menjadi viral di internet, rupanya anjing herder Jerman yang berumur dua bulan ini adalah anjing polisi Rusia yang dihadiahkan kepada polisi Prancis, untuk menggantikan anjing polisi Prancis--Diesel yang tewas dalam menjalankan tugas ketika menangkap tersangka teroris Paris sehari sebelumnya.

Pemerintah Rusia mengatakan hadiah Dobrynia melambangkan persatuan kedua negara dalam memerangi teroris, dan mengatakan “kami berharap Dobrynia dapat menggantikan Diesel  dan terus melayani Prancis.” Pemerintah Rusia juga menulis di halaman facebook-nya “Dalam memerangi terorisme, kami akan mendukung rakyat dan polisi Prancis, dan juga memberi penghormatan kepada Diesel.”

Setelah posting ini banyak netizen yang tersentuh, dan memberi komentar untuk mengekspresikan dukungan mereka. Beberapa mengatakan “ini menyentuh dan menunjukkan persahabatan dari rakyat kedua negara ini.”

Namun ini hanya selingan kecil dalam hubungan pemanasan yang cepat antara Prancis dan Rusia setelah serangan Paris.

Hollande dalam pidatonya mengatakan : “Saya sangat menyadari bahwa tidak semua negara mempunyai kepentingan yang sama dan konsep yang sama, dan kita dalam sekutu, tapi pada saat krisis kita harus bersatu bersama-sama untuk menghancurkan musuh yang mengancam seluruh dunia, dan tidak membatasi hanya beberapa negara saja.”

Pada 18 Nopember, pada hari keberangkatan Charles de Gaulle, Presiden Hollande dalam pidato di TV mengatakan, ia berharap untuk membangun aliasi kontra-teororisme yang termasuk AS, tapi juga Rusia untuk melawan “ISIS” bersama-sama.

Hanya sehari sebelum itu, Hollande mengadakan hubungan tilpon dengan Presiden Rusia Valdimir Putin, mereka membahas dan memutuskan bahwa militer dan badan-badan intelijen kedua negara akan melakuan kontak yang lebih intim dan terkoordinasi untuk melawan kelompok teroris.

Pada waktu yang sama, Kantor Kepresidenan Prancis merilis sebuah laporan mengatakan bahwa Hollande berencana mengunjungi Rusia pada 26 Nopember untuk membahas lebih lanjut dengan Putin untuk menyerang “ISIS” dan menyelesaikan krisis Syria.

Rusia dengan segera memberi respon positif terhadap uluran ‘cabang daun zaitun’ dari Prancis ini. Pada 17 Nopember, di Pusat Pertahan Nasional Rusia, Putin berbicara dengan Komandan rudal jelajah Moskva, Rusia, yang berada di pos Laut Mediterania. Putin dengan jelas menyatakan Komandan harus bekerjasama dengan AL-Prancis “seperti satu sekutu.”

Putin mengatakan, Apabila kapal induk Al-Prancis beroperasi dekat posisi Moskva, kita harus membangun jalur komunikasi langsung dengan militer Prancis, dan memandang mereka sebagai sekutu dalam pertempuran. KASTAF Umum dan Menhan Rusia telah menerima perintah ini juga.

Rusia dan Prancis akan mengusulkan rencana operasi maritim dan udara bersama terhadap “ISIS”.

Sesuai dengan instruksi Putin ini, KASTAF Umum Rusia sedang merumuskan proposal untuk memulai operasi kontra-terorisme bersama dengan AL-Prancis.

Setelah kapal induk Charles de Gaulle mencapai perairan pantai Syria, mereka akan mengatur operasi militer bersama. Apa yang menarik perhatian adalah Prancis dan Rusia berlaku “seperti sekutu” di garis depan. Dan kerjasama ini terbentuk hanya dalam beberapa hari saja.

Kamis, 26 November, 2015.Putin dan mengunjungi Presiden Prancis Francois Hollande sepakat untuk berbagi informasi intelijen dan bekerja sama dalam memilih target dalam memerangi kelompok “Negara Islam” (ISIS), meningkatkan harapan untuk hubungan yang lebih erat antara Moskow dan koalisi yang dipimpin AS dalam memerangi kelompok “ISIS” menyusul serangan Paris. Kemudian Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Prancis Francois Hollande berjabat tangan setelah konferensi pers mereka setelah pembicaraan di Moskow, Rusia.

Menurut RIA Novosti kantor berita Rusia memberitakan, menurut informasi dari Staf Utama AL-Rusia mengungkapkan, nantinya ketika kapal induk Charles de Gaulle, Prancis melakukan serangan udara terhadap sasaran ekstrimis, kapal AL-Rusia akan memberi perlindungan tempur untuk kapal induk ini, membentuk pertahanan yang komprehensif terhadap udara, kapal selam, mencegah gangguan (disruption), dan semua jenis tempur lainnya. Jika terjadi keadaan darurat, seperti kegagalan atau terkena serangan/tertembak dari daratan yang menyebabkan jet tempur Prancis dalam keadaan darurat, maka AL-Rusia akan mengambil bagian untuk melakukan operasi penyelematan untuk pilot Prancis.

Kerjasama antara Prancis dan Rusia ini adalah dalam medan perang. Putin telah memerintahkan satgas Moskva Rusia harus proaktif melakukan kontak dengan armada kapal induk Charles de Gaulle di Laut Mediterania.

Kontak semacam ini jelas merupakan suatu komunikasi taktis. Ada konsensus tingkat senior bahwa dua armada ini harus secara independen dapat melakukan komunikasi nirkabel, atau berkomunikasi informasi lainnya, kerjasama semacam ini harus dilakukan dengan baik, kemudian juga akan ada kerjasama di udara.

Kerjasama di udara maksudnya, dimanapun jet tempur Prancis Erurofighter Typhoon dan Dassault Mirage 2000, dan juga jet tempur Rusia Su-25, Su-30, Su-34, saat akan menyerang harus saling memberi informasi, dan mereka harus melaksanakan perintah standar yang sama jika akan  menghantam target yang sama.

Apabila suatu saat, salah satu pihak tidak memiliki bom yang cukup, untuk menghancurkan sasaran, maka pihak lain bisa menindak lanjuti dengan menyerang target yang sama dengan senjata yang berbeda. Atau bisa juga sama-sama bareng  menyerang pada waktu yang sama.

Saat ini, seharusnya tidak ada masalah menggabungkan kekuatan senjata yang berbeda bersama-sama. “Jika ini benar-benar terjadi merupakan kerjasama militer antara Prancis dan Rusia yang belum pernah terjadi sejak tahun 1945.”

“Le Parisien” Prancis yang juga di akui oleh AFP memberitakan, ini adalah “yang pertama kalinya sejak P.D. II negara kita (Prancis) telah bergandengan tangan melawan musuh bersama.”. Ini sinyal kerjasama Prancis dan Rusia yang makin kuat yang berkembang dalam waktu cepat yang tumbuh lebih dekat.

Juga pada 17 Nopember juga, para pejabat Rusia menegaskan bahwa jet penumpang Rusia yang jatuh di Semenanjung Sinai, Mesir merupakan korban serangan teroris dan pelakunya sebuah organisasi ekstrimis. Putin juga bersumpah berupaya akan menangkap pelakunya, dan juga sekali lagi menyatakan resolusi untuk bersatu dengan Prancis melawan musuh bersama.

Namun, apakah kerjasama Prancis dan Rusia tumbuh lebih dekat begitu cepat hanya karena serangan teroris baru-baru ini yang mereka alami?

( Bersambung ..... )

Sumber : Media TV dan Tulisan Luar Negeri & Dalam Negeri

http://www.dailymail.co.uk/news/article-2910573/French-deploy-nuclear-powered-aircraft-carrier-Middle-East-response-Paris-terror-attacks-Charles-Gaulle-join-strikes-against-ISIS-Iraq.html

http://www.usnews.com/news/world/articles/2015/11/26/french-president-to-visit-moscow-for-terrorism-talks

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun