Joseph Cirincione, seorang ahli Non-Proliferasi memberi penjeleasan: Untuk pertama kali dalam zaman nuklir, Rusia membawa tombol nuklir dengan menghadap Presiden Rusia ketika itu, Boris Yeltsin, membuka kode komando dan tombol peluncuran rudal nuklir, meletakkan di meja dan berkata : “Kami berada dibawah serangan” , saat itu Boris Yeltsin pada dasarnya hanya diberi kesempatan lima menit untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.
Untunglah pada saat itu Yeltsin tidak dalam keadaan mabuk (Yeltsin sering mabuk minum), tapi apa yang dikatakan militer Rusia pada saat itu kepada Yeltsin. Dia mengatakan: “Itu pastinya ada kesalahan”. Tapi menurut doktrin militer Rusia, Boris Yeltsin harus meluncurkan dengan all out dengan habis-habisan untuk serangan balik kepada AS pada waktu pagi itu. Kami tidak tahu apa yang terjadi di Kremlin, tapi yang kita tahu serangan balik tidak jadi diluncurkan.
Lebih lanjut dia mengatakan, suatu ketika sebuah rekaman pelatihan dengan tidak sengaja masuk dalam komputer Komando dan Kontrol kantor pusat kami di NORAD, semua orang yang terlibat disini pikir ada serangan. Dengan perkembangan kecepatan teknologi komtemporer, tingkat kesalahan dari sepuluh tahun yang lalu hanya bisa membuat hal-hal yang bisa lebih ber-resiko dari sebelumnya. Demikian menurut Cirincione.
Menurut perkiraan, AS dan Rusia saat ini memiliki sekitar 4.500 hulu ledak nuklir, yang merupakan lebih dari 90% dari senjata nuklir dunia yang ada. Laporan dari gerakan “Global Zero” pada Mei 2015, dengan jelas menunjukkan setengah rudal nuklir di AS dan stokpil Rusia telah menggunakan kebijakan “launch-on-warning” (peringatan pada peluncuran).
Kebijakan ini sangat berbahaya di dunia modern, karena “adanya makin lama makin kecil kesempatan antara peringatan dan keputusan, sehingga kemungkinan melakukan kesalahan yang mematikan yang disebabkan oleh sistem kontrol nuklir terus meningkat setiap hari.”
Selain itu, dengan meningkatnya serangan cyber telah menjadikan resiko lebih tinggi untuk tingkat peringatannya. Mantan Jendral AL-AS James Cartwright menunjukkan dalam artikel di “New York Times” pada bulan April 2015, menuliskan :“Kami menyerukan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengendalikan eskalasi krisis, dan mengurangi resiko yang disengaja atau tidak disengaja atas peluncuran nuklir, termasuk resiko serangan cyber.”
Jadi kedua belah pihak sedang menyesuaikan, dan mempertimbangkan apakah akan atau tidak untuk kebijakan peringatan peluncuran serangan balik untuk dijadikan model utama. Karena saat ini, kedua belah pihak tahu bahwa menggunakan senjata nuklir untuk menyerang yang lain akan menjadi bencana bagi kekuatan nuklir utama
Jika serangan itu dari kekuatan nuklir kecil/minor (nagara) atau apa yang oleh AS dianggap bangsa nakal yang melakukan serangan balik pada mereka, sistem pertahanan rudal balistik akan cukup untuk mencegat mereka, sehingga mereka tidak perlu memobilisasi segala sesuatunya untuk melaksanakan pembalasan dengan skala besar pada kekuatan kecil ini.
Namun, walaupun semua berjalan seperti apa yang diinginkan seluruh dunia, dan AS dan Rusia mengakhiri kebijakan “Peringan pada Peluncuran” ini hanya akan menjadi setetes air di padangan pasir untuk meredakan ketakutan manusia terhadap senjata nuklir.
Senjata Pembunuh Massal & Teroris