Intervensi Rusia yang kuat dalam situasi Syria telah memaksa beberapa negara besar di Timteng untuk malakukan penyesuai atas politik luar negerinya. Yang tadinya juga memperhitungkan AS kekuatan sebagai aliansinya, kini berubah.
Para pemimpin aliansi AS di Timteng seperti Israel dan Turki sudah berkunjung ke Moskow bertemu dengan Putin sebelum Rusia terlibat di Syria.
Bahkan Arab Saudi yang mewakili sikap garis-keras, Menlu mereka Adel al-Jubeir dengan tegas menolak ajakan Rusia pada akhir September 2015 untuk Komunitas Internasional begabung dengan pemerintah Syria dalam melawan ISIS bersama-sama, bahkan menyatakan bahwa Presiden Al-Assad harus memundurkan diri atau digulingkan paksa.
Tapi apa yang tidak terduga bahwa hanya berselang beberapa hari dalam operasi militer Rusia di Syria, sikap Arab Saudi melunak. Setelah Menlu Rusia, Sergey Lavrov mengadakan pembicaraan tingkat tinggi dengan Arab Saudi, ia mengadakan konferensi pers dimana ada mengatakan bahwa Rusia dan Arab Saudi telah sepakat untuk kerjasama militer dan diplomatik saat memerangi terorisme, dan kedua negara berdedikasi untuk mempromosikan rekonsiliasi antara Syria, untuk memberlakukan suatu proses politik bagi semua faksi dan level di Syria agar semua bisa mengambil bagian, dalam waktu sesegera mungkin.
Untuk hal itu Arab Saudi akan terus berkoordinasi dengan Rusia untuk menjamin persatuan nasional Syria, dengan tegas dan teguh untuk menyelesaikan masalah Syria melalui jalur politik.
Diplomasi Rusia Sementara Berada Diatas Angin
Bagi Rusia, untuk tingkat tertentu, itu merupakan warming up hubungannya dengan semua negara-negara di Timteng, yang bermanfaat bagi Rusia dalam urusan timbal balik di sektor persaingan energi. Jadi operasi militer Rusia di kawasan ini telah mengalami lebih dari sekedar “penindasan” AS, tapi juga dapat tekanan dari negara-negara Arab. Dari perspektif ini, strategi Rusia di Timteng tidak salah melakukan apapun yang menyenangkan,
“The Christian Science Monitor” AS melaporkan, pada 14 Oktober 2015, Putin menyelematkan Bashar al-Assad sudah tidak diragukan lagi, dia terutama menggunakan intervensi militer untuk mencapai tujuan besar itu. Sederhananya Putin ingin memanfaatkanperbandingan dengan AS untuk membuat semua pihak melihat bahwa Rusia lebih tegas, dan memberi pilihan untuk kawasan ini memilih pasangan.
Nikolas Gvosdev seorang ahli untuk hubungan AS-Rusia di AS (the US Naval War College) mengatakan, dengan menukik menyelamatkan rezim yang terhuyung-huyung Mr. Putin menyatakan dengan keras dan jelas bahwa gaya Amerika untuk merubah rezim tidak bisa dipercaya.
Untuk sebagai perbandingan dengan Obama, Rusia berusaha untuk memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat dan lebih handal dari kekuatan utama di Timteng. Putin mengatakan, “Washington tidak lagi satu-satunya negara yang bisa menyelesaikan masalah.”
Setelah Obama menjadi presiden AS, dia mengumumkan untuk menarik pasukan dari Afganistan dan Irak, dan bersumpah untuk keluar dari Timteng. Tapi dengan keluarnya AS menyebabkan kekuatan Timteng menjadi tidak seimbang dan stabil, bahkan menjadi turbulen. Obama ingin cepat keluar tapi tidak bisa karena terjebak dalam lumpur.