Masa jabatan Aquino III sedang memasuki periode akhir, dia akan mengundurkan diri dari jabatannya bulan Juni mendatang (tahun depan). Saat ini tingkat pengangguran Filipian tetap tinggi, dan situasi ekonomi tampak suram, Aquino sudah mulai melakukan hal yang sensasional pada isu Laut Tiongkok Selatan untuk menjadikan topik kampanye pemilu yang akan datang.
Tapi prilaku radikal ini tampak belum mendapat dukungan publik secara besar-besaran di dalam negeri Filipina. Beberapa senator Filipian mengeritik presiden dengan keras sekali untuk pernyataan yang memungkinkan militer Jepang menggunakan pangkal militer Filipina, karena dianggap berani melanggar konstitusi yang melarang militer asing untuk berpartisipasi dalam latihan militer.
Jika melihat dari dekat “rencana tiga langkah” Filipina tampaknya bertentangan dengan kenyataan. Tiongkok menuduh Filipina dengan melakukan “tiga langkah” itu berarti mengganggu kedaulatan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan dan hak maritimnya, bila hal itu dilihat kembali dengan sejarah untuk masalah Laut Tiongkok Selatan.Dengan memberi rincian sebagi berikut :
Pertama, secara paksa menduduki 8 pulau dan beting/terumbu di Kep. Nansah/Sparatly, kemudian menerobos sembilan garis putus Tiongkok. Terakhir ini berusaha “mengkukuhkan” kehadirannya di pulau dan beting yang telah diduduki termasuk pengaduan kepada arbitrase internasional.
Dalam kaitannya dengan masalah dengan Filipina ini, Menlu Tiongkok, Wang Yi mengatakan kepada pers : “Saya mengatakan kepada wartawan, Filipina mengusulkan “rencana tiga langkah” tapi mereka tidak mengikuti langkah-langkah mereka sendiri, mereka langsung melakukan langkah ketiga.
Arbitarse untuk Laut Tiongkok Selatan merupakan permainan yang berbeda bagi Filipina dalam isu Laut Tiongkok Selatan.
Pada Juli 25, 2015, dalam sidang untuk “kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan” berakhir tanpa hasil. Pengadilan berencana akan memutuskan pada akhir tahun ini, atau memutuskan ada tidaknya memiliki yurisdiksi untuk kasus ini.
“The Diplomat” terbitan Jepang menuliskan, Filipina belum menerima hasil yang mereka inginkan dari persidangan ini, dan setelah tahu masalah itu, mereka masih menunutup diri dalam posisi canggung atas kesalahan prosedural yang paling mendasar.
Pada 22 Januari 2013, Filipina mengusulkan dengan paksa arbitrase untuk masalah Laut Tiongkok Selatan antara Tiongkok dan Filipina. Setelah itu Filipina tidak mengambil catatan secara terus menerus dari Tiongkok, dan bersikeras mendorong maju proses arbitrase ini.
Pada 7 Desember 2014, Menlu Tiongkok resmi merilis “Paper on the Matter of Jurisidction in the South China Sea Arbitration” (Laporan Yurisdiksi di Laut Tiongkok Selatan), yang menegaskan posisi teguh/kokoh Tiongkok tidak bisa menerima atau berpartisiapsi dalam arbitrase ini, dan secara komprehensif menjelaskan sikap Tiongkok dan penalaran serta alasan mengapa pengadilan arbitrase tidak memiliki yurisdiksi untuk hal ini dalam persepektif hukum.
Menurut pihak Tiongkok, mereka sudah mengadopsi prinsip tidak menerima atau berpartisipasi dalam hal ini. Pada tahun 2006 pemerintah Tiongkok membuat pernyataan lain dan mendeklarasikan Tiongkok tidak akan mengajukan banding untuk sengketa yang melibatkan kedaulatan dan integritas teritorial dengan pihak ketiga atau arbitrase internasional.