Mohon tunggu...
Sucahya Tjoa
Sucahya Tjoa Mohon Tunggu... Konsultan - Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Lansia mantan pengusaha dan konsultan teknik aviasi, waktu senggang gemar tulis menulis. http://sucahyatjoa.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa Latar Belakang Konflik Islam “ Sunni vs Syiah” di Timur Tengah (2)

8 Juli 2015   07:05 Diperbarui: 8 Juli 2015   07:05 2648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Kembali Pada Zaman Sekarang

Pada 24 mei 2015, seorang milisi Houthi Yaman mengatakan kepada dunia luar, bahwa mereka telah menembak jatuh sebuah jet tempur Arab Saudi dari pasukan gabungan. Mereka juga menunjukkan reruntuhan jet tempur yang tertuliskan “Royal Saudi Air Force”.

Seorang Komandan Haouthi, Abdel Qadir al-Shami memberi penerangan : “Pesawat ini salah satu yang berhasil kita tembak jatuh sekitar jam 2:15 subuh di pagi hari. Sebelum ini, pesawat ini telah melakukan beberapa kali serangan udara terhadap Departemen Keamanan di berbagai tempat di sekitar Sana’a, termasuk pusat komando Angkatan Udara Yaman.

Pada 5 Maret 2015, milisi Houthi melakukan serangan besar terhadap kota Aden, Yaman Selatan, dan Presiden Yaman Abdullah Rabbuh Mansur Hadi dipaksa melarikan diri. Keesok harinya, aliansi militer yang dipimpin Arab Saudi melakukan serangan udara terhadap pasukan Houthi diseantero Yaman yang terus berlangsung hingga kini.

Banyak pengamat dunia luar mempertanyakan : Apa yang layak diperhatikan dalam serang ini? Ini adalah untuk pertama kalinya Arab Saudi masuk langsung dalam kancah peperangan dalam 25 tahun, sejak Perang Teluk pada tahun 1991.

Juru bicara Arab Saudi, Ahmad Asiri mengemukan, AU Kerajaan Saudi melakukan  serangan udara terhadap pusat komando dan kantor pasukan Houthi, serta lebih dari 17 tempat mimpinan dan asosiasi serta afiliasi mereka.

Mengapa Arab Saudi yang selama ini terlihat selalu moderat tiba-tiba ikut campur dalam urusan negara lain?

Sebenarnya sudah sekian lama Arab Saudi terlihat sangat jelas dan bersih dalam konflik yang terjadi di Timteng selama ini. Dan Riyadh Ibu kota Arab Saudi sekarang menjadi “rumah bagi orang yang terbuang” (pelarian dari negara lain).

Reyad Yassin Abdulla mantan Menteri Luar Negeri Yaman, yang melarikan diri bersama mantan Presiden Yaman, Hadi. Yang kini memimpin sebagai Menlu sementara di hotel bintang lima di Riyadh. Ahmad Jarba mantan pemimpin oposisi Syria --“Syrian National Coalition”, dia juga berada di Riyadh. Selain itu ada juga banyak pemimpin lain dari “Free Syrian Army” (Tentara Syria Bebas) yang bernasib sama hidup dalam pengasingan seperti begini. Mereka mendapat uang dan senjata dari Arab Saudi dan harus menaati perintah Arab Saudi.

Demikian juga dengan Zine El Abidine Ali, mantan presiden Tunisia, yang pada Januari 2011 digulingkan selama “Revolusi Musim Semi Arab” (Arab Spring), setelah itu hidup tenang di Riyadh sebagai pelarian.

Pengamat melihat adanya kontes tajam antara kelompok Sunni yang diwakili Arab Saudi, dan kelompok Syiah yang diwakili Iran, hal ini dimulai setelah Perang Irak tahun 2003. Meskipun kedua kelompok ini dalam keadaan kontes yang sengit selama awal periode setelah Perang Irak, tapi masih bisa dibicarakan dibawah meja perundingan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu kontes ini secara bertahap telah lebih naik ke permukaan.

Situasi ini bisa dengan jelas terlihat jika kita melihat situasi di Syria atau Yaman, kontes antara kedua kelompok sangat jelas. Sehingga bisa dikatakan kini Arab Saudi sudah menjadi pusat semua urusan dan pusaran di Timteng saat ini.

Dibawah mantan kepemimpinan Raja Abdullah dari Arab Saudi, telah menempatkan negara ini harapan untuk menekan kekuatan Syiah Iran melalui sekutu Sunni-nya diseluruh dunia Arab. Sejak tahun 2005, Arab Saudi telah berhasil mengirim bantuan US$ 30 juta ke Lebanon, Irak dan Bahrain, dalam upaya membuat jaringan Sunni yang luas dibawah kontrol dan komando organisasi intelijen Arab Saudi.

Pada 2011, dengan terjadinya gejolak di pemerintahan Syria, Arab Saudi secara diam-diam lebih deras mendukung oposisi Syria dalam memerangi pemerintahan Syiah—Bashar al-Assad, Tapi hingga tahun 2014 tampaknya perkembangan situasinya makin lama makin tidak membawa keuntungan bagi Arab Saudi.

Demikian juga di Lebanon, gerakan politik dibawah pimpinan Sunni tidak mampu menekan kekuatan milisi Syiah – Hizbullah.

Di Irak, telah menghadapi pengaruh besar Iran, dimana perlawanan dari suku-suku Sunni dengan cepat menjadi layu, dan Syiah terus memegang kendali.

Di Syria, setelah empat tahun perang saudara, posisi Basha al-Assad tampaknya menjadi lebih stabil. Tapi yang lebih buruk justru terjadi mengikuti perkembangan kekacauan ini.,

Pada 2015, milisi sekte Syiah—Houthi justru menguasai Ibukota Yaman Sana’a, dan mengusir presiden yang didukung Arab Saudi – Presiden Abdullah Rabbuh Mansur Hadi. Dalam perspektif Arab Saudi, melihat ini merupakan untuk pertama kalinya pasukan Iran telah mendekati wilayah Arab Saudi.

Iran adalah negara Persia dan Iran juga Negara Islam Syiah. Syiah Iran dan Persia Iran telah menyebar pengaruhnya ke Irak setelah Perang Irak, yang tadinya merupakan Arab Irak yang dikuasai Sunni, selain itu Syiah-Irak telah menyebarkan pengaruhnya terhadap sekutu tradisionalnya—Syaria, mereka seolah membentuk satu wilayah kesatuan. Hal ini dengan sendirinya berpengaruh terhadap Hizbullah di Lebanon melalui Syria.

Jadi perkembangan ini yang menyebabkan dunia Arab Sunni menjadi “belingsatan” bahwa “Bulan Sabit” Syiah muncul di Timteng. Karena selama hampir 1400 tahun perkembangan Islam tidak pernah Persia Iran atau Syiah Syria menjadi begini kuat.

Untuk supaya tidak membingunkan, kita bisa buat lebih sederhana untuk geoplitik di Timteng seperti berikut : Ada empat geopolitik utama di Timteng, yaitu Persia Iran, Tukis Turki, Yahudi Israel dan Dunia Arab yang terdiri dari banyak negara. Tapi ada tiga negara tradisonal sebagai Arab : Syria, Irak dan Mesir.

Syria sebagaimana dikethui dikuasai oleh keluarga Syiah al-Assad yang selalu menjadi sekutu Iran, tapi diselubungi dengan perang saudara dan serangan bak setan ISIS. Setelah Irak yang sebelumnya dikelola orang kuat Saddam Hussein karena dikalahkan dalam perang oleh AS, Irak sekarang diperintah oleh kaum Syiah dan kini juga ter-frakmentasi.   

Mesir yang terlihat relatif stabil, tapi konflik antara pemerintahan el-Sisi dan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) terus memanas. Pemerintahannya juga belum mantap sekali.

Dengan situasi demikian, maka Arab Saudi sebagai “taipan minyak” telah menjadi negara yang paling kuat di dunia Arab.

Secara tradisonal selama ini Arab Saudi mengambil sikap diplomatis merendah, dan jarang mengambil sikap dengan tindakan militer. Dan banyak pengamat yang melihat kini telah mendobrak aturannya. 

Mengapa ini terjadi? Karena sebelumnya secara tradisional, sejauh kebijakan luar negerinya, Arab Saudi dapat menggunakan Mesir untuk berbicara atas nama kepentingannya dan negara-negara Arab.

Dalam urusan militer ada AS yang memainkan perannya secara langsung. Misalnya, di masa lalu saat Perang Irak-Iran, bisa mendukung Irak dalam memerangi Iran, juga untuk semua perang yang terjadi di Timteng bisa mendukung Syria, dan Mesir dalam perkelaian mereka, tapi itu untuk masa lalu, masih ada negara-negara kuat di depannya, sehingga tidak perlu menggunakan metode militer atau diplomatik. Tapi sekarang negara-negara kuat ini telah menjadi lemah, mereka tidak bisa lagi memainkan peran yang pernah mereka lakukan lagi.

Kekuatan dunia Arab sedang melemah, tapi sebaliknya Persia kekuatannya terus meningkat. Pada 25 Maret 2015 lalu, Hadi terusir dari Yaman, Yaman kini dikuasai oleh milisi Syiah Houthi. Raja Salman yang baru naik tahta selama dua bulan ini dengan cepat mengorganisasikan serangan udara sekutunya terhadap Houthi. Namun serangan udara ini oleh dunia luar dilihat masih “penuh keraguan yang ekstrim”.

Angkatan Udara Kerajaan Saudi mengatakan bahwa tujuan serangan untuk “memulihkan pemerintahan Yaman yang legal” dan “melindungi warga Yaman melawan penindasan dari milisi Houthi dan mantan Presiden Ali Abdullah”.

Namun, setelah dua bulan serangan udara, yang telah menewaskan sekitar 2.000an orang, pemerintahan Hadi masih tetap dalam pengasingan di Riyadh.  Untuk peristiwa ini, “Al Riyadh” yang berbasis di Arab Saudi jelas mengirim pesan ke sekutunya – AS dan lawannya Iran : bahwa Arab Saudi siap untuk bertindak sendiri, dan tidak akan berdiam diri hanya menonton.” 

Di mata perwira militer Arab Saudi yang mengambil bagian dalam serangan udara, melihat serangan udara ini melambangkan perubahan dari perlindungan keamanan dari Timteng. Sebuah tantanan regional baru sedang terbentuk, dan Arab Saudi yang akan memimpin perubahan tersebut.

Aksi serangan udara terhadap Yaman menunjukkan Arab Saudi akan melawan mantan “butir-hatinya”, dan memainkan peran aktif dalam militer dan politik di Timteng. Sebenarnya sejak “Gerakan Musim Semi Arab” (Arab Spring) pada tahun 2011, kebijakan luar negeri Arab Saudi telah menunjukkan tanda-tanda perubahan.

Pengamat melihat perubahan ini bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan kekuatan Iran dan penurunan kekuatan Liga Arab, tapi yang lebih penting adalah transformasi kebijakan AS terhadap Timteng. Dengan AS keluar dari Timteng dan gelagat berbaikan hubungannya dengan Iran telah memaksa Arab Saudi naik ketengah gelanggan panggung dari pada berada dibelakang layar.

Pada 2 April 2015, website “US News and World Report” mempublikasikan sebuah artikel berjudul “The Obama Doctrine/Doktrin Obama” : “Biarlah Timteng Berperang Untuk Perangnya Sendiri” (Let the Middle East Fight Its Own Wars) dalam artikel ini dituliskan : “Sepanjang kepresidenannya, Obama telah berusaha untuk menempatkan tanggung jawab keamanan Timteng pada para pemimpin di kawasan itu, terutama untuk sekutunya seperti Arab Saudi yang telah telah diberikan miliaran dollar mesin militer oleh Amerika.”

Pada saat yang sama pemerintahan Obama juga menarik pasukan AS dari hot spot yang berbahaya. Jadi apakah kini dengan “penyerahan” AS, maka Arab Saudi sudah saatnya untuk “membelinya”?

Ada pemeo yang mengatakan di dunia tidak ada obat untuk penyesalan, lebih-lebih lagi politisi tidak akan mau menelan obat penyesalan. Jika sekarang kita berbicara dengan siapapun di AS dari orang biasa hingga pemimpin pemerintah yang sangat tinggi atau orang terpelajar, menanyakan mereka,  mana yang lebih menakutkan memerangi Saddam Hussein atau Iran, siapakah musuh sesungguhnya AS?

Dapat dipastikan bahwa tidak akan menemukan orang Amerika yang menyatakan memerangi Saddam Hussein itu adalah benar. Mereka pasti berpikir itu seharusnya menjadi pilihan terakhir, karena mereka berpikir jika Sadddam Hussein dan Muammar Gaddafi masih ada sekarang, akan lebih baik bagi AS.

Dalam situasi seperti sekarang ini orang Arab juga mengeluhkan AS. Dalam pandangan Arab Saudi, George W. Bush telah telah menyingkirkan musuh alami (bebuyutan) Iran—Saddam Hussein, itu merupakan kesalahan besar. Dan ditambah lagi, Obama terlalu terburu-buru menarik pasukan dari Irak dan Afganistan, itu dianggap kesalahan lebih besar lagi, yang membuat Iran menjadi menghangat.

( Bersambung ..... )

Sumber & Referensi : Media TV & Tulisan Dalam negeri dan Luar Negeri

http://www.albayyinat.net/jwb5ta.html

http://www.dw.com/id/syiah-sunni-kebencian-mengakar-di-arab-saudi/a-18492316

https://www.selasar.com/budaya/mengurai-konflik-sunnisyiah

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun