Witt menegaskan bahwa gender menjadi nyata bukan melalui "pernyataan diri (atau person)" melainkan "kita adalah diri yang digenderd-kan karena individu sosial pada dasarnya digenderkan dan diri memahami dirinya sensiri melalui peran-peran sosialnya, yaitu, dalam kaitannya dengan individu sosial." (MG 121).Â
Relevansi untuk Kesetaraan Gender
Witt menunjukkan bahwa pandangan esensialisme gender pertama-tama merujuk pada struktur sosial yang bersifat normatif. Norma-norma social tersebut pada dasarnya berbeda dari bentuk-bentuk normatif lain, termasuk norma moral. Norma-norma sosial itu berisikan harapan-harapan, tuntutan-tuntutan dan kelonggaran-kelonggaran karena pelbagai peran social yang kita miliki.Â
Kita menanggapi dan dievaluasi berdasarkan norma-norma social tersebut, tetapi juga pada saat yang sama kita menerima norma-norma tersebut bisa secara sadar tetapi juga secara tidak sadar. Misalanya, peran saya sebagai seorang saudara perempuan menuntut saya untuk melidungi saudara laki-laki saya dari segala mara bahaya. Atau sebagai peran sebagai ibu menuntut saya untuk menjaga dan merawat anak-anak dan melayani suami.
Akan tetapi menurut Witt, apa yang mempersatukan seluruh peran itu adalah gender saya sendiri. Gender dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai prasyarat yang mengkondisikan tindakan praktis saya dalam arti harapan-harapan terhadap gender and tututan-tuntutannya sering membuat ketidakmungkinan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dari berbagai peran social secara tepat. Maka upaya menjadikan menggenderkan peran sosial harus ditolak secara mendasar. (bdk. Natalie Stoljar, "Book Review: Witt, Charlotte, The Metaphysics of Gender, Oxford: Oxford University Press, 2011, pp. 168"
Witt mengatakan bahwa gender bersifat "unessential" bagi individu sosial. Diri adalah keberadaan yang mampu melakukan refleksi diri, dapat merespon dan dapat dievaluasi di bawah seperangkat norma-norma peran sosial karena diri memiliki identitas praktis tertentu. Namun, "... kapasitas untuk refleksi diri tidak melepaskan diri dari elemen asertif dari situasi normatifnya." Ketegangan ini dapat dilihat sebagai dimensi politik dari kehidupan pribadi di dalam masyarakat (MG 121-122).
Pandangan Witt di atas menginspirasi kita untuk melihat bahwa laki-laki atau perempuan adalah diri yang bersifat refleksif dan diri yang bersifat relasional. Sebagai diri yang bersifat refleksif, seorang laki-laki atau perempuan memiliki kemampuan untuk memikirkan dan memahami dirinya sendiri maupun realitas eksternal. Dengan kemampuan ini, ia dapat menerima dan menolak apa yang diberikan atau dipaksakan kepadanya oleh realitas sosial-eksternal. Sebagai makhluk relasional, seorang laki-laki atau perempuan hadir sebagai bagian dari masyarakat dengan berbagai peran sosialnya.Â
Melalui peran sosialnya, laki-laki dan perempuan sering diterima, ditolak, dan dievaluasi. Namun, peran sosial ini tidak dapat menggantikan jati dirinya atau esensinya sebagai laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan tetap menjadi person dengan kemampuan refleksi dan hubungan dengan masyarakat. Penekanan Witt ini dapat dilihat sebagai kritik metafisis terhadap budaya masyarakat saat ini yang sering lebih mengedepankan peran social seseorang dalam masyarakat dan tidak melihat esensi dirinya sebagai manusia.
Saya percaya bahwa kesetaraan gender akan tercapai ketika ada apresiasi terhadap setiap individu, laki-laki dan perempuan, sebagai diri yang mampu melakukan refleksi diri dan diri yang menjalin hubungan social dengan sesama. Peran sosial seseorang menunjukkan bahwa laki-laki dan peremuan pada dasarnya adalah sebagai manusia yang bermartabat.
Manila, 23 Mei 2018
Departemen Filsafat Ateneo de Manila University, Filipina