Mohon tunggu...
Imam wahyudi
Imam wahyudi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Panggil saja mas Yudh, seorang buruh swasta yang suka menulis daripada berkata-kata. Dengan kata lain seorang pendiam yang merekam segala macam peristiwa dan menumpahkan segalanya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Berkaca pada Langkah Budiman Sudjatmiko, Seberapa Besar Kemungkinan PDIP Berkolaborasi dengan Gerindra di Pemilu 2024?

29 September 2023   23:14 Diperbarui: 29 September 2023   23:19 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dukungan  Budiman Sudjatmiko kepada Prabowo Subianto adalah sesuatu yang menarik dalam dunia politik Indonesia. Ini menunjukkan adanya perubahan dalam sistem perekrutan pemimpin di negara demokrasi kita.

Sebut saja "Meritokrasi", sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Michael Dunlop Young pada tahun 1958, menggambarkan sebuah masyarakat masa depan di mana orang-orang dipilih untuk mengisi posisi-posisi berdasarkan prestasi, seperti kecerdasan dan usaha mereka, bukan berdasarkan etnis atau gender mereka. Meritokrasi dianggap sebagai prinsip keadilan yang ideal karena menawarkan kesempatan yang setara bagi semua orang.

Fenomena ini  tercermin dalam polemik antara Budiman Sudjatmiko, PDIP, dan Prabowo. Budiman, yang sebelumnya dikenal sebagai militan PDIP, memilih mendukung Prabowo, Ketua Umum Gerindra. Langkah ini tentu saja sangat kontroversial dan bertentangan dengan disiplin partainya.

Namun demikian, ada hal positif yang bisa kita peroleh dari fenomena ini. Pertama, ini menunjukkan semangat meritokrasi dalam menentukan pemimpin, bukan hanya mempertimbangkan afiliasi politik atau kepentingan politik semata. Kedua, fenomena ini mempertanyakan kredibilitas partai politik sebagai lembaga perekrutan pemimpin. Hal ini sejalan dengan meredupnya idealisme dan semakin kuatnya pragmatisme dalam partai politik.

Hal ini menunjukkan perlunya membangun sistem perekrutan pemimpin yang lebih meritokratis dan adil. Semua ini harus melibatkan konsensus sosial-politik, data keinginan masyarakat, dan sifat ideal seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus dipilih berdasarkan kemampuannya, bukan berdasarkan kepentingan politik semata.

Selain itu, fenomena ini juga menunjukkan perlunya merubah cara kita menilai calon pemimpin. Selain melihat latar belakangnya, kita juga harus memperhatikan rekam jejak kinerjanya yang dapat dilihat melalui media digital. Kita harus menjawab fenomena-fenomena ini dengan bijak jika tidak ingin menghadapi krisis kepemimpinan di masa depan.

Salah satu solusi yang dapat kita lakukan adalah dengan mendirikan lembaga manajemen talenta. Lembaga ini akan bertujuan untuk mengembangkan dan mengelola talenta-talenta terbaik kita agar memiliki daya saing global dan mampu memimpin bangsa ini. Meskipun tantangannya besar, lembaga ini dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terutama dalam bidang pelatihan vokasional.

Pembagian tugas antara lembaga talenta dan partai politik adalah konsekuensi logis. Lembaga talenta akan berfokus pada seleksi pemimpin berdasarkan meritokrasi sementara partai politik akan fokus pada aspek demokrasi. Dengan demikian, partai politik dapat terlepas dari masalah kualitas pemimpin dan fokus pada pemilihan seseorang.

Pembagian tugas ini tentu perlu didukung oleh adanya digitalisasi. Digitalisasi akan membantu kita dalam menilai rekam jejak kemampuan calon pemimpin melalui media sosial mereka. Di tengah arus komunikasi digital yang begitu deras, digitalisasi ini bisa menjadi alat yang efektif dalam menilai kualitas pemimpin.

Digitalisasi juga dapat menciptakan hubungan yang lebih dekat antara pemimpin dan pemilih dalam menilai kemampuan dan kualitas mereka. Jika seorang calon pemimpin melakukan kesalahan sosial, pemilih dapat mengevaluasinya secara langsung. Namun, penilaian harus didasarkan pada semangat konstruktif untuk membangun dan mengkritisi hal-hal yang positif.

Langkah-langkah ini akan memiliki dampak jangka panjang. Meritokrasi dapat membentuk pemilih yang lebih rasional karena informasi yang transparan melalui digitalisasi. Dengan pemilih yang lebih rasional, kualitas demokrasi kita pun akan meningkat.

Dapat kita simpulkan bahwa meritokrasi bukan hanya penting untuk pelayanan publik, tetapi juga untuk pemilihan pemimpin. Meritokrasi dapat menjadi alat untuk mereformasi partai politik menjadi lembaga yang strategis, bukan hanya idealis atau pragmatis semata. Meritokrasi juga dapat menciptakan pemimpin yang lebih kredibel melalui transparansi informasi yang dihasilkan oleh digitalisasi. Pendidikan politik pemilih juga dapat ditingkatkan melalui meritokrasi dan transparansi informasi. Dalam skala yang lebih luas, meritokrasi akan meningkatkan kualitas demokrasi kita.

Berkaca pada manuver politik Budiman, seberapa besar kemungkinan PDIP bergabung dengan Gerindra  pada Pemilu 2024?

Pada Pemilu 2019, Partai Gerindra dan Partai PDIP masing-masing mendapatkan cukup banyak suara rakyat dengan masing-masing mendapatkan posisi kedua dan pertama dalam jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meskipun kedua partai ini memiliki prinsip dan ideologi yang berbeda, ada peluang bagi PDIP untuk bergabung dengan Gerindra pada Pemilu 2024.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peluang ini adalah perubahan dinamika politik dan situasi di masa depan. Politik adalah dunia yang selalu berubah dan tidak dapat diprediksi dengan pasti. Perubahan kepemimpinan di dua partai, baik Gerindra maupun PDIP, dapat membuka peluang untuk kolaborasi dan kerja sama di masa depan.

Selain itu, kemitraan dan aliansi politik juga dapat menjadi pertimbangan yang penting. Jika terdapat kesamaan visi, misi, dan tujuan antara Gerindra dan PDIP, maka peluang untuk bergabung akan lebih besar. Jika keduanya percaya bahwa bergabung dapat menguatkan posisi politik masing-masing dan mencapai tujuan yang lebih besar, maka kolaborasi dapat terjadi.

Namun, terdapat faktor internal dan eksternal yang dapat memengaruhi peluang ini. Faktor internal, seperti perbedaan ideologi politik, kepentingan partai, dan kepentingan individu dalam partai, dapat menjadi hambatan untuk bergabung. Jika perbedaan-perbedaan ini tidak bisa diselesaikan dengan baik, peluang untuk bergabung akan sangat kecil.

Faktor eksternal, seperti tekanan dan tuntutan dari pemilih dan konstituen masing-masing partai, juga dapat mempengaruhi kemungkinan bergabung. Jika kedua partai merasakan desakan dari basis pemilih mereka untuk bekerja sama, mereka mungkin akan mempertimbangkan untuk bergabung demi memenuhi keinginan pemilih mereka.

Sekali lagi, penting untuk diingat bahwa perkembangan politik adalah hal yang sangat dinamis dan dapat berubah sewaktu-waktu. Aliansi politik yang sulit diprediksi dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, tergantung pada situasi politik dan strategi masing-masing partai.

Dalam hal PDIP bergabung dengan Gerindra pada Pemilu 2024, masih sulit untuk memberikan prediksi yang pasti. Namun, kemungkinan kolaborasi atau aliansi politik ini tidak boleh dikecualikan sepenuhnya. Sangat mungkin ada diskusi atau negosiasi politik di antara partai-partai politik yang berpotensi membawa PDIP dan Gerindra untuk bekerja sama di masa depan.

Penting untuk diingat bahwa politik adalah permainan yang kompleks, dengan banyak variabel dan dinamika yang terlibat. Kebijakan partai, kepentingan strategis, dan faktor-faktor lainnya akan memainkan peran dalam menentukan kemungkinan gabungan dua partai. Hanya masa depan yang dapat memberikan jawaban pasti mengenai apakah PDIP dan Gerindra akan bergabung pada Pemilu 2024 atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun