Farel Fajar Prasetyo - Minggu 05 Januari 2025 20:30 WIB
Generasi Z (Gen Z) yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, menjadi generasi yang digadang gadang akan membawa masa depan bangsa kita, yang akan memimpin bangsa kita di masa depan nantinya. Namun, melihat data minat baca generasi ini sangat mengkhawatirkan untuk menyerahkan masa depan bangsa di tangan mereka. Minat baca yang rendah sering kali dikaitkan dengan kurangnya kreativitas, inovasi, dan daya pikir secara kritis yang merupakan kunci untuk menghadapi tantangan dan perkembangan global. Bahkan, riset dari Gallup juga menunjukkan bahwa kurangnya literasi berhubungan dengan produktivitas kerja yang rendah. Negara-negara maju, seperti Finlandia dan Jepang, memiliki tingkat literasi tinggi yang berbanding lurus dengan kualitas pendidikan dan daya saing global mereka. Pada era kemajuan teknologi informasi (TI), Gen Z tumbuh dengan smartphone di genggaman tangan, menikmati kemudahan akses informasi tanpa batas dan memperoleh hiburan instan. Namun, kemajuan ini juga membawa kekhawatiran besar, terutama terkait menurunnya minat baca terhadap buku-buku yang bermanfaat, yang digantikan oleh konsumsi konten digital yang kurang mendidik dan secara terus-menerus dikonsumsi oleh Gen Z. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kemajuan teknologi benar-benar merenggut minat baca Gen Z?
Teknologi informasi memberikan berbagai kemudahan, seperti akses cepat ke informasi dan literatur digital. Buku elektronik, artikel daring, dan media sosial memungkinkan Gen Z untuk mendapatkan informasi kapan saja dan di mana saja. Namun, di sisi lain, kemudahan ini justru mengurangi keinginan untuk membaca secara mendalam. Kebiasaan "scrolling culture" membuat generasi ini lebih sering mengonsumsi konten singkat seperti video TikTok, cerita Instagram, atau cuplikan berita visual, sehingga kemampuan membaca mendalam dan kritis cenderung terabaikan.
Media sosial juga memengaruhi pola konsumsi informasi. Algoritma yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna sering menggiring mereka pada konten dangkal dan menghibur. Misalnya, alih-alih membaca buku sejarah, mereka lebih memilih menonton ringkasan sejarah dalam format video pendek. Selain itu, disinformasi yang tersebar di media sosial turut mengurangi minat terhadap sumber bacaan yang kredibel seperti buku atau jurnal akademis.
Tantangan lainnya adalah rendahnya literasi digital. Tanpa kemampuan untuk mencari, memahami, dan mengevaluasi informasi dengan baik, Gen Z rentan terjebak dalam pola konsumsi informasi yang tidak sehat. Oleh karena itu, peran keluarga, sekolah, dan komunitas sangat penting dalam membentuk kebiasaan membaca yang seimbang. Membiasakan anak-anak untuk membaca buku sejak dini dan memanfaatkan teknologi secara positif, seperti melalui aplikasi edukasi, dapat menjadi solusi.
Menurut laporan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023, lebih dari 98% anak muda di Indonesia menggunakan internet setiap hari, dengan rata-rata durasi penggunaan mencapai 8 jam per hari. Sebagian besar waktu ini dihabiskan untuk aktivitas seperti media sosial, streaming video, dan bermain game. Di sisi lain, data dari UNESCO menunjukkan bahwa indeks minat baca di Indonesia berada pada angka yang cukup rendah, yaitu 0,001, yang berarti dari 1.000 orang, hanya 1 orang yang benar-benar gemar membaca.
Adapun data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sejak tahun 2018, tingkat minat baca masyarakat Indonesia cenderung stagnan, bahkan menurun di beberapa kelompok usia. Di sisi lain, pengguna internet meningkat pesat, dengan mencapai lebih dari 73% pada tahun 2022. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kemajuan teknologi lebih banyak dimanfaatkan untuk aktivitas hiburan dibandingkan untuk kegiatan literasi. Generasi Z, sebagai kelompok usia dengan penggunaan internet tertinggi, menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan konsumsi informasi digital dan membaca mendalam.
Fakta ini mengindikasikan adanya pergeseran prioritas di kalangan Generasi Z. Informasi yang dulunya diperoleh melalui buku kini lebih sering diakses melalui platform digital, seperti artikel online, video tutorial, atau konten media sosial. Sayangnya, konsumsi informasi digital sering kali bersifat dangkal dan fragmentaris, sehingga tidak memberikan pemahaman mendalam seperti membaca buku.
Untuk memperbaiki dan mengatasi permasalahan rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, terutama Generasi Z, harus dimulai dari diri masing-masing. Cobalah untuk mengurangi screen time pada smartphone, terutama dalam mengakses media sosial yang bersifat video-video pendek atau hiburan instan lainnya. Kemudian, waktu yang biasanya digunakan untuk screen time tersebut bisa digunakan untuk hal-hal yang bersifat membangun terutama dalam jangka panjang, seperti membaca buku, artikel, ataupun berita-berita penting yang sedang terjadi. Dengan demikian, otak akan terus berpikir secara kritis dan inovatif dalam memecahkan permasalahan yang kita alami atau menciptakan sebuah karya yang bermanfaat kepada banyak orang.