Laut Cina Selatan merupakan salah satu wilayah paling strategis di dunia, terletak di tengah jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Kawasan ini tidak hanya penting sebagai jalur perdagangan global, tetapi juga kaya akan sumber daya alam seperti minyak, gas, dan hasil laut. Namun, di balik potensinya, Laut Cina Selatan menjadi titik konflik yang melibatkan berbagai negara, baik negara-negara pesisir seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia, maupun kekuatan besar seperti Cina dan Amerika Serikat.
Konflik di kawasan ini dipicu oleh klaim tumpang tindih atas wilayah laut yang luas, dengan Cina yang mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan melalui garis putus-putus yang dikenal sebagai Nine-Dash Line. Negara-negara lain seperti Filipina dan Vietnam menolak klaim ini dan berpendapat bahwa hal tersebut melanggar hukum internasional. Ketegangan ini semakin diperumit oleh pembangunan pulau-pulau buatan oleh Cina dan keterlibatan aktor eksternal yang memperkuat dinamika geopolitik kawasan.
Ketegangan di Laut Cina Selatan tidak hanya berdampak pada hubungan antarnegara, tetapi juga memengaruhi stabilitas ekonomi dan keamanan kawasan. Persaingan untuk menguasai wilayah ini menjadi cerminan dari pentingnya Laut Cina Selatan sebagai pusat geopolitik yang memengaruhi banyak pihak di dunia.
Latar Belakang Konflik
Laut Cina Selatan merupakan wilayah strategis yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Hindia. Sejak awal abad ke-20, kawasan ini sudah menjadi pusat perhatian karena kekayaan sumber daya alam, seperti ikan, minyak, dan gas alam, serta pentingnya jalur pelayaran internasional. Persoalan muncul akibat klaim teritorial yang tumpang tindih, terutama antara Cina dan negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Klaim ini diperparah dengan pembangunan pulau buatan oleh Cina, yang dilengkapi fasilitas militer, sehingga memicu reaksi keras dari negara-negara lain dan memperburuk ketegangan di kawasan. Ketegangan di Laut Cina Selatan sudah berlangsung selama beberapa dekade. Pada tahun 1947, Cina pertama kali mengajukan klaim atas sebagian besar Laut Cina Selatan melalui peta yang menunjukkan Nine-Dash Line. Klaim ini mencakup hampir 90% wilayah laut tersebut, termasuk Kepulauan Paracel dan Spratly yang juga diklaim oleh negara-negara lain.
Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, menganggap klaim Cina tidak sah dan bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS). Pada 2016, Filipina membawa kasus ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional dan memenangkan keputusan yang menyatakan bahwa klaim Nine-Dash Line Cina tidak memiliki dasar hukum. Namun, Cina menolak keputusan tersebut dan terus memperkuat posisinya di wilayah tersebut dengan membangun pulau-pulau buatan yang dilengkapi dengan fasilitas militer.
Dinamika Geopolitik
Peran Cina dalam Ketegangan
Cina memainkan peran dominan dengan pendekatan agresif untuk mengamankan wilayah Laut Cina Selatan. Dengan membangun pulau-pulau buatan dan menempatkan instalasi militer di kawasan, Cina memanfaatkan keunggulan maritimnya untuk menguasai jalur pelayaran utama dan sumber daya alam. Dalam perspektif teori sea power, langkah ini menunjukkan usaha Cina untuk mendominasi jalur perdagangan strategis dan memastikan kontrol geopolitik atas wilayah tersebut. Cina memandang Laut Cina Selatan sebagai wilayah strategis yang harus dikuasai untuk mendukung ambisi nasionalnya. Pembangunan pulau-pulau buatan di kawasan ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat klaim teritorial, tetapi juga untuk memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara. Pulau-pulau buatan ini dilengkapi dengan landasan pacu, pelabuhan, radar, dan fasilitas militer lainnya yang meningkatkan kemampuan pertahanan Cina di kawasan tersebut.
Bagi Cina, Laut Cina Selatan bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga keamanan. Penguasaan atas wilayah ini memberikan perlindungan terhadap jalur suplai energinya yang sebagian besar melewati laut tersebut. Selain itu, Cina juga menggunakan strategi diplomasi untuk memengaruhi negara-negara ASEAN, seperti memberikan bantuan ekonomi untuk mengurangi resistensi terhadap klaimnya.
Respon Amerika Serikat