Pada Minggu malam, tanggal 3 Maret 2024, kami siswa siswi kelas X SMA Global Prestasi School melakukan perjalan ke Desa Buntu, Wonosobo dalam rangka mengikuti local immersion. Kegiatan ini diadakan untuk mengajarkan sifat mandiri, menghargai dan melatih siswa untuk hidup secara sederhana. Menuju Desa Buntu, perjalanan kami tempuh selama 8 jam melewati jalur darat. Selama di Desa Buntu, kami semua tinggal bersama orang tua asuh selama 4 hari dan mengikuti serangkaian kegiatan bersama para warga.
Warga Desa Buntu adalah masyarakat yang sangat terbuka dengan pendatang baru. Sesampainya kami di sana, kami langsung diajak warga setempat untuk mengikuti pawai. Para warga sangat antusias menantikan rombongan pawai untuk melintas di depan rumah mereka. Pawai ini dilakukan dalam rangka menyambut bulan Ramadhan sekaligus syukuran santri yang khatam quran. Walaupun bisa dibilang pawai ini dilakukan untuk merayakan tradisi keagamaan, pihak-pihak lain juga ikut meramaikan jalanan Desa Buntu secara meriah. Satu hal yang menarik perhatian penulis adalah keiikutsertaan grup barongsai dalam pawai ini. Kesenian yang berasal dari negeri tirai bambu ini umumnya dapat ditemukan di acara yang identik dengam budaya negara asalnya, seperti perayaan imlek. Namun uniknya tarian ini penulis temukan di pawai yang berlatar belakang budaya islam. Selain ditampilkan oleh orang dewasa, barongsai di Desa Buntu juga ditampilkan oleh anak-anak sekolah dasar laki-laki saat kami mengunungi Sekolah Dasar Negeri 1 Buntu. Walaupun masih belia, mereka berhasil menampilkan tarian itu dengan lincah.
Dari observasi penulis, barongsai merupakan salah satu kesenian yang cukup dilestarikan oleh warga Desa Buntu walaupun bukan budaya asli mereka. Komunitasnya juga aktif dan dikenal baik masyarakat. Buktinya tarian ini ditampilkan di acara pesta rakyat seperti pawai dan juga dipelajari di sekolah oleh anak-anak sekolah dasar. Berdasarkan wawancara singkat bersama Ibu Murni, penduduk Desa Buntu sekaligus ibu asuh penulis, barongsai sudah lama eksis di desa ini. Dikatan bahwa kesenian ini dibawa dari Tionghoa bertahun-tahun yang lalu oleh umat Buddha yang bermigrasi ke tanah jawa tepatnya di Desa Buntu, Wonosobo.
Berkembangnya kesenian Tionghoa di Desa Buntu ini bisa terjadi karena adanya difusi budaya. Seorang antropolog, W.A Haviland, menyatakan bahwa difusi adalah penyebaran kebiasaan atau adat istiadat dari kebudayaan satu ke kebudayaan lainnya. Difusi budaya dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti penganutan, pembelajaran, dan interaksi sosial antar masyarakat. Kesediaan mereka untuk mempelajari kesenian ini menunjukan rasa toleransi yang tinggi dan sifat terbuka kepada pendatang. Hal ini memperkuat citra Desa Buntu sebagai tempat yang ramah dan inklusif bagi siapa pun yang berkunjung ke sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H