Entahlah, tiba-tiba saja saya ingin membahas sebuah tema serius tentang pariwisata. Bukan apa-apa sih. Ini agar menjadi huruf tebal, huruf dengan garis bawah, dan huruf miring sekalian bila perlu. Lha kok?
Pekerjaan rumah bagi seorang penulis adalah menulis. Sebagaimana pekerjaan rumah yang kemarin diberikan oleh Pak Wiji saat berada di Desa Wisata Malangan (DWM). Salah satu desa wisata yang puluhan tahun mati suri sejak tahun mulai dicanangkan tahun 1998 yang lalu. Kunjungan saya bersama para Kompasianer, bloger, fotografer, serta penggiat pariwisata Jogja, Sabtu (11/3) seolah membuka mata kita (lagi) lebih lebar. Indonesia ini kaya bray! Asli kaya. Tapi mengapa justeru kini kita terpuruk secara ekonomi dengan hutang negara yang menumpuk?
Mbuhlah! Kita abaikan pertanyaan retoris terakhir. Sekarang tugas saya adalah menulis tentang sebuah desa dengan keragaman potensi wisata yang luar biasa. Waktu seharian yang kami tempuh kemarin rasanya masih amat kurang. Kayuhan sepeda onta yang saya naikipun sepertinya masih teramat dekat. Jiaahh...hahaha.
Baiklah, saya mulai saja ya. Eits, tadi belum mulai ya? Hehehe.
Bukan Bambu Biasa
Untuk mencapai DWM ini sebenarnya cukup mudah (bagi yang sudah tahu). Tapi benar kok. Cuma berjarak 100 meter ke arah barat dari bangjo (perempatan) Gedongan Moyudan. Atau sekitar 5,5 km. barat Pasar Godean. Bila ditempuh dengan kendaraan pribadi, jarak 18 km bisa ditempuh dengan waktu cuma 50 menitan (cek lokasi di sini) via Jl. Bener/Jl. Godean. Gang/jalan masuk DWM tepat berada di depan sekolah Perguruan Muhammadiyah Sumberagung, Moyudan, Sleman.
Malangan sendiri merupakan salah satu dari 21 pedukuhan di wilayah Desa Sumberagung. Sejak tahun 1998, dusun ini telah dicanangkan oleh pemerintah sebagai salah satu desa wisata di Kabupaten Sleman. Selain bertani, kerajinan ayaman bambu yang telah menjadi tradisi pekerjaan yang turun-temurun dimiliki oleh masyarakat Dukuh Malangan dan sekitarnya. Hal itulah yang menjadi pertimbangan mengangkat salah satu potensi lokal desa menjadi ikon wisata DWM. Namun seiring runtuhnya Orde Baru, runtuh pula semangat untuk mengembangkan potensi wisata tersebut.
Kerajinan ayaman bambu menjadi mata pencaharian yang biasa saja. Sebagaimana petani yang mengerjakan sawah. Tak ada yang istimewa. Padahal seiring berjalannya waktu, kerajinan bambu yang dihasilkan oleh masyarakat Sumberagung telah merambah pasar ekspor Eropa, Amerika, Asia, serta Australia. Hal ini tak lepas dari tangan dingin mendiang Amad Saidi. Order pertama dalam jumlah besar datang dari seorang pengusaha Selandia Baru pada tahun 1974. Hal tersebut mendorong peningkatan keterampilan kepada 1500-an pengerajin bambu di wilayah Moyudan dan Minggir.
Seiring berjalannya waktu, tahun 1990-an produk anyaman bambu dari Malangan Sumberagung telah mendunia. Hal ini pulalah yang mendorong Pemda Kab. Sleman (saat itu) memilih KWM Sumberagung sebagai salah satu desa wisata unggulan di Sleman. Meski pada akhirnya orientasi promosi wisata ‘tertinggal’ oleh konsentrasi warganya kepada pekerjaan produksi anyaman bambu itu sendiri.
Tangan dingin Amad Saidi ternyata memang cukup ampuh. Di tangannya, Tunggak Semi menjelma menjadi inti (pabrik) dengan plasma (anak angkatnya) yang tersebar di daerah DIY, Jateng, hingga Jatim. Hingga tahun 2006 kepemimpinan beralih kepada Suryadi, putera ke-3 dari 4 bersaudara. Suryadi menggantikan Amad Saidi yang wafat pada tahun itu pula.
Di bawah kepemimpinan Suryadi, moderenisasi alat lebih ditingkatkan. Demikian juga untuk peningkatan kapasitas dan kualitas produksi. Hal ini tak lepas dari para pemesan yang berasal dari merek-merek alat rumah tangga internasional. Tak heran, untuk pekerja inti yang berada di dalam pabrik bisa mencapai hingga 300 orang saat permintaan sedang tinggi.
Uniknya lagi, meski saat ini sedang ngetren penjualan lewat media daring, Suryadi sama sekali tak tertarik dengan itu. Rata-rata konsumennya adalah agen perusahaan besar dari Amerika, Eropa, Asia, maupun Australia. Mereka datang langsung ke pabrik dengan membawa model khusus sesuai pesanan mereka. Hal ini pula yang menjadi alasan, mengapa Suryadi tidak mau membuat katalog produk. Penghargaan terhadap karya cipta pemesan sangat dijaga privasinya. Pun menghindari adanya tuntutan dari konsumen jika produk yang sama (telah dipatenkan) digunakan untuk perusahaan yang lain.
Rata-rata omset yang diperoleh sekitar 300-400 juta/bulan, bagi beliau bukanlah nilai yang besar. Mengingat besar pula jumlah tenaga kerja yang diperkerjakan. Bagi beliau, mampu merangkul sebanyak mungkin orang untuk terlibat dalam proses produksi akan memberikan kenyamanan tersendiri.
Oh ya, bagi para pengunjung yang ingin membawa pulang peralatan rumah tangga dari anyaman bambu, bisa mengunjungi showroomnya lho. Sebagian barang yang dipajang merupakan hasil produksi yang gagal lolos uji kualitas ekspor. Bila tak jeli, sayapun tak akan mampu mengetahui di mana ‘cacat produknya’. Sebab semua produk yang dipajang memang tetap bagus, kuat, dan nyeni.
Tunggak Semi telah menjadi induk dari para pengrajin anyaman bambu di KWM. Namun banyak pula para pengrajin yang memasarkan secara mandiri. Sebagaimana yang dilakukan oleh mbah Saini ini. Sebab beliau merasa lebih nyaman dan tanpa dikejar target waktu.
Kerajinan Batik Malangan
Meski tak banyak yang menekuni pekerjaan seni membatik ini, tak membuat Wakijan patah arang. Bersama sang isteri, Bu Nila, beliau membuka gerai batik H & S. Nama yang diambil dari nama 2 orang puterinya. Merintis usaha sejak tahun 2004, kini usahanya cukup berkembang dengan konsumen yang sudah menjangkau beberapa kota di DIY dan Jateng.
Selain memproduksi batik tulis, beliau juga memproduksi batik printing dan cap. Hal ini sebagai alternatif bagi para konsumen agar bisa menyesuaikan dengan kantongnya tentu saja. Batik berupa kain maupun pakaian jadi, serta asesoris dipajang di galeri yang buka setiap hari, kecuali hari Ahad. Jam buka mulai pukul 09.00 – 20.00, atau menyesuaikan bila ada permintaan khusus.
Harga yang ditawarkan sangatlah terjangkau. Untuk batik cap maupun printing dibanderol mulai harga 200 ribu hingga 300 ribu rupiah. Sementara untuk batik tulis dibanderol dengan harga 700 ribu hingga 1 juta rupiah. Pemasaran saat ini masih bersifat konvensional, sehingga masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan lagi ke depannya.
Seni Tempa Pamor Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo
Memasuki komplek padepokan Ki Empu Sungkowo Harumbrodjo, pengunjung akan disuguhi ‘atraksi’ yang tak akan terlupakan seumur hidup. Percikan bunga api dari 3 bahan yang ditempa setelah dipijar pada suhu ratusan derajat celcius memendar ke berbagai arah. Meski terasa nylekit, akan seimbang dengan keindahan hasil gambar saat membidik momen tersebut. Cuma beberapa detik saja proses tempa tersebut.
Itulah salah satu proses pembuatan keris (pusaka) yang telah diwariskan secara turun temurun dari trah Empu Supa (baca: Supo, Jw.). Salah satu empu keris Kerajaan Majapahit dengan karya masyhurnya antara lain Kyai Nagasasra, Kyai Sengkelat (keris), dan Kyai Carubuk (serupa belati/golok). Hasil karya bermutu tinggi yang membuat Sunan Kalijaga pun sempat terkagum-kagum. Hingga akhirnya membuat sang sunan kepincut dan akhirnya dijadikan adik ipar (menikah dengan Dewi Rasawulan).
Nah, Empu Sungkowo Harumbrodjo ini adalah keturunan ke-17 dari sang maestro, Empu Supa. Memperoleh keahlian dari sang romo, Empu Djeno Harumbrodjo, yang tinggal di Dusun Gatak, Sumberagung. Mengingat yang ‘diproduksi’ di padepokan ini adalah barang langka, maka jangan diharapkan akan ditemui banyak pekerja yang berada di dapur produksinya.
Karena sangat menarik untuk diceritakan, ada baiknya akan saya tulis di bagian tersendiri selanjutnya. Karena nama beliau juga, Desa Sumberagung cukup dikenal oleh khalayak. Sebab lewat padepokan seni tempa pamor yang dimilikinya, Keraton Ngayogyokarta Hadiningrat maupun Keraton Kasunanan Surakarta memberikan kepercayaan untuk membuat berbagai senjata pusakanya. Baik berupa keris maupun tombak.
Sangat menarik bukan?
Potensi Alam DWM
Selain potensi kerajinan seni yang dimiliki DWM, potensi alamnya pun tak kalah menarik. Bahkan saking banyaknya, para pengelola berencana untuk secara bertahap mengenalkannya kepada khalayak. Hal ini dapat dimaklumi. Desa yang berada di kaki gugusan Pegunungan Menoreh ini menyimpan begitu banyak keindahan.
Hamparan persawaan yang membentang dari utara sampai selatan desa menjadi satu pemandangan yang menyegarkan. Belum lagi warisan kolonial berupa Saluran Irigasi Van der Wicjk yang membuat pasokan air tak pernah ‘libur’ mengaliri sawah penduduk. Hal tersebut itu juga yang mendukung usaha perikanan yang dikembangkan oleh penduduk.
Jenis perikanan yang dikembangkan ada 3 macam yaitu:
- Perikanan Konvensional, dengan memanfaatkan saluran air Van der Wicjk yang melintas di sisi utara Dusun Malangan. Membangun kolam ikan yang berdekatan dengan sisi saluran irigasi yang hasilnya langsung bisa dipasrakan ke warung atau resto di sekitar DWM.
- Perikanan Booster, dengan memanfaatkan lahan bengkok kepala dukuh yang berada di tengah DWM. Proses pemeliharaan dilakukan semi moderen.
- Perikanan Mina Padi, dengan memanfaatkan lahan sawah produktif. Selain petani dapat memanen padi, 2 minggu sebelumnyapun ikan sudah bisa dipanen.
Mau Apa Lagi?
Melihat begitu banyaknya potensi yang dimiliki oleh DWM, maka banyak pekerjaan rumah besar yang harus dikerjakan. Waktu 3 bulan yang telah dilalui masih belum apa-apa untuk mengejar ketertinggalan dari desa wisata lainnya yang tersebar di Kabupaten Sleman khususnya dan Provinsi DIY pada umumnya. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis agar potensi besar kearifan lokal yang dimiliki itu dapat lebih dikenal secara lebih luas.
Ada 4 langkah besar menurut hemat saya yang perlu sesegera mungkin dilakukan, diantaranya:
- Mapping. Pemetaan sangat diperlukan di awal. Sebab dengan pemetaan, akan diketahui desain besar yang akan dilakukan. Apa saja yang menjadi prioritas pada tahapan-tahapan yang diperlukan.
- Signing. Menindaklanjuti pemetaan potensi yang akan dimunculkan ataupun akan dikembangkan. Memberikan tanda khusus pada tempat atau lokasi destinasi menjadi sangat penting untuk mengarahkan pengunjung jika datang tanpa pemandu. Demikian juga dengan pusat informasi serta papan-papan penunjuk arah mulai dari jalan utama hingga destinasi wisata itu berada.
- Educating. Memberikan pendidikan kepada masyarakat bahwa DWM kehadirannya harus diketahui serta diharapkan partisipasi masyarakat secara pasif maupun aktif.
- Introducing. Mengenalkan ke khalayak melalui berbagai media yang ada. Baik media konvensional maupun media daring yang kini menjadi trend setter. Media daring menjadi sarana promosi yang efektif serta efisien. Membuat viral pada media sosial daring 'lebih mudah' dilakukan dibandingkan media konvensional. Oleh karena itu, website khusus DWM dan pengelolaan media sosial daring harus digarap juga secara serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H