Seperti biasanya, kehadiran para penumpang Malabar Ekspress di Stasiun Malang Kota dari Jogja pasti disambut dengan gegap-gempita. Portir, tukang becak, tukang betor, sopir taksi, hingga ojek konvensional berebut menawarkan jasanya. Namun saat mereka menghampiri saya, dengan memberi kode menepuk-nepuk perutpun mereka sudah paham. Badan lelah karena sulit tidur di dalam kereta, hingga perut yang memohon untuk diisi. Maka pujasera di depan stasiun menjadi jujugan saya.
"Jadi demo ya, Mas," berlagak setengah sok tahu saya bertanya pada sekumpulan sopir yang sedang bergerombol. Entahlah, naluri bloger pemburu beritapun seketika bergelegak. Menyingkirkan keinginan untuk tunaikan ibadah sarapan pagi itu.
"Yo sido, Mas. Wis kadung mandeg kabeh ngene kok. (Ya jadi, Mas. Sudah terlanjur berhenti semua begini. Jw.)," jawab salah seorang sopir yang berbadan super bongsor.
"Terus agenda hari ini apa, Mas?" tanya saya penuh kekepoan. Kemudian mas sopir gembul itupun menunjuk ke arah seorang pria yang sedang jongkok di dekat sebuah angkot.
Segera saya menghampiri pria tersebut dan sedikit berbasa-basi. Sempat menanyakan, apakah saya seorang wartawan. Sayapun menjawab bahwa saya seorang jurnalis warga. Lalu dialog diantara kamipun berjalan lancar. Sesekali disela dengan komando yang diberikan kepada teman-temannya untuk mulai berorasi.
Mereka juga sebenarnya tidak mau melakukan aksi demo. Tapi kondisi ekonomi pulalah yang menuntut mereka untuk bertindak demikian. Angkot resmi yang biaya pengurusan trayeknya tak murah, harus bersaing dengan angkutan umum (tak resmi) yang bebas trayek.
"Ini gak fair, Mas. Mosok angkutan liar seperti itu dibiarkan saja sama pemerintah. Sementara angkutan resmi kayak saya ini harus diplokotho (banyak pungutan dan retribusi) terus. Pemerintah masak gak isok tegas, Mas?" Ucapnya lirih, seolah menahan amarah.Â
- Menuntut keadilan dan meminta kepada Pemkot Malang untuk menegakkan undang-undang dan aturan lalu-lintas angkutan umum.
- Menuntut kepada Pemkot Malang untuk menolak kendaraan roda 2 sebagai kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek karena bertentangan dengan aturan yang berlaku.
- Menuntut kepada Pemkot Malang segera menertibkan segala jenis angkutan umum berbasis online yang melanggar aturan dan bertentangan dengan undang-undang serta peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009, Pasal 138 sampai dengan Pasal 157.
- Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, Pasal 14 sampai dengan pasal 46.
- Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016.
Nah, hal ini sebenarnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Bagaimanapun peraturan yang sudah dibuat sudah seharusnya ditegakkan. Pun bagi para pelanggar diberikan sanksi sebagaimana termaktub dalam peraturan tersebut. Jangan biarkan masyarakat yang mengikuti aturan menjadi tersisih. Sebagaimana para pengemudi angkot Kota Malang maupun kota-kota lain yang kini tak bisa menolak teknologi transportasi umum yang berbasis onlen.
Sementara masyarakatpun pasti akan memilih angkutan yang praktis, cepat, dan murah. Meski secara regulasi, angkutan umum berbasis onlen tersebut belum diatur keberadaannya. Demo-demo seperti itu ke depannya pasti akan sangat tidak produktif. Bahkan terbukti demo lanjutanpun akhirnya menyulut berbagai aksi kekerasan.Â
Sudah saat pemerintah turun tangan. Jangan biarkan rakyat saling berkelahi demi sesuap nasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H