Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger

Suka maka, suka jalan, suka nulis, suka bercengkerama, suka keluarga. __::Twitter: @nuzululpunya __::IG: @nuzulularifin __::FB: nuzulul.arifin __::email: zulfahkomunika@gmail.com __::www.nuzulul.com::

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah Bukan Gerakan Lebay

31 Juli 2016   22:24 Diperbarui: 31 Juli 2016   22:42 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kadang di jalan sunyi, kita perlu menggandeng tangan anak kita.

Malam ini, saat mencoba mengurai judul di atas, ada rasa yang entahlah menyusup diantara rasa rindu. Ada sesuatu yang terasa hilang gaungnya tertelan waktu. Gerakan mulia yang dicetuskan oleh (mantan) Mendikbud RI, Anies Baswedan seolah menjadi pertanda. Mungkin tak cukup sehari itu saja orang tua mengantarkan anaknya menuju sekolah.

Jalan menuju gapaian cita-cita anak-anak kita itu tak selalu ramai. Terkadang sepi, bahkan teramat lengang, sehingga anak kita pun menjadi gamang. Maka orang tualah yang akan siap membimbing tangan-tangan penuh harapan itu. Berbagi tanggung jawab mulai dari hal yang remeh. Hingga tanggung jawab untuk menuntaskan keinginan serta cita-cita yang ingin anak raih.

Ketika ada sekelompok orang yang menyatakan bahwa Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah adalah lebay, maka saya katakan, "Tidak!"

Ajakan baik, tentu dikandung maksud baik juga. Ajakan baik, tentu memiliki nilai-nilai luhur yang mungkin ada beberapa orang tua telah abai. Berpikir bahwa berangkat sekolah adalah sesuatu yang biasa. Tanpa diantar ke sekolah pun anak-anak dengan gagah berani menerobos kabut pagi, jalan berlubang dan berbatu, jembatan gantung, bahkan mengarungi sungai atau lebatnya hutan. Bukan itu teman. Tapi lebih ke sesuatu yang bersifat kesan mendalam, bahwa orang tua begitu peduli terhadap perjalanan menuju tempat mengais ilmu.

Sang anak akan mencatat bahwa bapak dan atau ibunya bangga dengan 'perjuangannya'. Bersekolah adalah sesuatu yang sangat penting, hingga orang tua harus menyisihkan waktu spesial untuk anaknya.

Mengantar ke Gerbang Pesantren

Semua anggota keluarga turut serta mengantar calon santri. (dok. pribadi)
Semua anggota keluarga turut serta mengantar calon santri. (dok. pribadi)
Sebagaimana sekolah pada umumnya. Pesantren menjadi 'Kawah Candradimuka' para siswanya. Selain menuntut ilmu umum, ilmu agama diajarkan juga dengan jam yang tak kalah banyak dengan pelajaran umum lainnya. Siswa yang dijuluki dengan santri ini begitu amat berarti. Ketika kurikulum sekolah umum mengatur keberadaan jam sekolah sekitar 6-8 jam saja, tidak demikian dengan pesantren.

Di pesantren, kurikulum pelajaran berlaku 24 jam. Diawali jam 03.00 (pagi) saat bersiap untuk ibadah/shalat malam, hingga pukul 22.00 (malam) saat para santri beranjak ke peraduan. Maka tak heran, jika para santri ini menjalani liburan di rumah, hal pertama yang dilakukan adalah tidur panjang. Yups, tidur panjang adalah sesuatu yang bernilai 'mahal'.

Para santri dididik bukan untuk menjadi tukang tidur. Menyia-nyiakan waktu dengan berleha-leha atau mempermainkan waktu dengan mubazir. Sebagaimana juga di pesantren anak-anak kami di sebuah desa dekat dengan Candi Boko, Prambanan, Sleman. Ketika waktu pagi hingga siang dipenuhi dengan pelajaran umum dan keagamaan, sore dan malamnya pun diteruskan dengan pelajaran khusus keagamaan. Maka tak heran, saat pelajaran berlangsung, ada sebagian santri yang tertidur.

Lalu marahkah ustaz/ustazah saat santrinya tertidur? Tentu saja tidak. Bahkan terkadang menjadi bahan candaan. Karena bisa dipastikan, malamnya mereka hanya gunakan waktu tidur tak lebih dari tiga jam.

Maklumlah, selain bersekolah dengan pelajaran umum dan keagamaan, para santri juga dituntut memiliki kemampuan lebih dalam kegiatan ekstra kurikuler dan organisasi kesantrian. Lewat seruang aktivitas ekstra dan organisasi inilah kemampuan kepemimpinan serta kreativitas mereka akan terasah.

Inilah yang terkadang membuat persepsi bahwa anak nakal jika dimasukkan pesantren akan menjadi baik. Persepsi yang tak sepenuhnya benar tentu saja. Dengan kurikulum yang menuntut kedisiplinan tinggi dan tanggung jawab mengatur waktu, tentu 'kenakalan' anak tak akan mendapatkan tempat di sini. Tapi 'kenakalan' itu akan berangsur dapat dikurangi bila orang tua dapat memberikan dukungan penuh. Dukungan materi, sikap, dan orang tua tentu saja.

Anak akan berjuang dengan dukungan moral dan material dari orangtua.
Anak akan berjuang dengan dukungan moral dan material dari orangtua.
Oleh karena itu, begitu pentingnya anak-anak yang akan menjadi santri ini, seluruh anggota keluarga pun menjadi begitu bersemangat. Mereka untuk beberapa waktu akan berpisah. Belum lagi jarak yang amat jauh yang harus di tempuh untuk hadir di Prambanan. Sebagaimana salah seorang orang tua santri yang datang dari Pahang, Malaysia.

Cerita ibu yang mengantar puteri ke-duanya itu cukup mengharu-biru. Sambil menggendong anak ke-tiganya yang masih berusia 11 bulan, dia datang dari kota yang ribuan kilometer jaraknya dari Prambanan. Rasa letih karena harus memberi ASI sang buah hati, ditambah dengan 3 buah kopor yang harus mereka tenteng. Dan kami, saya dan istri saya hanya mampu tertegun dan salut atas perjuangan beliau.

Begitu pentingnya hari pertama mengantar sang anak menuju pesantren. Rasa lelah dan letih pun seolah menjadi penyemangat untuk perjuangan anak menuntut ilmu di sini. Anak pun merasa bangga saat sang ibu begitu mendukung langkah yang siap diayunkannya. Demikian juga dengan kami, ketika anak ke-dua kami, menyusul kakaknya yang telah menjadi santri dua tahun sebelumnya.

Mas Anies, Kamu Tinggalkan Jejak Indah Bagi Orangtua

Meski tak lagi menjabat sebagai menteri, saya yakin gerakan yang dicetuskan beliau menjadi fenomenal. 'Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah' akan menjadi catatan emas yang menggugah kesadaran kita sebagai orangtua. Bahwa anak tetaplah anak. Meski mereka 'sudah besar' saat memasuki gerbang sekolah menengah pertama atau atas, mereka tetaplah anak. 

Di saat awal memasuki jenjang baru sekolah atau hari pertama tahun pelajaran baru, mereka membutuhkan kita. Meski 'hanya' mengantar ke sekolah apalagi ke pesantren, anak akan selalu mengingatnya. Bahwa sang orangtua ada saat mereka membuka lembaran baru sekolahnya. Tak ada kelebayan atau kesia-siaan saat kita sebagai orangtua mampu sisihkan waktu dan perhatian untuk buah hati kita. Sebab tak akan ada sesuatu yang sia-sia dengan kebaikan.

Tak ada orangtua yang berharap anaknya menjadi 'produk gagal' dari sebuah proses pendidikan bukan? Maka setiap orang tua, akan mengenang gerakan tersebut menjadi sebuah 'jembatan emas' untuk mencairkan komunikasi dengan sang buah hati.

Sebagaimana yang keluarga kami lakukan, meski himbauan tersebut belum ada, kami selalu berusaha luangkan waktu untuk mengantar anak-anak ke pesantren. Tiap bulan pun kami secara bergantian menjenguk mereka. Memastikan bahwa kami baik-baik saja dengan berbagi cerita.

Sebagaimana cerita dari tulisan ini, semoga bisa memberi manfaat dan menginspirasi para (calon) orangtua. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun