"Saya sudah biasa dibilang goblog, gila, koppig, dan seperti itulah. Saya tidak marah. Tapi saat negara saya yang dihina dan dicaci-maki, saya benar-benar marah."
Mendengar langsung kalimat tersebut dari orang yang berbicara, tentu akan berbeda jika kita membaca dalam suatu berita. Ekspresi muka saat berbicara, gestur anggota tubuh, atau intonasi pembicara tentu akan menjadi perhatian kita. Belum lagi atmosfer yang melingkupi pembicara tersebut saat berbicara. Apakah dia berbicara kepada anak, remaja, atau orang dewasa? Apakah dia berbicara di depan para pekerja pabrik, para petani, para pedagang, para pelajar, atau profesi lainnya?
Pun demikian saat seorang Presiden RI biacara. Membaca teks di koran atau news online, tentu akan berberda rasa dengan mendengar dengan telinga sendiri. Sedih. Hanya itu ekspresi yang mampu saya rasakan. Rasa yang mungkin tak akan sebegitunya jika saya hanya mendengar di luaran.
Tapi kali ini saya tak akan menjelaskan mengapa saya sedih dengan pernyataan beliau. Ada sisi lain yang mungkin tak banyak sahabat Kompasianer lain ceritakan. Bukan dari sisi 100% senang karena diundang. Atau sebaliknya, 100% sebel 'ngapain' pakai acara ngundang segala.
Beruntung.
Yups, bingo! Kali ini saya merasa menjadi seorang Kompasianer yang beruntung. Mengapa saya sebut sebagai Kompasianer yang beruntung? Sebab lewat pintu Kompasiana inilah (kembali) saya bisa diundang untuk makan siang bersama Presiden Republik Indonesia. Pemimpin tertinggi sebuah negeri yang amat saya cintai.
Datang dari Mojokerto ke Jakarta kali ini adalah dengan niatan untuk meramaikan Kompasianival. Sebab sebagai Kompasianer, 'merasa aneh' saja saat ada ajang kopi darat terbesar saya tak bisa menghadirinya. Oleh karena itu, jauh-jauh hari saya sudah registrasi onlen. Registrasi onlen gratis pertama kali yang dilakukan oleh Kompasiana sejak menggelar Kompasianival pertama 5 tahun yang lalu.
Itu saja? Ya itu saja.
Meramaikan Kompasianival tentu akan menjadi momen untuk semakin mengenal Kompasianer yang lain. Bersilaturrahim, memanjangkan usia, menambah sahabat atau saudara, dan menambah pintu rezeki. Mengenal sosok-sosok hebat itu secara lebih dekat. Tidak hanya sekedar mengenal lewat nama alias atau foto profil akun yang tak begitu jelas.
Namun rupanya Allah Ta'ala berkata lain. Saya mendapatkan bonus tak terduga. Bukan bonus mendapatkan power bank, hape baru, laptop baru, voucher belanja, atau sepeda motor baru. Bukan, bukan itu. Saya mendapatkan bonus untuk dijamu makan siang oleh Presiden RI. Negeri yang begitu saya cintai. Catat! Presiden RI.
Ketika siang itu berada di Tomang dalam suatu acara (11/12), seseorang menelepon saya. Memberitahukan bahwa saya 'dipilih' diantara puluhan ribu Kompasianer untuk hadir ke Istana Negara. Mbak-mbak tersebut memastikan bahwa memang saya dapat hadir. Tentu saja saya jawab, "Ya. InsyaAllah saya bisa hadir."
Mungkin ada sebagian orang yang mencibir keputusan saya tersebut. Tapi inilah wujud kecintaan saya kepada negeri ini. Apalagi Rasulullah pun pernah menyampaikan:
“Hak muslim atas muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin”. (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)
Bagi saya tak ada alasan yang tak masuk akal untuk menolak undangan tersebut. Jika pun seandainya saya menolak karena satu dan lain hal, maka akan diam setelah itu. Ya, cukup diam. Sambil mencatat dalam perjalanan hidup bahwa saya pernah 'menolak' undangan jamuan makan siang dari seorang presiden negeri yang amat saya cintai. Itu saja.
Jika pun ada yang menanyakan mengapa saya mau hadir ke Istana Negara, jawabnya amat simpel. Saya diundang, maka saya datang. Itu saja? Yak, itu saja.
Satu lagi, alhamadulillah jalan-jalanku kali ini banyak memberi pelajaran. Salah satu nilai itu adalah tentang bagaimana kita mengukur nilai diri sendiri. Bahwa mengukur nilai diri sendiri, ternyata lebih sulit dibandingkan mengukur 'tongkrongannya' orang lain. Menjaga jari-jari untuk tidak mengetik kata atau kalimat negatif, lebih sulit dibandingkan jika kita berceramah atau berpidato di atas podium.
Bukan karena jabatan kita sebagai ustaz, direktur, camat, bahkan presiden sekalipun kita dihormati. Tapi bagaimana kita bisa memperlakukan orang lain dengan lebih baik dibandingkan memperlakukan diri sendiri. Bagaimana kita bisa menghormati dan menghargai orang lain dibandingkan kepada diri sendiri. Bagaimana cara kita bersyukur dengan segala kondisi yang ada, dibandingkan selalu berkeluh kesah atas nasib buruk yang menimpa kita.
.
________________________
[Foto: dokumentasi Setneg via Syaifuddin Sayuti]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H