Nasi Goreng Magelangan biasa orang Jogja menyebut. Di tempat lain, biasa dikenal dengan Nasi Goreng Mawut. Saya tidak tahu sejarahnya, mengapa disebut nasi goreng magelangan atau nasi goreng mawut. Jelasnya, nasi goreng tersebut akan ditambahkan dengan mie dan atau bihun. Sehingga bahan dasar yang dipakai adalah nasi dengan campuran mie (kuning) dan atau bihun (mie putih).
Mengapa saya kok suka nasi goreng magelangan? Maaf, yang ini sama sekali tak ada hubungannya dengan si 'Blogger Jomblo Tapi Hafal Pancasila', Agus Magelangan. Hal ini semata-mata sensasi yang lebih ramai dibandingkan nasi goreng dengan bahan tunggal, nasi saja. Ditambah lagi satu rahasia yang tidak banyak diungkap para ahli kuliner. Ternyata untuk membuat seporsi nasi goreng magelangan, bumbunya akan lebih banyak dibandingkan seporsi nasi goreng (biasa). Jangan tanya 'mengapa'! Hahahaha....
Baiklah, kali ini saya tidak akan bercerita tentang nasgor magelangan versi PK5. Sekali-kali naik kelas dong. Masak versi klasik terus
atuh.
Seminyak Kitchen. Dari namanya saja sudah terdengar keren lho. Ada kata-kata Inggris-nya itu biasanya bau-bau harga yang gimana gitu. Yaps, kali ini saya berkesempatan makan bersama para bule-bule dan
bulek-bulek (baca: tante-tante) di sebuah resto yang keren.Â
Resto yang nongkrong di lantai 3 Courtyard Seminyak Hotel ini ternyata begitu
friendly and homy. Pengunjung bisa memilih makan di sudut mana saja. Di dalam, sangat uhuy karena bisa langsung lihat proses masaknya. Di luar bagian dalam (
kayak bal-balan saja), bisa melihat
view pool side. Bisa melihat berbagai bentuk warna dan rupa
nganu pokoknya. Di luar bagian luar, bisa melihat lalu lalang kendaraan atau orang yang melintasi di Jl. Camplung Tanduk Seminyak, Bali.
Baiklah, di sore yang cerah itu (5/11) saya pesan seporsi Nasi Goreng. Berhubung di buku menu tulisannya memang demikian, maka saya tambahkan dengan 'magelangan'. Di sini para
waitress lebih akrab dengan istilah 'mawut' malah. Plus tambahan kata 'pedes banget'. Maklumlah, bagi saya bumbu akan benar-benar terasa aromanya jika diiringi dengan sensasi pedas.
"Level paling tinggi ya, Mas," ujar saya. Saya panggil sang pramusaji dengan panggilan 'mas' karena namanya Agus. Meski ada bli bali yang namanya Agus, tapi Agus yang ini logatnya memang njawani.
Balik maning. Untuk minuman agar tak tersedak saat makan, saya pesan segelas Milkshake Chocolate. Ternyata kemudian saya rasakan kurang, dan harus pesan segelas jumbo air es. Biar Milkshake-nya cepat meleleh tentunya (ngarang).
Tak lama waktu berlalu. Saya sempatkan terlebih dahulu untuk jeprat-jepret sana-sini. Mumpung nongkrong di resto mahal
bray. Deng...deng...tak lebih dari 10 menit, minuman sudah nangkring. Jreng...jreng...5 menit kemudian, sepiring Nasgor Magelangan pun mendarat dengan selamat di atas meja kayu yang artistik.
Duh, ternyata itu lho, setelah saya total jendral, volume total seporsi itu cukup untuk mengisi perut harimau yang keroncongan. Ukurannya jumbo boo... Impas deh, begitu gumam saya. Impas dengan harganya maksud saya.
Tanpa ba bi bu, langsung 'tancap gas' deh saya. Merasakan sendok demi sendok mengalir lancar ke dalam mulut. Sambil sesekali mengurap sambal ekstra yang masih saja saya rasakan pedasnya kurang nampol. Lebih nampol ditapuk sendal kali ya. Hihihihi...
Over all,
mancap pokoknya. Eh, mantap maksudnya. Nasi yang tak terlalu punel, dengan aroma bumbu khas Bali yang kental. Sebagai lidah Jawa, mungkin beberapa orang akan merasakan kurangnya beberapa rempah. Tapi inilah Bali. Yang tak kalah kurang rasa dibandingkan masakan tradisional suku lainnya. Mie yang dipilih adalah mie keriting yang memiliki tekstur lembut. Ukurannya juga tidak besar, sehingga bisa 'larut' dengan tekstur nasi yang dicampuri.
Lihat Travel Story Selengkapnya