Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger

Suka maka, suka jalan, suka nulis, suka bercengkerama, suka keluarga. __::Twitter: @nuzululpunya __::IG: @nuzulularifin __::FB: nuzulul.arifin __::email: zulfahkomunika@gmail.com __::www.nuzulul.com::

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Museum Antonio Blanco Menjaga Anak Negeri

12 November 2015   17:15 Diperbarui: 12 November 2015   20:46 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ubud yang sesak. Ubud yang kini disesaki toko pernak-pernik oleh-oleh, galeri seni, salon dan spa, hingga berbagai resto dan hotel. Jalanan sempit sepanjang Jl. Campuhan, Jl. Ubud, Jl. Monkey Forest, Jl. Hanoman, Jl. Sayan, atau jalan lainnya, tak mengurangi semangat para pengendara motor atau mobil untuk ngebut. Seolah semua berpacu untuk mengejar destinasi berikutnya.

Jalan yang tak begitu ramah lagi kepada para pejalan kaki. Jalan yang tak lagi menawarkan kesejukan sawah atau bau wewangian dupa sembahyangan. Ubud telah berubah kawan. Ubud tak seperti tahun 1992 dulu, saat dirimu pertama kali menginjakkan kaki di Bali. Begitu bisikan lembut hati menyentak kesadaran saya. 

Ya. Ubud begitu banyak berubah. 

Setiap musim berganti. Setiap musim beralih. Seperti ungkapan Isma Sawitri. Seorang sastrawati Ubud dalam sebuah puisinya yang dimuat di Majalah Horizon (1964).

Namun, yang abadi adalah perubahan. Isma Sawitri berujar, “Inilah kebenaran pertama sebelum yang lain-lain. Karena laparlah yang pertama sebelum yang lain-lain. Sebelum berdirinya pura. Sebelum tersusun doa. Sebelum raja-raja bertakhta. Dewi Sri membenihkannya di atas bumi.”

Perubahan yang memang harus menyesuaikan dengan zamannya. Sebagimana The Blanco Reanissance Museum Arts atau yang lebih kita kenal dengan Museum Antonio Blanco. Untuk memenuhi keinginan para pecintanya, sang putra Mario Antonio Blanco Jr., mencoba memberikan alternatif dengan membangun museum dengan 'cita rasa' yang berani. Museum yang sebenarnya telah dirintis oleh Don Antonio Blanco di tahun 1998. Namun usia rupanya tak mampu untuk 'ditahan'. Beliau dipanggil keharibaanNya di tahun 1999.

Tekad untuk menyelesaikan tugas dari sang ayah itulah rupanya membuat semangat Mario Blanco menyala. Berbagai aktivitas berkesenian baik lokal maupun internasional diikuti. Alumni Universitas Udayana ini merupakan seorang pekerja keras. Hingga museum Don Antonio Blanco dapat melaksanakan soft opening pada 15 September 2001. Bertepatan pula dengan 1 abad peringatan kelahiran sang ayah, Don Antonio Blanco.

Perpaduan yang cukup kental antara Bali dan Spanyol pada bangunan terlihat jelas pada desain eksteriornya. Dibangun di atas areal seluas 2 hektar yang merupakan pemberian dari Raja Ubud, komplek museum terbagi dalam beberapa venue. Bagian tersebut meliputi museum utama dua lantai dengan koleksi berupa 300 lukisan atau benda seni koleksi Don Antonio Blanco. Untuk di bagunan utama ini, pengunjung dilarang untuk mengambil gambar/memotret. Hal tersebut untuk mencegah foto cepat rusak akibat kilatan sinar UV dari blitz. Mengingat seluruh lukisan disajikan secara 'telanjang', tanpa diberikan pelindung kaca. Selain tentu saja ada alasan lain tentang dikhawatirkannya terjadi plagiasi.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun