Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger

Suka maka, suka jalan, suka nulis, suka bercengkerama, suka keluarga. __::Twitter: @nuzululpunya __::IG: @nuzulularifin __::FB: nuzulul.arifin __::email: zulfahkomunika@gmail.com __::www.nuzulul.com::

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kisah Dibalik Wajah Para Penari Kecak

7 November 2015   23:50 Diperbarui: 12 November 2015   17:15 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dramatis!

Yups. Satu kata yang patut diucapkan untuk kehadiran para Kompasianer pilihan di Bali kali ini. Setelah menempuh perjalanan yang luar biasa, akhirnya sampai juga 10 peserta di Hotel Courtyard by Marriott Seminyak. Perjuangan untuk bisa hadir di sini tentu ceritanya tak akan jauh berbeda kisah lika-liku perjalanan saya yang saya ceritakan sebelumnya. Ada bingung, resah, cemas, dan entah rasa apalagi yang dirasakan oleh mereka. Dua jempol deh untuk para sahabat yang dengan perjuangannya tersebut ikut berkontribusi positif bagi kemajuan wisata negeri ini.

Kompasiana bersama Indonesia Travel Kementerian Pariwisata mencoba untuk mengangkat kembali nama potensi wisata Indonesia. Ubud menjadi salah satu pilihan para Kompasiener kali ini. Sebagai salah satu pusat seni budaya di Pulau Bali, nama Ubud tak bisa dipisahkan sebagai ikon wisata Bali. Pun dengan berbagai cerita 'miring' tentang keberadaan industri wisata yang coba dijawab dengan hasil kerja positif. 

Berbagai kelompok masyarakat yang terlibat aktif bagi pengembangan wisata Bali, khususnya Ubud tentu tak bisa dinafikan. Termasuk salah satunya adalah Sahadewa. Yayasan seni yang dirintis sejak tahun 1999 ini, mencoba untuk mengangkat eksistensi kesenian tari tradisional Bali. Seni yang merupakan bagian dari ritual bagi masyarakat adat yang coba dikenalkan kepada masyarakat luar. Tari Kecak, Tari Barong, Tari Pendet yang dikembangkan dalam beberapa kreasi, mampu menarik wisatawan domestik maupun manca untuk hadir di Bali, khususnya.

Beruntung, 10 Kompasianer diberikan kesempatan untuk mengenal lebih jauh keberadaan salah satu tari tersebut. Tari Kecak yang merupakan tari tradisional sakral dijaga kelestariannya. Dan berbagai upaya agar masyarakat adat Bali tidak merasa 'bosan', maka di tahun 1930-an ditambahkan kisah epos Ramayana dalam tarian tersebut. Variasi ini ternayata lebih mampu untuk diterima oleh masyarakat luar Bali. Ini semakin menambah daya tarik masyarakat luar, khususnya wisatawan untuk menikmatinya.

Menikmati dengan larut ke dalam kisah Rama, Sita, Rahwana, Hanuman, dan pemeran lain sebagai dramaturgi. Bagaimana sifat keangkaramurkaan yang meskipun memiliki kekuatan yang besar, akan mampu dikalahkan oleh kejujuran dan kebaikan. Pun demikian juga dengan drama yang disajikan oleh kelompok pertunjukkan Sahadewa. Dengan konsisten dan penuh dedikasi, semua anggota kelompok saling bahu membahu dalam rasa persaudaraan. Sehingga rampak pertunjukkan yang apik dapat dihaturkan kepada penonton yang dengan setia menunggu pertunjukkan dibuka mulai jam 18.30.

Pertunjukkan yang digelar selama 60 menit penuh mampu menghipnotis para penikmatnya. Tak kurang dari saya juga. Ada rasa penasaran yang menggelitik selama ini. Bagaimana sebenarnya mereka berkiprah dibalik panggung yang hingar-bingar dan megah. Bagaimana 80-100 orang mampu secara energik, rapi, rampak, apik, serta mampu menjaga ritme dengan baik selama 1 jam. Terlihat hampir tanpa cacat.

Maka mau tak mau, saya pun mencoba ikut larut dalam ritual persiapan yang para pemain lakukan. Ketakjuban saya pun muncul. Ada satu prinsip yang sangat mereka taati. Prinsip hidup dan prinsip kerja yang selama ini banyak diabaikan. Ketika pertunjukkan dimulai tepat pukul 18.30, maka 10 menit sebelum pertunjukkan, 80 orang personil Sahadewa itu pun telah siap. Siap yang sebenar-benarnya tentu saja.

[Proses metamorfosis 'Sita' yg menjadi salah satu pemain andalan.]

Meskipun para penari memiliki latar belakang profesi yang beragam, 'kewajiban' untuk tampil pada jam yang tepat menyatukan jiwa mereka. Bagaimana Ni Arini, pemain termuda yang berusia 14 tahun, harus merelakan waktu istirahatnya untuk menari. Bagi dia dan keluarganya, menjadi bagian penari Kecak (salah satu penari Sang Hyang Dedari) menari adalah salah satu pelajaran juga. Pelajaran untuk menghormati adat leluhur, sekaligus menjadikannya sebagai pewaris darah seni dari kedua orang tuanya.

[Rentanya usia, tak halangi semangat berkarya.]

Demikian juga dengan Pak Wikanta. Dia usia yang sudah sepuh, 70 tahun, petani sekaligus penari inimasih tetap bersemangat untuk menjaga kekompakan para pengiring Kecak. Salah satu 'dirijen' senior ini cukup memiliki peran yang cukup vital. Sebab teriakannya akan menjadi pertanda 'musik mulut' itu akan memainkan adegan apa yang selanjutnya. Ucapan 'cak', 'cek', 'heg', atau yang lain, memiliki makna yang berbeda.

"Kalau, maaf ya, Mas. Orang Jawa habis bekerja, pulang sore terus sudah. Dia istirahat. Tidak begitu dengan orang Bali, Mas," demikian beliau bertutur kepada saya.

"Terus, kalau orang Bali bagaimana, Pak? Tanya saya penasaran.

"Kalau orang Bali, bekerja itu tidak pernah selesai. Pagi ke sawah, bila ada pekerjaan lain, dia akan bekerja yang lain. Setelah sore selesai, maka dia akan ke sawah lagi."

"Apa tidak pegal itu, Pak?" Saya pun bertambah penasaran.

"Ya, nanti lihat saja di sini (angggota kelompok Sahadewa, pen.)," kata beliau pendek.

Setelah saya mencoba berdialog dengan beberapa orang, kekaguman terhadap cerita Pak Wikante (Wikanta) itu memang demikian adanya. Tidak semua anggota penari adalah murni bekerja sebagai penari. Kecuali bagi mereka yang memang termasuk pemain inti. Seperti pemeran Rahwana, Rama, Sita, Marica, Laksmana, dan Sanghyang Jaran yang menjadi penari utama penutup.

[Proses metamorfosis sang 'Rahwana'.]

Pak Wasita (baca: Wasite) pria tinggi besar ini, merupakan pemeran utama Rahwana. Belajar menari sejak tahun 1992 seolah menjadi panggilan hidupnya. Tiada kenal lelah untuk berlatih tari Bali, hingga menjadi salah satu penari spesialis di grup Tari Kecak sebagai Rahwana. Bekerja di pagi, sore, serta waktu-waktu tertentu sesuai permintaan tak membuat semangatnya kendur. Mengabdi sebagai bagian penari Kecak dan Barongan adalah satu kebanggan dari dirinya.

[Bli Ketut yang berkarya lewat seni tari dg totalitas.]

Tak ketinggalan bli Ketut. Menjadi penari penutup rangkaian Tari Kecak. Membawakan tarian Sanghyang Jaran (Kuda Lumping, Jw.) pria 42 tahun ini begitu energik membawakan sosok kuda yang yang kesurupan tersebut. Berlatih tari Bali sejak usia kelas 2 SD, tak membuat dirinya bosan. Sehingga 'jam terbang' selama 30 tahunan lebih menjadikan sosok yang cukup penting juga di Sahadewa.

Selain menjadi penari andalan, beliau juga seringkali menjadi 'juru bicara' bagi para penikmat panggungnya. Tak terkecuali dari 10 orang Kompasianer yang hadir menyaksikan lewat bangku penonton. Di akhir pementasan, pria ini lah yang menyampaikan secara panjang lebar bagaimana karakter yang hadir di panggung. Termasuk memperkenalkan para pemain utama Tari Kecak tersebut.

Secara keseluruhan kisah  dibalik panggung para penari Kecak ini cukup menggelitik kesadaran kita. Sukses tak melulu bicara hasil akhir. Tapi bagaimana melalui sebuah proses untuk mencapai kesuksesan tersebut. Memadukan diri dengan kelompok atau masyarakat agar bisa bersinergi sebagai manusia yang dapat memanusiakan manusia yang lain. Membangun disiplin dan semangat toleransi akan menjadi salah satu kunci agar bagaimana kesuksesan atau keberhasilan tersebut bisa dicapai.

Malam mulai merayap menunjukkan keperkasaannya. Hawa atis pun mulai menyergap. Pun demikian dengan kami. Kompasianer juga manusia. Pergi sejak pagi, kelelahan pun tak dapat hindari. Tapi tidak bagi bli Ketut dan bli Ketut yang lainnya. Bila kewajiban manggung menjadi tanggungan. Rasa lelah pun harus diabaikan. Demi sebuah keabadian karya seni dan pengbadian kepada Tuhan-nya.

Selamat pagi. Semoga kita kembali belajar untuk berpikir, bertindak, dan berkarya dengan bijak.

.

___________________________

[NB: Foto koleksi pribadi.]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun