Duh, Bali.Â
Di akhir tahun ini akhirnya bisa ke(m)Bali lagi. Entahlah, sudah berapa puluh kali ke Bali sejak 1990. Tapi rasa bosan itu tak juga menghinggapi. Setiap kedatangan, seolah membuat cerita yang begitu berbeda. Seperti gambar di atas. Setiap keberangkatan, pasti ada banyak penumpang dan tingkah yang berbeda.
Datang pertama kali dengan rombongan sekolah SMA. Pernah juga dengan rombongan kampus, hingga rombongan dari sebuah perusahaan motor terkenal. Berangkat menggunakan bus, mobil pribadi, sepeda motor, pesawat terbang, hingga menumpang truck. Semua terasa indah. Meski kadang terasa amat melelahkan.
Kali ini, 'rayuan' Kompasiana dan Kementerian Pariwisata untuk ke(m)Bali menembuhkan harapan untuk menjumpainya. Alhamdulillah, akhirnya terpilih juga untuk 'terbang' ke Bali. Tulisan sederhana 'Merindukan Batik Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri' menjadi perantaranya. Kerinduan membatik di Jogja, seolah mengingatkan pada masa puluhan tahun silam. Batik tulis Ubud dengan ciri khas burung dan tanaman. Prosesi panjang hingga siap jual, hingga membuat harganya 'berjuntai'. Hal ini kadang membuat sebagian orang enggan meliriknya. Bukan karena nilai seninya. Namun semata karena harganya.
Demi memenuhi rasa suka cita dan tak mau terlambat, maka segera tiket pesawat pun saya pesan. Ubud tujuan utama travel kali ini sudah di depan mata. Keberangkatan tanggal 4 November 2015 saya pilih. Pikir saya, lebih baik datang awal daripada berspekulasi datang pas hari H. Selain itu, demi 'penghematan' juga tentunya. Sebab seringkali saya mengalami ketidaknyamanan saat saya berangkat pada hari H suatu even.
Sebuah hotel dekat Legian pun segera saya kontak. Nah, untuk yang ini keberuntungan memayungi. Dengan sedikit uwus-uwus kepada manajernya, yang kebetulan juga putra dari sang owner, akhirnya saya dapat free semalam. Kalau tak salah, saya dapatkan kamar ber-AC dengan rate 200 ribuan. Lumayan bukan? Bisa sedikit menghemat untuk 'malam pertama'. Maklumlah, akhir tahun berarti siap-siap biaya untuk registrasi semester genap anak-anak.
Toh nanti menurut panitia akan 'direlokasi' ke hotel 'bintang banyak'. Kemudian yang saya tahu, ternyata hotel tersebut adalah Hotel Coutyard by Marriott Semiyak. Suasananya tentu akan berbeda dengan hotel yang saya pesan di hari pertama di Bali tentunya.
Setiba di bandara, rasa aneh pun segera menyergap. Melihat papan elektronik di terminal II keberangkatan internasional, seluruh penerbangan ke Denpasar dicancel. Mak desss...begitu rasanya. Lalu tanpa pikir panjang segera menuju konter AA yang berdampingan dengan konter Garuda dan Lion. Kemudian langsung saja bertanya kepada mbak-mbak yang stand by di situ. Ada pemberitahuan tertulis, tapi saya lebih fokus ke penjelasannya. Dengan sedikit sewot, terima nasib refund yang tak bisa cash.
"Mateng aku!" gumamku. Maklumlah, dengan demikian berarti saya harus keluarkan biaya ekstra dulu. Pindah moda angkutan adalah hal yang spontan langsung saya pikirkan.Â
Tanpa berpikir panjang, segera kembali saya berlari ke arah halte bus Damri. Purabaya menjadi tujuan saya kali ini. Sambil berharap ada keberangkatan bus ke Denpasar di pagi hari. Bergegas saya masuk ke ruang siar terminal. Menanyakan informasi yang pas perihal keberangkatan ke Denpasar. Kemudian dengan pertolongan petugas yang keren-keren, akhirnya tiket seharga 200-an ribu berada di tangan.